Oleh : Wardah Abeedah*
Di tengah gelombang hijrah yang cukup masif dan persatuan umat yang makin sering digaungkan, terdapat banyak peristiwa yang menyakiti hati umat. Menimbulkan polemik di tengah kaum Muslimin. Mulai pembakaran bendera, dukungan sebagian ulama terhadap pemimpin kafir, fitnahan keji dan kriminalisasi ulama dan ormas Islam, hingga kriminalisasi dan mosterisasi ajaran-ajaran Islam. Di antaranya yang sedang viral beberapa hari ini adalah penghapusan istilah kafir bagi non muslim WNI oleh ormas Islam terbesar dalam Musyawarah Nasionalnya.
Penghapusan istilah kafir ini menuai begitu banyak kontra dari ulama dan tokoh yang bersuara menentangnya. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin turut angkat bicara. Menurutnya, kata kafir adalah istilah final dalam kitab suci Alquran (Eramuslim, 5 maret 2019). Ustadz Bachtiar Nasir, Felix Siauw dan banyak ulama lain bersuara menentangnya. Kalangan tokoh NU sendiri tak mau ketinggalan, Prof dr. H. Ahmad Zahro yang juga Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, “Keputusan penghapusan kafir adalah menentang Allah SWT.”
Penghapusan kata kafir amatlah berbahaya. لكل حرف من حروف القرآن فيه أسرار
“Setiap huruf dari huruf Alquran, mengandung makna-makna mendalam”. Istilah kafrir adalah istilah yang dipilih oleh Allah, satu-satunya Zat yang Mahabenar dan punya otoritas untuk membuat standar kebenaran. Istilah kafir memiliki konotasi syar’i. Mendefinisikannya harusnya dikembalikan kepada terminologi Islam. Karena kata kafir adalah kata yang wajibkan merujuk, maka jika kata ini tak dipakai lagi, akan berimplikasi pada hilangnya banyak ajaran Islam.
“Setiap huruf dari huruf Alquran, mengandung makna-makna mendalam”. Istilah kafrir adalah istilah yang dipilih oleh Allah, satu-satunya Zat yang Mahabenar dan punya otoritas untuk membuat standar kebenaran. Istilah kafir memiliki konotasi syar’i. Mendefinisikannya harusnya dikembalikan kepada terminologi Islam. Karena kata kafir adalah kata yang wajibkan merujuk, maka jika kata ini tak dipakai lagi, akan berimplikasi pada hilangnya banyak ajaran Islam.
Setidaknya ada dua bahaya dari penghapusan istilah kafir :
1. Menyerang konsep akidah Islam.
Dalam pembahasan akidah atau tauhid, kata kafir menjadi pembeda yang jelas dan terang antara mereka yang mengimani bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulNya, dengan mereka yang mengingkarinya. (Lihat an-Nisa’ [4]: 136)
Dalam pembahasan akidah atau tauhid, kata kafir menjadi pembeda yang jelas dan terang antara mereka yang mengimani bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulNya, dengan mereka yang mengingkarinya. (Lihat an-Nisa’ [4]: 136)
Mengobrak-abrik konsep akidah amatlah berbahaya. Sebab akidah (keimanan) adalah pondasi Islam. Akidah adalah landasan bagi setiap mukmin untuk tunduk dan terikat berbagai hukum syara’ yang ditetapkan Allah.
Jika tak ada lagi istilah kafir, maka istilah mukmin tak lagi memiliki nilai. Akan lenyap perbedaan antara mukmin dan kafir. Jika perbedaan kedua istilah ini lenyap, maka akan menjadi tidak penting untuk taat pada Allah atau tidak, menjadi tidak penting syariah ditegakkan atau tidak.
Jika tak ada perbedaan antara kafir dan mukmin, keimanan terhadap hari akhir, surga dan neraka juga tak akan menjadi pembahasan penting. Pun tak ada lagi perbedaan apakah akan menjadikan Alquran sebagai kitab suci dan pedoman hidup, atau memakai Veda yang diyakini hindu sebagai kitab sucinya. Tak pula ada perbedaan apakah akan beribadah dengan shalat atau menyembah matahari sebagaimana mereka yang beragama Shinto.
2. Mengobrak-abrik tatanan syariah, terutama fiqh siyasiy (politik) yang sudah disusun oleh ulama salafus shalih.
Sudah menjadi hal yang ma’luman minad diini bid dharurah bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal politik dan pemerintahan. Selain dibahas dalam terminologi aqidah, istilah kafir juga dikupas dalam pembahasan fiqh siyasiy. Para ulama mendefiniskan istilah kafir, juga berupaya mengkategorikan jenis-jenis kafir seperti dzimmiy, muahid, musta’man. Dari kategori ini muncullah hukum-hukum terkait jizyah, jihad, dan hukum-hukum terkait politik luar negeri lainnya.
Dalam hal pemerintahan, mereka yang kafir dilarang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan Islam. Termasuk diberi amanah pemerintahan, baik sebagai pemimpin negara (Khalifah atau Imam), wali (gubernur) maupun menjadi amil (pemimpin daerah dibawah wali), qadli (hakim) dan lainnya. Menghapus istilah kafir, akan menghapus semua hukum-hukum di atas seperti jizyah, jihad, keharaman memilih pemimpin kafir (non muslim), dan lainnya.
Pertanyaannya, apakah mereka yang memunculkan ide penghapusan istilah kafir ini tidak memahami bahayanya? Apa kiranya modus menimbulkan polemik ini? Kedua hal ini patutlah ditanyakan agar kita bisa merespons persolaan ini dengan benar.
Jika ditelisik dari sudut pandang politis ideologis, bisa kita simpulkan bahwa ada motif jahat di balik rekomendasi larangan istilah kafir bagi non muslim WNI ini. Di antara indikasinya adalah :
1. Latar belakang yang absurd.
Menurut Mashdar Farid, pengurus harian Syuriah PBNU, latar belakang rekomendasi larangan menyebut kafir pada non muslim adalah ingin menjaga ukhuwah sesama bangsa. Mengingat Indonesia negara plural (metro pagi prime time, Metro TV 2 Maret 2019). Jika memang benar ini yang menjadi latar belakang, kenapa hanya istilah dalam Islam yang dipermasalahkan? Padahal jika dipahami dengan benar, istilah kafir bahkan lebih sopan daripada istilah domba yang tersesat yang dipakai ajaran Kristen dalam menyebut orang non Kristen.
Menurut Mashdar Farid, pengurus harian Syuriah PBNU, latar belakang rekomendasi larangan menyebut kafir pada non muslim adalah ingin menjaga ukhuwah sesama bangsa. Mengingat Indonesia negara plural (metro pagi prime time, Metro TV 2 Maret 2019). Jika memang benar ini yang menjadi latar belakang, kenapa hanya istilah dalam Islam yang dipermasalahkan? Padahal jika dipahami dengan benar, istilah kafir bahkan lebih sopan daripada istilah domba yang tersesat yang dipakai ajaran Kristen dalam menyebut orang non Kristen.
Terlebih lagi, istilah ini adalah istilah yang sangat prinsip bagi kaum Muslimin, dan harusnya NU menyadari bahwa justru adanya rekomendasi ini akan menyakiti hati umat, menimbulkan polemik, di tengah persatuan rakyat masih menjadi PR besar. Utamanya di kalangan kaum Muslimin yang berjumlah 80% lebih di Indonesia. Tentu saja jika kaum muslimin yang tersakiti, rekomendasi ini akan menimbulkan kegaduhan di Indonesia. Terlebih rekomendasi ini dikeluarkan di tahun politik yang menjadikan tensi politik lebih tinggi dari masa lainnya.
2. Penggagas rekomendasi ini adalah kalangan liberal berbaju NU.
Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah adalah Abdul Moqsith Ghazali yang kini menjabat Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang selama ini dikenal sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal. Sepak terjangnya dalam menyebarkan paham liberal di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Selama ini Moqsith konsisten menyuarakan pluralisme, isu gender dan HAM. Di antara pernyataannya yang kontroversial adalah soal Nabi Muhammad bukan nabi terakhir, pembelaan terhadap LGBT dan lainnya.
Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah adalah Abdul Moqsith Ghazali yang kini menjabat Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang selama ini dikenal sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal. Sepak terjangnya dalam menyebarkan paham liberal di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Selama ini Moqsith konsisten menyuarakan pluralisme, isu gender dan HAM. Di antara pernyataannya yang kontroversial adalah soal Nabi Muhammad bukan nabi terakhir, pembelaan terhadap LGBT dan lainnya.
3. Menyerang Islam melalui penyesatan istilah adalah strategi lama.
Dalam khazanah keilmuan Islam (tsaqafah Islam), istilah-istilah atau diksi begitu penting dibahas. Sebagaimana ”Maka suatu lafal yang termasuk istilah (terikat) dengan Islam, maka ia memiliki makna syar’i dimana Islam mewajibkan kita terikat dengan makna ini baik dari sisi i’tikad maupun pengamalan.” (Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani, Al-’Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fii Dhaw’i al-Fikr al-Islâmiy al-Mu’âshir, 1424 H, hlm. 22)
Dalam khazanah keilmuan Islam (tsaqafah Islam), istilah-istilah atau diksi begitu penting dibahas. Sebagaimana ”Maka suatu lafal yang termasuk istilah (terikat) dengan Islam, maka ia memiliki makna syar’i dimana Islam mewajibkan kita terikat dengan makna ini baik dari sisi i’tikad maupun pengamalan.” (Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani, Al-’Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fii Dhaw’i al-Fikr al-Islâmiy al-Mu’âshir, 1424 H, hlm. 22)
Setiap pembahasan membahas tafsir, maka setiap kata yang dipakai memiliki definisi tersendiri. Bahkan para ulama mufassir berijtihad untuk menentukan definisi yang tepat dari istilah-istilah Alquran. Terkadang para mufassir menggalinya dari Alquran, as-sunnah ataupun Bahasa Arab. Ketika membahas fikih, pasti para ulama akan mengawalinya dengan ta’rif yang membahas definisi baik itu secara bahasa (lughatan) ataupun secara istilah syar’i (istilaahan). Mendalami ta’rif ini sangat dibutuhkan ketika para ulama terdahulu berijtihad menggali hukum. Concern para ulama terhadap ta’rif diwujudkan dengan banyaknya kamus atau kitab mu’jam yang mereka tulis untuk membahas makna-makna kata atau istilah-istilah yang dipakai dalam terminologi Islam
Sebelum diutak-atiknya istilah kafir oleh kalangan liberal, mereka sudah mendistorsi istilah-istilah syar’i lainnya sebagaimana istilah jihad, Khilafah, taghut, rahmah, ummatan wasathan, dan istilah lainnya. Semua penyesatan istilah ini mengerucut pada distorsi ajaran Islam yang shahih, ajaran islam yang telah disepakati para ulama salafus shalih bahkan para sahabat Rasulullah yang mulia. Strategi ini sudah lama dan digunakan oleh para antek penjajah di negeri-negeri Muslim lainnya atas arahan tuan mereka.
4. Munculnya penentangan rekomendasi Munas NU soal penghapusan istilah kafir, dari kalangan NU sendiri. Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf, menegaskan penggantian istilah kafir dengan non muslim bukan keputusan kiai dan ulama NU.
“Panggilan kafir dan non muslim. Perhatikan. Itu bukan keputusannya ulama. Itu komentarnya dua orang saja, profesor-profesor ini. Jadi itu bukan keputusan ulama.” Jadi ini satu di antara dua pemelintiran, atau enggak paham. Jadi bukan kiai semuanya. Awas hati-hati jangan sampai ngibuli kiai. Ndak boleh. Ini hanya dua orang saja yang dari dulu ngomongnya kadang-kadang enggak persis. Jadinya fitnah begini. Saya harus terangkan ini karena khawatir banyak orang seneng ngibuli kiai-kiai. Padahal ndak semua kiai begitu. Yang dimasukkan televisi, ya wong iku sebabe. Yang komentar di koran, ya wong iku sebabe. Ya wong iku wae yang salah. Bukan kiai, bukan ulama yang ada di NU. Tapi hanya orang-orang itu saja. Profesor-profesor itu. Karena itu kita ndak mau ikut profesor, kita ikut kiai saja. Supaya pemahamannya benar. Jadi bukan tidak ada kafir. Atau tidak boleh kita ngomong kafir,” ujarnya (viva.co)
Putra kelima KH. Maimun Zubair, Gus Ghafur juga menyanggah pernyataan Moqsith di media. “Ungkapan non-muslim bukan kafir itu kesimpulan dari Moqsith Ghazaly pribadi, karena dalam forum tidak ada kata tersebut. Dan saya tidak tahu apa benar Muqsith bilang seperti itu”, ungkap ulama yang juga turut hadir dalam Bahtsul Masail maudhuiyah tersebut.
Selain kedua ulama NU diatas, Kyai Luthfi Bashori dan Prof dr. H. Ahmad Zahro yang juga dikenal sebagai ulama NU juga menentang keras hasil rekomendasi ini. Jika di dalam tubuh NU saja menentang penghapusan kata kafir dan menolak statement Moqsith, tentunya ide menghapus kata kafir bagi non muslim Indonesia patut dicurigai hanyalah agenda kalangan liberal yang menunggangi NU.
Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu zaman di mana tidak tersisa dari Islam, kecuali tinggal namanya saja, tidak tersisa dari Alquran kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mereka megah dan semarak, tetapi jauh dari petunjuk Allah, ulama- ulama mereka menjadi manusia- manusia paling jahat yang hidup di bawah kolong langit, dari mulut mereka ke luar fitnah dan akan kembali kepada mereka.” (HR Baihaqi)
Ciri-ciri zaman yang disebut hadits diatas mulai tampak kini. Umat Islam patut berhati-hati terhadap setiap upaya kaum liberal untuk menjauhkan umat dari Islam dan ajarannya yang mulia. Para ulama, mubaligh dan para dai selaku pelita umat juga wajib bersuara keras menjelaskan berbagai penyesatan istilah, penyesatan opini dan penyesatan politik di tengah-tengah umat. Dan sedianya, negara menjadi benteng umat dari berbagai pemikiran nyeleneh yang dapat menyesatkan kaum Muslimin. Wallahu a’lam bis shawab.[]
*Forum Silaturahmi Ustadzah dan Muballighah
Sumber : muslimahnews.com
Gambar : kiblat.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar