Oleh: Wardah Abeedah
Siapa yang tak kenal tokoh dibalik penetapan hijrah Rasul sebagai tahun pertama Hijriyah?
Ya, dialah Umar bin Khaththab. Seorang Khalifah yang berulang disebut namanya hampir di setiap momen tahun baru hijriyah.
Ketika kaum muslimin berdiskusi atau mengkaji soal pemimpin yang zuhud, nama Umar bin Khaththab selalu disebut. Sebab sikap zuhudnya yang semakin menonjol ketika memegang tampuk kekhalifahan.
Meski berhasil menguasai sepertiga dunia, amirul mukminin tetaplah pribadi bersahaja. Suatu hari utusan Raja Romawi datang ke Madinah untuk menemui Umar ra. Ia bertanya dimana istana Sang Khalifah. Namun penduduk Madinah yang ditanya menjawab bahwa ia tak punya istana. Ketika ditanyakan dimana bentengnya, dijawab pula bahwa pemimpin terbesar abad itu tak memiliki benteng.
Utusan ini lebih heran lagi ketika ditunjukkan, bahwa pemimpin besar yang dicarinya sedang berbaring berteduh di bawah pohon kurma.
Saat musim paceklik menimpa Madinah, Sang Amirul Mukminin memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Bahkan masyhur perkataannya yang kita hafal hingga saat ini,
"Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
====
Jika saat ini kaum muslimin diminta menyebut sosok pemimpin yang kuat dalam mengemban amanah mengurus rakyat, nama Umar Al Faruq pastilah ada dalam daftar. Beliau sangat memahami posisinya sebagai pemimpin Negara Khilafah, yang disabdakan nabi sebagai ra’in atau penggembala.
Diantara qaulnya yang familier di telinga kaum muslimin adalah, “Bila seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawaban, seraya ditanyakan: ‘Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”
Perhatian Al Faruq terhadap generasi begitu besar. Ia memberikan tunjangan bagi anak-anak yang disapih. Suatu ketika Umar menjaga rombongan saudagar yang datang ke Madinah, ia mendengar tangis bayi.
Ternyata bayi itu menangis sebab ibunya yang menolak untuk menyusuinya. Ketika Umar mengetahui hal itu, ia bertanya alasan sang ibu memaksa untuk menyapih bayinya. Ternyata perempuan tersebut melakulannya karena ingin mendapatkan tunjangan bagi bayinya. Maka sejak saat itu Umar merubah batasan pemberian tunjangan. Setiap bayi yang baru lahir Islam, maka ia mendapat tunjangan.
Tak hanya para bayi, istri-istri Rasulullah ﷺ hingga veteran Perang Badar juga mendapatkan tunjangan khusus dari baitul maal.
Disebutkan pula bahwa Umar bin Khaththab selalu mengumpulkan para gubernurnya di musim haji, untuk bersama mendengar keluhan rakyatnya yang sedang berhaji tentang para wali (gubernur) yang mewakilinya memimpin daerah.
Pemimpin yang namanya harum tersebab sifat adilnya ini memiliki sedikit sekali waktu tidur selama menjabat Khalifah. Saat Mu`awiyah bin Khudaij menganggap Umar tidur siang (qailulah), beliau pun merespon dengan tegas, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku akan menyia-nyiakan rakyatku. Jika aku tidur di malam hari maka aku menyia-nyiakan diriku (karena tidak bisa bermunajat dengan Allah), maka bagai mana mungkin aku bisa tidur di kedua waktu ini wahai Muawiyah?”(Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 152).
Di malam hari, ia rutin melakukan patroli atau dalam istilah sekarang lebih dikenal dengan blusukan. Menembus gelapnya malam ketika hampir semua mata terpejam. Tak ada yang memperhatikan aktivitas ini kecuali Rabb yang Maha mengawasi.
Dalam patroli malamnya, pernah ia mendapati rakyatnya yang hendak melahirkan. Ia kemudian bergegas membangunkan isterinya untuk bersamanya membantu ibu yang melahirkan. Ummu Kaltsum, Sang ibu Negara membantu proses lahiran, sedangkan khalifah membuatkan makanan untuk suami dan anak-anak wanita tersebut.
Ia juga pernah memanggul karung berisi gandum dan makanan untuk diantar kepada wanita yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang lapar.
===
Sungguh, betapa kisah-kisah di atas bukanlah kisah yang asing di telinga kaum muslimin. Amirul Mukminin Umar bin Khaththab mungkin sudah wafat sejak belasan abad yang lalu. Namun citra positif dan keharuman namanya tak pernah lenyap sejak keIslamannya. Ratusan kitab sirah dan sejarah yang menuliskan kisahnya terus saja mengundak decak kagum bahkan bagi non muslim.
Umar jelas melakukannya bukan demi popularitas. Terbukti diantara kisah-kisah di atas terjadi di dalam gulita, di saat ia melakukan rutinitasnya blusukan mengawasi kondisi rakyatnya.
Selain itu, salah satu pidatonya menunjukkan bahwa Umar bukanlah pemimpin yang menginginkan pencitraan. Pernah di muka umum, pemimpin besar ini berkata,
“Wahai rakyatku siapa saja di antara kalian yang melihat kekhilafan dariku, maka segera luruskan.” Saat itu juga berdirilah seseorang berkomentar, “Jika kami melihat kebengkokan(kesalahan) darimu, maka akan kami luruskan dengan pedang kami.” Umar pun berkomentar, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada umat ini orang yang meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.”(al-Riyâdh al-Nadhrah, 2/381).
Besarnya rasa takutnya pada Allah menjadikan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu sebagai pemimpin yang adil. Serta menjadikan Negara yang dipimpinnya menjadi Negara yang baik (Baldatun Thayyibatun), aman, sejahtera dan luas hingga menguasai sepertiga dunia.
Sifat adilnya juga menarik hati rakyat untuk mencintainya. Bahkan ia dicintai seluruh kaum muslimin hingga kini.
Kemuliaan yang ia peroleh, kemuliaan Negara yang ia pimpin, bukanlah karena membangun pencitraan. Tapi terwujud sebab kekokohannya dalam berpegang teguh pada Islam. Benarlah Umar ketika ia berkata,
“Sesungguhnya kita adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Ketika kita mencari kemuliaan bukan dengan yang Allah telah muliakan kita (Islam), maka Dia akan membuat kita hina.”
Sebuah kalimat yang patut menjadi pegangan bagi seluruh kaum muslimin yang menginginkan kemuliaan bagi kaumnya dan negaranya. Wallahu a’lam bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar