Minggu, 31 Maret 2019

Peran Ulama di Tahun Politik


Oleh: Wardah Abeedah

Kedekatan ulama dan umara’ di tahun politik ramai menghiasi pemberitaan. Kedekatan yang dimaksud adalah dukungan ulama pada politisi atau partai politik tertentu.

Ulama adalah representasi dan rujukan umat Islam, penghuni mayoritas di negeri ini. Hal ini membuat partai dan politisinya berlomba merebut simpati ulama demi mendulang suara umat. Ketika akan maju menjadi presiden, anggota legislatif dan partainya ramai-ramai meminta ‘restu’ alias dukungan ulama. Padahal setiap mereka membuat kebijakan ekonomi semacam menaikkan harga BBM, membuat Perppu dan UU, pemerintah dan politisi di Senayan tak pernah melibatkan ulama.

Ulama dengan ajaran Islam yang diembannya tak dijadikan rujukan dalam mensolusi problem Indonesia. Syariah Islam yang Allah karuniakan ilmunya pada ulama, tak pernah dijadikan landasan dan standard dalam mengurusi nusantara. Sebaliknya, selama ini merekalah yang senantiasa getol menyuarakan, “Berpolitik jangan bawa-bawa Islam!”.

Padahal menurut pandangan Islam, relasi ulama dan umara tidaklah terjalin sebatas untuk ‘dukung-mendukung’. Kebersamaan yang terjalin antara mereka haruslah dalam rangka menegakkan agama Allah. Jika ini diingkari, kerusakan Negara akan mewujud pasti.

Hujjatul Islam Imam Ghazali berkata dalam karya fenomenalnya, Ihya’ Ulumuddin,

ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء

"Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama."

Penguasa tanpa bimbingan dan control dari para ulama akan memerintah dengan selain Islam, dan dari koridor syari’at. Padahal kebaikan hanya akan diraih jika sebuah Negara berjalan di atas dien dan system buatan Zat Yang Maha Benar lagi Maha Sempurna. Sebagaimana sebuah qaidah syariah menyebutkan, حيثما يكون الشرع تكون المصلحة. “Dimana ada syariat, disitu ada maslahat”.

Para ulama salaf juga telah bersepakat dalam kitab-kitab mereka bahwa keberadaan penguasa atau pemerintahan adalah untuk menerapkan Islam. Maka ketika penguasa melenceng seujung rambut dari Islam, yang terjadi adalah kerusakan rakyat atau Negara. 1400 tahun yang lalu Allah telah mengabarkan, bahwa kerusakan di bumi dan lautan, juga kesempitan dalam hidup adalah efek manusia meninggalkan syariat (lihat Ar-rum ayat 41 dan Thaha 124).

Di sinilah peran ulama melakukan amar makruf nahi munkar, melakukan control serta muhasabah terhadap umara’. Sebagai pewaris para nabi, ulama wajib meneruskan tugas anbiya’ di dunia. Yakni membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya. Allah SWT berfirman,

"Wahai Nabi! Sungguh Kami mengutus engkau sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai pelita pemberi cahaya. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang beriman, bahwa mereka akan memperoleh karunia yang besar dari Allah." (Al-Ahzab [33]: 45-47)

Para ulama terdahulu (salaful ummah) juga konsisten dalam mengamalkan hal ini.

Mari meniti kisah keberanian Imam Nawawi yang begitu masyhur. Dikisahkan, Dhahir Berbes (penguasa Syam pada masa itu) usai menghadapi pasukan Tatar di Syam, meminta fatwa para ulama tentang bolehnya mengambil pajak dari rakyat guna membantu peperangan. Para fuqaha’ Syam pun membolehkan, kecuali Imam Nawawi. Ia menolaknya dan mengingatkan Dhahir, bahwa ia memiliki seribu budak yang masing-masing membawa emas. Serta dua ratus budak perempuan yang masing-masing mengenakan gelang emas.

“Jika engkau telah gunakan itu semua, dan tinggal para budak laki-laki dan budak perempuan yang masih lengkap dengan pakaian tanpa gelang, maka saya baru akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat,” Ucap ulama madzhab Syafi'i ini. Mendengar jawaban Imam Nawawi, Dhahir marah, ”Keluar dari negeriku!” perintahnya. Ahli fiqh sekaligus hadits ini menjawab, “Saya mendengar dan mentaati,”.

Beliau keluar dari kota Damaskus menuju Desa Nawa. Setelah peristiwa itu, para ulama merasa kehilangan. Mereka menyatakan kepada Dhahir, ”Nawawi termasuk orang saleh dan ulama besar yang kami jadikan teladan. Kembalikan dia ke Damaskus.” Kemudian, Imam Nawawi diminta kembali, namun beliau enggan. Ia berkata, ”Saya tidak akan masuk Damaskus, selama Dhahir masih di sana.” Selang satu bulan, penulis kitab Riyadh as-Shalihin ini wafat.

Masih lekang dalam kitab tarikh, kisah ulama imam madzhab yang terkemuka, Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Kehidupan berat di penjara ia jalani selama dua periode khalifah. Dinginnya jeruji besi ia rasakan akibat tegas menolak perintah Sang Khalifah untuk berfatwa bahwa Alquran adalah mahluk. Meski beliau disiksa di hadapan Khalifah hingga pingsan berkali-kali dan berbagai derita ditanggungnya di dalam penjara, ia tetap menolak perintah keji tersebut. Beliau teramat menyadari posisinya sebagai rujukan umat dan resiko bagi aqidah umat jika dia memfatwakan hal yang bathil.

Imam madzhab lainnya Abu Hanifah, masyhur dengan sikapnya yang tidak rela dengan kebijakan khalifah al-Manshur secara umum. Ketika mendekam dalam penjara, ibunda beliau pernah berkata kepadanya, “Wahai Nukman, sesungguhnya ilmu bisa memberimu manfaat, bukan siksaan dan penjara. Sungguh, kamu pun bisa melepaskan diri darinya.” Beliau pun menjawab, “Ibu, andai saja putramu menginginkan dunia, tentu sudah kugapai. Tetapi, putramu ingin Allah mengetahui bahwa putramu menjaga ilmu-Nya, meskipun harus mengorbankan diri dalam kebinasaan.”

Beginilah potret kepedulian para ulama salaf terhadap persoalan umat dan Negara. Muhasabah kepada penguasa dan izaalatul munkaraat (menghilangkan kemungkaran) adalah salah satu bentuk aktivitas politik yang utama. Di tahun politik ini, peran politik ulama bukanlah untuk menjadi mesin pendulang suara bagi pemimpin yang jelas tak akan menegakkan Islam.

Aktivitas politik ulama yang dibutuhkan umat adalah pencerdasan umat dengan Islam. Menjelaskan sumber masalah negeri ini serta solusinya dalam Islam. Juga membimbing umara’ dan umat untuk melaksanakan perannya sesuai Islam. Menyeru penguasa dan mengomando umat untuk mewujudkan system politik dan pemerintahan Islam, yakni khilafah yang akan menerapkan hukum Allah.

Imam Al Hafidz An Nawawi menegaskan dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, bahwa keberadaan Imam (penguasa) bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya. Sehingga dengan diterapkannya syariat Allah oleh Khilafah, akan menjadikan Allah mencintai, meridhai dan memberkahi nusantara serta dunia. Serta menjadikan negeri ini sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam bis shawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar