Oleh : Wardah Abeedah*
MuslimahNews, ANALISIS — Aksi terror di dua masjid New Zealand membuat dunia berduka. Bukan hanya jatuhnya puluhan korban yang membuat masyarakat dunia bersimpati. Pembantaian yang dilakukan di masjid yang menjadi simbol Islam, di waktu kaum Muslim menjalankan ibadah, dengan senjata yang ditempeli sticker simbol-simbol bersejarah pembantaian kaum Muslimin, dan terlebih lagi divideokan secara live dengan angle kamera menyerupai permainan game online membuat pembantaian ini menjadi sorotan dunia.
Bagaimana, dimana, dan kapan teror itu dilakukan, menjadikan banyak pihak menyimpulkan bahwa serangan teror ini adalah buah dari islamofobia. Juru Bicara Presiden Turki, Ibrahim Kalin menyatakan dalam cuitannya di Twitter, “Serangan terhadap dua masjid di Selandia Baru memperlihatkan titik tempat islamofobia, permusuhan terhadap Muslim dicapai.” (antaranews.com)
Serangan yang sering terjadi terhadap masjid dan Muslim di Barat selama ini dipercaya terjadi akibat islamofobia. Direktur Departemen Pengawasan dan Perangi Islamofobia CAIR (Council on American-Islam), Corey Taylor, seperti dilansir dari Guardian di tahun 2016 mengungkapkan bahwa terdapat kelompok-kelompok yang berkontribusi menumbuhkan islamofobia.
Kebencian yang kelompok ini bawa memiliki konsekuensi nyata serangan terhadap Masjid di seluruh negara bagian, serta undang-undang baru yang mendiskriminasi Muslim di Amerika. CAIR mencatat, ada 78 insiden anti-Islam yang terjadi sepanjang 2015 dengan Masjid yang selalu menjadi sasaran.
Hakikat Islamofobia
Selama ini, islamofobia hanyalah dianggap sebuah fobia atau ketakutan dan kebencian tak beralasan terhadap Islam dan Muslim. Fobia ini dianggap hanya menjangkiti minoritas yang terpapar paham supremasi kulit putih atau dianut Kristen radikal melalui diskusi internet atau komunitas tertentu saja. Hal ini salah besar. Islamofobia adalah perang opini yang menjadi bagian dari perang ideologi yang dilakukan Barat secara terbuka melalui media-media mainstream, pernyataan-pernyataan resmi pemimpin dunia, diskusi-diskusi publik, bahkan melalui kurikulum pendidikan.
Pasca kejadian WTC 911, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media mainstream di seluruh dunia. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh. Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, dan dilabeli sebagai penyebab radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Jika aksi kekerasan dilakukan oleh pihak non muslim di Barat, atau terhadap kelompok Islam yang dicap garis keras di negeri-negeri Muslim, maka kejadian tersebut akan direspon kalem.
Lihat saja banyaknya penembakan dan serangan terhadap Muslim dan masjid di Barat, berita seperti itu jarang sekali menjadi headline media mainstream. Begitu pula di Indonesia, ketika insiden penembakan menewaskan puluhan abdi negara di Papua, ia tak akan disebut dengan serangan teror. Pelakunya pun tak disebut teroris. Ketika yang menjadi korban persekusi bahkan pembubaran ormas tanpa melalui peradilan adalah pihak yang dilabeli Islam radikal, maka pemerintah dan media tidak menganggapnya sebuah problem besar.
Dalam studi yang dilakukan oleh Georgia State University, teroris dari kalangan non muslim perlu melakukan pembunuhan tujuh kali lebih banyak untuk mendapatkan liputan yang sama di media dibanding jika pelakunya Muslim. Mereka juga mnegungkapkan bahwa serangan yang dilakukan oleh umat Islam mendapatkan 357 persen lebih banyak liputan media daripada serangan yang dilakukan oleh kelompok lain.
Prof Deepa Kumar dalam bukunya yang berjudul “Islamophobia and the Politics of Empire”, mengklasifikasi islamofobia menjadi dua jenis; pertama, conservative Islamophobia, di mana mereka memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dll.
Amerika sejak dipimpin Trump membuat kebijakan untuk melarang Muslim dari tujuh negara memasuki negaranya. Dalam pernyataannya, Trump mengatakan bahwa jamaah masjid adalah kumpulan para pembunuh yang “keluar masjid dengan kebencian dan kematian di mata dan pikiran mereka.”
Kedua, Liberal Islamophobia, secara retorika terdengar lebih lembut. Tapi sebenarnya tidak kalah jahat. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Barat. Kumar menganalogikan pendekatan Liberal Islamophobia sebagai “penjajahan berbulu domba”.
Pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan islamofobia menulis sebuah artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam”. Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti RAND Corporation, Cheryl Benard. Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternative, dan menjadi bagian dari Global War on Terorism yang digencarkan Bush.
Dalam bukunya “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies.” RAND merekomendasikan agar Muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan Syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. RAND memberi saran kepada Amerika untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati. Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, AS akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, dll sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dominasi Amerika.
Strategi RAND ini termasuk dalam liberal islamofobia. Lembaga think tank Amerika ini merekomendasikan untuk menjalankan strategi ini meminjam tangan kaum Muslimin sendiri. Hingga saat ini, strategi ini diratifikasi negeri-negeri Muslim dunia dalam kebijakan-kebijakan kontraterorisme melalui UU terorisme, kurikulum pendidikan hinga program-program deradikalisasi lainnnya.
Tak hanya Pipes, strategi ini disambut baik Presiden George W. Bush Jr. Dalam sebuah pidatonya pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan:
“Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut Khilafah.. Khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter yang mencakup semua wilayah Muslim, baik saat ini maupun di masa lalu, membentang dari Eropa ke Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara…”
Di Amerika Serkat sendiri, penghasut kebencian terhadap Muslim dan Islam telah dijadikan bisnis. CAIR pada tahun 2015 menyebutkan bahwa 200 juta dollar telah mereka habiskan untuk menyebarkan islamofobia.
Dampak Islamofobia
Serangan teror yang terjadi di New Zealand jelas merupakan salah satu dampak dari islamofobia yang diaruskan secara sistemik di Barat. Dalam laporan tahunannya, Tell Mama, organisasi yang meng-counter islamofobia di Inggris menemukan lonjakan serangan islamofobia di Inggris, dengan 1.201 laporan diverifikasi diajukan pada 2017, kenaikan 26 persen pada tahun sebelumnya dan jumlah tertinggi sejak mulai merekam insiden. Meski kasus kekerasan atau terror yang dilakukan Muslim menurun drastis, namun ekspos media tentang islamofobia terus menigkat.
Di Indonesia sendiri, dampak islamofobia terwujud dalam kriminalisasi ajaran Islam, tokoh Islam dan jamaah-jamaah dakwah. Kasus pembakaran bendera tauhid, pembubaran HTI yang getol menyuarakan kewajiban tegaknya Khilafah dan persekusi yang terjadi pada beberapa ulama adalah bukti bahwa kaum Muslimin di Indonesia juga terjangkiti islamofobia. Mereka memeluk Islam, namun takut dan benci terhadap ajaran Islam akibat masifnya penebaran islamofobia oleh rezim, media mainstream, maupun kelompok-kelompok yang terlibat industri islamofobia baik secara sadar ataupun tidak.
Penutup
Negara-negara Barat terus berupaya keras untuk mencegah bangkitnya kekuatan Islam dalam bentuk institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam dan mempersatukan seluruh kaum Muslimin di dunia yakni Khilafah Islam yang dijanjikan Rasulullah Saw. Tanda-tanda bangkitnya kekuatan Islam ini menjadi teror bagi ideologi Barat (kapitalisme) yang selama ini hidup dari menghisap kekayaan negeri-negeri Muslim.
Upaya teror melalui islamofobia yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin di Barat ataupun di negeri Muslim tak sepenuhnya berhasil membuat kaum Muslimin meninggalkan Islam. Terbukti di Barat sendiri, teror islamofobia justru membuat orang-orang Barat berbondong-bondong memeluk Islam. Teror islamofobia dan hoax yang ditebarkan di negeri-negeri Muslim juga justru membuahkan ghirah umat yang semakin membara.
Lihat saja kasus pembakaran bendera tauhid yang direspon dengan semakin bangganya umat Islam dengan simbol-simbol agama dan ajaran agama mereka. Maha benar Allah dalam firman-Nya,
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 7)[]
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 7)[]
Sumber gambar : kiblat.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar