Selasa, 02 April 2019

Mewaspadai Predikat Negara Paling Santai

Oleh : Wardah Abeedah (Pegiat Literasi Dakwah)
Negara paling santai di dunia. Ya, julukan ini baru saja diraih Indonesia. Hal ini diungkap lewat studi terbaru Lastminute penyedia jasa perjalanan Eropa yang menempatkan Indonesia sebagai urutan pertama Most Chilled Out Countries in The World (negara paling santai di dunia)Sebelumnya, Indonesia menempati peringkat ke empat sebagai negara paling instagramable di dunia versi situs wisata bigseventravel.com, serta peringkat enam negara terindah di dunia versi situs penyedia layanan wisata roughguides.com. Maraknya pujian dan predikat baik di bidang wisata akhir-akhir ini tentunya tak lepas dari upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Sekilas, predikat-predikat yang diraih tampak membanggakan bagi Indonesia. Namun sebagai muslim, selayaknya kita menilai segala sesuatau dengan kacamata Islam. Negeri yang baik dan berhak menapatkan limpahan barakah dari Allah dalam Islam adalah negeri yang beriman dan bertakwa (lihat al-a’raf 96). Sedangkan negeri yang buruk dan mendatangkan adzab Allah adalah negeri yang mendustakan ayat-ayat Allah. Kebaikan sebuah negeri bukanlah dilihat dari seberapa santainya dan seberapa instagramable-nya negeri tersebut. Ia dilihat dari keimanan dan ketakwaan pemimpin dan rakyatnya.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia seharusnya menjadi negeri yang paling beriman dan bertakwa di dunia dengan menerapkan Islam secara sempurna, sebagaimana pada masa Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin dahulu. Negara Islam yang pasca wafatnya Rasulullah shallallahualaihi wasallam dikenal dengan Khilafah Islamiyah yang menjadi peradaban gemilang hingga berkuasa selama 13 abad dan menghantar dua pertiga dunia pada kejayaan dan kemuliaan yang tak pernah ada sebelumnya.

Dengan sekitar 222 juta penduduk muslim, Indonesia menyumbang populasi muslim terbesar di dunia. Persentase muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 % dari populasi dunia (republika.co.id). Di tengah-tengah fajar kebangkitan kembali peradaban Islam, tentu saja semua pihak tahu Indoensia memiliki potensi besar untuk menjadi titik awal kebangkitan Islam. Selain potensi sumber daya manusia, sumber daya alam yang dimiliki Indonesia juga begitu kaya.
Dari segi sejarah, Indonesia tak bisa dilepas dari jejak kekhalifahan yang mengirim para dai termasuk walisongo ke Indonesia. Bahkan banyak sejarawan yang menyebut Islam masuk ke Indonesia sejak masa kekhalifahan Abbasiyah. Banyaknya jejak sejarah berupa kesultanan Islam, pesantren yang merupakan sistem pendidikan Islam di masa kesultanan Islam di nusantara, dan jejak lainnya, akan lebih memudahkan kaum muslim di Indonesia untuk kembali memperjuangkan apa yang pernah diraihnya.
Di negeri ini juga terdapat banyak ulama dan jamaah dakwah yang akhir-akhir ini semakin getol menyerukan persatuan umat Islam dan penerapan Islam sempurna dalam bentuk negara. Bahkan dalam survey LSI yang dirilis Agustus 2018, menunjukkan bahwa cita-cita publik untuk mendirikan negara berdasarkan agama menguat pasca 212. Potensi lainnya terdapat pada meningkatya kesadaran umat untuk bersatu dalam perjuangan Islam yang meningkat pasca 212.
Bagi negara barat dan para kapitalis yang selama ini menjajah negeri-negeri muslim dengan penjajahan fisik ataupun politik dan ekonomi, tentunya hal ini membahayakan hegemoni mereka. Berbagai cara mereka lakukan untuk menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Selain dengan program war on terrorismdan deradikalisasi yang menyuburkan Islamphobia, mereka juga membuat kebijakan liberalisasi dan sekularisasi.

Salah satu strategi liberalisasi dan sekularisasi adalah dengan pariwisata. Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Saat ini tataran diplomasi hubungan antar negara amat mengandalkan mekanisme people to people contact selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people contact sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antara negaranya dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai dari budaya negara mereka yang jauh dari Islam.
Pujian-pujian dan penghargaan di bidang pariwisata ini patut diwaspadai oleh kaum muslimin. Jangan sampai kaum muslimin terlena dan keliru dalam menetapkan visi Indonesia ke depan. Sehingga lalai untuk berjuang agar Indonesia menjadi negeri yang beriman dan bertakwa, memaksimalkan potensi yang dikaruniakan Allah untuk menjadi titik tolak terwujudnya peradaban Islam yang gemilang di dunia. Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : kiblat.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar