Oleh: Wardah Abeedah*
MuslimahNews, ANALISIS — “Balance for Better”. Jargon ini menjadi tema Hari Perempuan Internasional 2019. Dalam situs resminya, International Women’s Day mengungkapkan alasan dipilihnya tema ini, “Pada 2019 ini ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, pemerintahaan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga.”
Hari perempuan internasional digagas pada abad ke 17 atas perjuangan kesetaraan gender oleh feminis di Barat, dan dilatarbelakangi diskriminasi keji terhadap perempuan yang terjadi berabad lamanya di Eropa. Pada masa itu Eropa melalui doktrin gereja dan kezaliman kerajaan yang menganggap wanita sebagai sumber dosa, penyihir dan stigma buruk lainnya. Paradigma keliru ini kemudian menghasilkan berbagai kebijakan lalim, hingga perempuan di masa itu mersa butuh untuk memperjuangkan kesetaraan antara pria dan wanita.
Berbeda jauh dengan Eropa, dalam kurun yang sama, para perempuan Muslimah yang hidup di bawah naungan negara Islam diliputi kemuliaan. Rasul kita, Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan risalah yang dibawanya merombak paradigma dan nilai-nilai tentang perempuan dengan perombakan radikal. Perempuan pada masa jahiliyah bisa diwariskan kepada anak, dikubur hidup-hidup ketika lahir, dan mendapat berbagai perlakuan diskriminasi lainnya. Namun setelah Islam datang, melalui wahyu yang disampaikan secara lisan, maupun melalui perbuatan, Rasul memuliakan para perempuan. Rasul mandi di bejana yang sama dengan istrinya, memanggil istrinya dengan nama kesayangan, berlomba lari dan terbiasa bercanda dengan istri-istrinya. Dalam Alquran yang dibawanya, Allah memerintahkan para lelaki untuk mempergauli isterinya dengan baik, membatasi poligami dengan empat istri, mewajibkan lelaki menafkahi perempuan, menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata Allah, yang membedakannya adalah ketakwaannya, dan berbagai syariah lainnya.
Pada masa itu, ketika Eropa menganggap perempuan tak memiliki hak pendidikan, para Muslimah mendapatkan waktu belajar khusus sejak masa Rasulullah. Pasca wafatnya Sang Nabi, istri-istri beliau dan beberapa shahabiyah mengajarkan tsaqafah Islam kepada para perempuan. Ada ratusan jumlah perawi hadits dari kaum hawa.
Pada abad ke 9, seorang Muslimah bernama Fatimah Al Fihri di Maroko mendirikan Universitas Qairouwan. UNESCO dan the book Guinness World Records menobatkan Universitas Qairouan adalah Universitas pertama dan juga tertua yang memberikan gelar bagi para lulusannya. Terdapat pula sebuah dokumen surat dari Raja George II kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia yang berisikan pendelegasian Princess Dubant sebagai pemimpin para puteri Raja Eropa yang akan belajar di universitas-universitas negara Khilafah.
Islam menetapkan bahwa kewajiban utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Namun hal itu bukan berarti para Muslimah dilarang berkiprah di area publik. Meski membatasi beberapa jabatan bagi wanita, Islam membebaskannya mengabdi kepada negara Islam sesuai dengan fitrahnya. Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, beliau mengangkat Syifa, seorang Muslimah cerdas sebagai hakim pasar (qadli hisbah).
Para perempuan juga memiliki hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat politiknya dan mengoreksi penguasa. Khalifah Umar bin Khattab pernah menarik kebijakannya soal pembatasan mahar atas teguran dari seorang Muslimah. Istri-istri Rasulullah, para sahabiyah dan generasi wanita di masa Khilafah terbiasa terjun ke medan jihad.
Para ilmuwan perempuan di masa itu menyumbangkan banyak penemuan bagi dunia. Maryam Al-Ijliya adalah ahli astronomi yang menemukan Astrolabe, sekaligus pembuat cikal alat transportasi dan komunikasi untuk dunia modern. Terdapat pula nama Sutayta al-Mahamli (abad ke 10 masehi), seorang muslimah yang ahli pada bidang matematika, beliau terkenal sebagai ahli matimatika terkhusus Aritmatika yang mempelajari tentang bilangan bulat melalui pejumlahan,perkalian dan pengurangan yang dipakai pada kehidupan sehari-hari kala itu. Selain itu, beliau juga ahli di bidang hadits dan syariah.
Dari rentetan sejarah di atas, bisa kita tarik sebuah kesimpulan bahwa sepanjang sejarah, Muslimah tak pernah membutuhkan ide kesetaraan gender. Para Muslimah telah dikaruniakan syariah sempurna yang menempatkannya pada kedudukan yang sesuai dengan fitrah penciptaannya.
Ketika Allah menetapkan hak warisnya setengah ukuran pria, itu karena dia mendapatkan hak nafkah berlapis untuknya. Ia berhak mendapatkan nafkah dari walinya atau suaminya, lalu keluarganya. Jika mereka semua tak mampu memenuhinya, maka negara akan memenuhi semua kebutuhannya secara langsung. Ketika Islam mewajibkannya izin kepada suami ketika keluar rumah, hal itu karena ia memiliki hak perlindungan dari suaminya. Ketika Islam menentukkan iddah dan larangan nikah di masa iddah untuknya, melarangnya menikah dengan lebih dari seorang pria, itu bukan bentuk diskriminasi. Melainkan perlindungan terhadap Rahim setiap wanita. Karena janin yang ada di dalam kandungannya harus jelas bernasab kepada siapa, kelak akan menjadi tanggungjawab siapa. Karena setiap janin dan bayi memiliki hak dari kedua orangtua. Ibu berkewajiban mendidik dan mengasuh anak, persoalan nafkah dan selebihnya menjadi tugsa para ayah. Ketika Allah menetapkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Islam tak pernah melarangnya berkiprah di luar rumah untuk negara atau untuk bermanfaat di tengah kaumnya, para wanita lainnya.
Inilah keindahan syariah (aturan) buatan zat yang menciptakan manusia, zat yang Mahatahu apa yang dibutuhkan manusia dan apa yang terbaik baginya. Para Muslimah hanya membutuhkan syariah Islam saja, bukan lainnya. Dengan melaksanakan kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, terwujudlah generasi kaum Muslimin yang hebat dan cemerlang. Dengan peran publik yang tak menyalahi fitrah, taawun (tolong-menolong) antara pria dan wanita mewujudkan kemaslahatan dunia yang hakiki. Syariah is leading us to a better future, untuk para perempuan, generasi, pun para lelaki, bagi seluruh dunia. Allahu a’lam bis shawab.[]
*Pegiat literasi dakwah, Forum Silaturahmi Ustadzah dan Muballigah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar