Minggu, 31 Maret 2019

"Pergaulilah manusia sesuai apa yang ditampakkan mereka kepadamu. Biarlah Allah yang menilai hatinya"
(Umar bin Khattab)
Qaul Amiirul mukminin ini menjadi warning bagi kita kaum muslimin, agar tak mengedepankan prasangka atau dzann.
Dalam kasus kenakalan anak atau murid misalnya, tak perlu mengejar-ngejar pengakuan anak yang kita curigai berbuat maksiat. Apalagi sampai memakai alat lie detector.
Prinsipnya, ambil apa yang didzahirkannya dan serahkan sisanya pada Allah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk individu. Para hakim dalam peradilan Islam hanya akan menghukum dengan dua hal ; saksi & pengakuan.
Mungkin agak sulit dibayangkan bagi kita yang hidup di zaman penuh dusta dan pencitraan saat ini ya. Apakah mungkin seorang kriminil akan mengakui kejahatannya?
Namun tinta emas sejarah kekhilafahan kaum muslimin membuktikan sebaliknya. Pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rasyidin dan penerusnya, sistem hukum berjalan seperti itu. Para terdakwa akan dihukum atas pengakuannya atau kesaksian.
Dalam sebagian besar kasus yang pernah terjadi di era kegemilangan Islam tersebut, hukuman atas pengakuan kejahatan justru lebih sering terjadi.
Sebagaimana kisah wanita dari Suku Ghamidi yang meminta Rasulullah SAW mensucikannya (merajamnya) karena telah berzina.
Bagaimana bisa para pendosa begitu mudahnya menyerahkan diri untuk dihukum oleh negara?
Rahasianya ada pada kehebatan Daulah Khilafah dalam mentarbiyah rakyatnya sehingga terwujud ketaqwaan individu. Rahasia berikutnya, terdapat pada keindahan sistem peradilan Islam, dimana uqubat atau hukuman di dalamnya memiliki dua fungsi ; jawabir dan zawajir. Pemberi efek jera sekaligus penghapus dosa.
Dalam kasus Riddah (murtad), para qadli atau hakim hanya akan menilai seseorang telah keluar dari Islam, jika tampak jelas dia melakukan kekufuran. Baik dengan perbuatan atau lisan, tanpa mengedepankan prinsip husnudzdzon, kaidah 'jangan jadi tuhan', apalagi dalih 'beda maqom' 😜
Jika ada muslim yang jelas mengatakan hal yang menjatuhkan pada kemurtadan seperti menyatakan ada rasul setelah Muhammad SAW, Alqur'an sudah expired, mengolok-olok agama dan Alqur'an dll maka dia akan dimintai taubatnya, dan hanya akan dihukum sesuai pengakuannya. Apabila setelah diinterogasi dia mengakui dan meyakini apa yang dikatakannya dengan penuh kesadaran dan bukan atas dasar kebodohan, maka hukuman riddah akan divoniskan padanya.
Dengan prinsip yang disampaikan Umar ra. di atas, Islam juga mengharamkan memata-matai atau tajassus kepada sesama muslim, ataupun aktivitas spionase yang dilakukan penguasa bagi rakyatnya, baik muslim ataupun non muslim. Entah itu melalui penyadapan, pengumpulan data-data cyber untuk kepentingan spionase, dan yang semisalnya.
Tajassus hanya dilakukan negara kepada musuh-musuh Allah atau warga negara yang sikapnya dicurigai memiliki kerjasama dengan kafir musuh. Wallahu a'lam bis shoawab

BY: Wardah Abeedah


Oleh: Wardah Abeedah*
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kembali ramai diperbincangkan. Sebenarnya RUU ini sudah digagas sejak  2013 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan himpunan dari 125 pengada layanan bagi korban kekerasan di 32 Propinsi.
Sejak itu pula, RUU ini menuai pro kontra. Sebagian pihak seperti Parati Solidaritas Indonesia (PSI) dan para aktivis perempuan mendesak disahkannya RUU ini dengan alasan Indonesia darurat kekerasan seksual. Sedangkan pihak yang dinilai cenderung konservatif dan relijius bersuara lantang untuk menolaknya. Diantara alasan yang mereka kemukakan adalah adanya indikasi impor nilai-nilai barat yang semakin menguatkan ide dan budaya liberal di Indonesia.
Islam adalah agama sempurna yang mengatur berbagai aspek kehidupan.  Islam juga memiliki pemikiran-pemikiran yang khas berupa aqidah dan syariah. Sebagai muslim, Allah telah mewajibkan setiap kaum muslimin untuk terikat dengan Islam, baik dalam berfikir ataupun bertindak. Oleh karena itu, ketika muncul sebuah kebijakan yang diharapkan memberi solusi bagi persoalan umat, maka kita harus menakarnya dengan timbangan Islam. Termasuk RUU P-KS ini.
Menakar RUU P-KS
Tak berbeda jauh solusi-solusi kekerasan seksual yang sudah diterapkan sebelumnya. Nyawa RUU PKS ini masihlah sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Jika ditilik dari poin-poin pasalnya dan siapa penggagasnya, RUU ini jelas menegasikan peran agama yang sejatinya adalah nilai tertinggi. Setidaknya ada tiga kesalahan paradigma dalam RUU ini.
Pertama, definisi kekerasan seksual yang bermasalah. Pada pasal 11 sampai pasal 19, yang disebut kekerasan seksual jika meliputi sembilan cakupan. Yang menjadi catatan kritis adalah jika hal tersebut dilakukan dengan terpaksa dan mengandung unsur kekerasan. Batasan tindak pidana dalam perilaku atau hubungan seksual adalah jika salah satu pihak merasa tak nyaman, atau dipaksa.
Jadi hubungan seksual di luar nikah menjadi sah-sah saja asal kedua belah pihak tak merasa menjadi korban kekerasan. Dengan pasal ini, prostitusi yang semakin marak akan semakin subur karena selama dilakukan bukan atas dasar paksaan, baik penjual jasa prostitusi ataupun pemakai jasanya semakin bebas melenggang. Belum lagi para pelaku LGBT yang semakin marak akan mendapatkan angin segar jika RUU ini jadi disahkan. Karena orintasi seksual tidak diatur sama sekali dalam RUU ini. Pun jika ada seorang wanita dengan maksud memamerkan tubuhnya di muka umum maupun di media sosial dengan suka rela, tidak bisa masuk kategori kekerasan seksual.
Kedua, Pemberian hak individu yang berlebihan. Pasal 7 poin 1 berbunyi, "Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat."
Pemberian hak individu yang berlebihan ini menjadikan setiap orang berhak berbuat apapun terhadap tubuhnya. Baik dia ingin membuka aurat sesukanya, ingin hamil atau aborsi sesuai maunya, dia berhak memilih ingin berhubungan badan dengan siapapun sesuai kehendaknya karena prinsip tubuhnya adalah miliknya. Tak boleh ada pemaksaan orangtua terhadap anak untuk menutup aurat, melarang berzina (berhubungan seks diluar nikah), dan dia berhak menolak suami yang meminta haknya untuk dilayani.
Berbeda jauh dengan Islam. Dalam paradigma Islam, setiap manusia wajib mengakui, membenari dan mengimani bahwa manusia hanyalah ciptaan Allah. Ia hidup di bumi Allah untuk menghamba padaNya, menjalani semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Sebagai hamba yang memiliki akal dan pengetahuan terbatas, ia wajib meyakini bahwa syariah Allah satu-satunya hukum dan petunjuk hidup terbaik unutk seluruh manusia dan selulruh makhluq.
Tubuhnya adalah ciptaan sekaligus pemberian Allah yang wajib dipergunakan sesuai dengan petunjuk aturan yang telah Allah berikan. Sehingga ketika dia memilih pakaian yang akan dikenakan, ia akan memilih desain pakaian sesuai perintah Allah, bukan sesuka hatinya. Ketika ia hendak menyalurkan naluri seksualnya, ia akan melakukannya sesuai aturan Allah, bahkan dalam rangka beribadah kepada Allah.
Ketika ia berfikir, menilai sesuatu, membuat keputusan, standardnya adalah Islam, kacamata yang dipakai harus Islam. Ia akan memandang, hubungan seksual diluar yang dihalalkan (melalui hubungan pernikahan dan budak wanita) adalah keharaman. Ketika Islam memposisikan suami sebagai qawwam dan memiliki hak untuk dilayani di ranjang, maka seorang muslimah akan melakukannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Ia tak akan melakukan hubungan seksual dengan selain yang dihalalkan Allah untuknya. Bahkan berhubungan seks diluar nikah dipandangnya sebagai perbuatan zina yang merupakan fahisyah (perbuatan keji), jalan terburuk, dosa besar, dan penyebab rusaknya masyarakat.
Dalam Islam, jarimah atau kejahatan dan kriminalitas adalah perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir (Imam Mawardi). Maka memamerkan aurat dan melanggar perintah Allah dalam surat Al-Ahzab 59 dan An-Nur ayat 31 adalah sebuah kriminalitas. Melakukan zina bahkan meski hanya mendekatinya adalah jarimah.
Jika RUU ini berlaku dan para isteri berpenapat ia berhak penuh atas tubuhnya, hal ini akan  berpotensi menimbulkan problem keluarga. Jika si suami tak bisa mendapat pemenuhan seksual di rumah, sangat bisa jadi ia akan mencari pemenuhan diluar rumah baik itu dengan berzina dengan cara memebeli jasa prostitusi, atau dengan memiliki wanita idaman lain di luar rumah.
Syariah Islam, Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
Solusi yang telah dilakukan pemerintah selama ini bersumber dari ratifikasi internasional seperti CEDAW Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) dan konvensi keperempuanan ala kapitalis liberal lainnya. Nyaris semua solusi itu tak menyentuh akar maslaah kekerasan seksual. Faktor penyebab kasus-kasus kekerasan seksual adalah perilaku dan pemikiran yang mendewakan syahwat (liberal). Namun, faham liberalism dan perilaku liberal ini sama sekali tak dimusnahkan, bahkan justru disuburkan dengan berbagai undang-undang dan kebijakan sebagaimaan RUU P-KS.
Harusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Dalam menghilangkan bentuk jarimah dan menerapkan aturan syaruah, Islam menegakkan tiga pilar ; ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penegakan hokum oleh negara.
Syariah Islam memiliki seperangkat sistem yang akan mencegah zina dalam bentuk apapun, termasuk kejahatan seksual. Dari hulu sampai hilir, dari preventif hingga kuratif. Islam telah mengharamkan setiap pemeluknya untuk mendekati zina (Al-Isra’ 32) dengan perintah menundukkan pandangan (An-Nur 30), memerintahkan menutup aurat, bagi wanita bahkan tak boleh ditampakkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan (Al-Ahzab 59 dan An-Nur 31), keharaman khalwat dan ikhtilat sebagaimana ditegaskan oleh As-Sunnah. Islam juga menjadikan pernikahan sebagai sebuah ibadah yang memiliki banyak keutamaan, mempermudah pernikahan, bahkan mensunnahkan untuk menyegerakan menikah serta menghalalkan poligami. Bagi yang belum mampu menikah, Islam menganjurkan berpuasa.
Secara kuratif, Islam telah mengkategorikan zina sebagai dosa besar yang ditetapkan hukumannya oleh Al-quran dan As-sunnah berupa cambuk seratus kali bagi pezina ghairu muhsan atau belum menikah (An-Nur 2) dan menurut beberapa pendapat hukuman ini ditambah dengan disasingkan selama satu tahun. Bagi pezina muhsan (sudah menikah) akan dihukum dengan cara dirajam sebgaimana yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Ghamidiyah dan Ma’iz. Seluruh hukum ini tegak diatas ketakwaan individu yang dibangun melalui sistem pendidikan dan penerapan syariah lainnya oleh negara, juga tegak diatas keadilan yang tak tebang pilih dalam menerapkan sangsi.
Selama syariah Islam yang bersumber dari sang pancipta ini tak dijadikan solusi, selama itu pula kejahatan seksual akan terus tumbuh subur di negeri ini. Dengan diterapkannya Islam yang sempurna, baik dari aspek aqidah dan syariah yang dibawa Rasul kita tercintalah, Indonesia dan dunia akan menjadi tampat yang diliputi rahmat dan barakah sebagaimana firman Allah,
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam? (TQS. Al Anbiyaa: 107).
Wallahu alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)

*penulis adalah pemerhati perempuan dan anak, Founder Madrasah (Ibu) Ash-Shalihat
Ilustrasi: Google
Sumber : voa-islam.com


Dari belajar bahasa Arab, kita bisa tahu bahwa setiap diksi itu memiliki makna mendalam.
Misal, ketika Alquran menyebut hati dengan shadrun atau jamaknya shuduurun, maka ia bermakna hati terluar. Ketika Alquran memilih kata qalbun, maka ia berada di lapisan kedua dari luar. Lebih dalam sedikit dari shadrun. Lebih dalam.lago disrbut fu'aadun. Dan hati yang terdalam, disebut oleh Alquran dengan kata lubbun, jamaknya Albaabun.
Jika cinta pada Allah sudah merasuk di bagian terdalam hati, maka ulil Albab memiliki ciri sebagaimana yang disebut dalam Alquran ;
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka."
Analoginya mungkin seperti lagu dangdut lawas yaa.
"Mau makan, teringat dirimu. Mau tidur teringat dirimu.."
Ngapa-ngapain ingat Allah. Setiap fakta dan keadaan yang ada di hadapannya dikaitkan oleh akalnya kepada kebesaran Allah. Hingga muncul iman, merasa hamba, dan kemudian lisannya bertasbih memuji keagungan Allah.
Begitu juga ketika kata "melihat" dalam bahasa Arab disebut nadzara, ro'aa, bashara, setiap diksinya memiliki penekanan berbeda. Kalo ikut kajian Tafsir in sya Allah bakalan sering ya, menemukan penjelasan seperti ini. Yang ngaji tafsir di Madrasah Ash-Shalihaat, bahkan mungkin hafal beda Rabb, Ilaah dan Malik 😊
Nah, begitu juga ketika saat ini ada banyak diksi yang sering dihembuskan. Misal Ahok yang berganti menjadi BTP, kata hoax, radikalisme, islam ramah, toleran vs intoleran, politik pesimisme vs politik optimisme.
Bagi anda yang sering menjabarkan kegagalan rezim, problem yang sedang dihadapi Indonesia, anda akan dicap pesimis. Bagi mereka yang merasa Indonesia ini baik-baik saja, sudahlah kita jangan lihat kesalahan, tapi kita do something, jangan omdo. Do something meski itu langkah-langkah kecil yang sebenarnya itu tugas negara.
Padahal, kalo memakai konsep taubatan nasuhaa dalam Islam, perubahan itu selalu diawali dengan step menyadari kesalahan. Begitu juga jika kita ingin bangkit.
Gimana akan bangkit jika tak sadar sedang jatuh. Bagaimana akan bangun dari jatuh, jika tak tau dia jatuh sedalam apa, penyebabnya apa. Jika faham akar persoalan, maka akan mampu mengambil solusi paripurna.
Jadi, menjelaskan kebobrokan rezim dan problematika umat itu tak melulu muncul dari ruh pesimis. Sebagian justru muncul dari optimisme bahwa perubahan itu perlu dan harus diperjuangkan. Tapi kudu diawali dengan menebarkan penyadaran.
Bedanya apa? 
Pesimis hanya akan mengkritik tanpa memberikan solusi.
Mereka yang optimis akan menjelaskan hakikat problem yang dihadapi, menjelaskan pula akar persoalannya dan memberikan solusi yang cespleng. Solusi yang tidak tambal sulam, menyentuh akar persoalan, dan paripurna. tentunya solusi yang seperti ini berasal dari Zat Yang menciptakan manusia dan seluru alam semesta. Yang maha Tahu nun maha Benar.
Well, mari kita cerna setiap diksi dengan #akalsehat. Jangan sampai tertipu diksi berbahaya yang melanggengkan keterpurukan di negeri ini



Oleh : Wardah Abeedah*
“Kalian akan melihat perselisihan yang hebat sepeninggalku, maka berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyin sepeninggalku.” (Shahih Sunan Ibnu Majah)
MuslimahNews.com — Berpegang teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin adalah perintah nabi kita tercinta. Para Khalifah yang memegang tampuk kepemimpinan Islam pasca wafatnya Rasulullah ini memanglah manusia-manusia istimewa yang dijamin surge. Sahabat-sahabat rasul yang utama, pemimpin-pemimpin yang paling layak diteladani. Seluruh ulama dan kaum Muslimin yang Allah tunjuki pada jalan yang lurus, pasti sepakat pada pendapat bahwa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baik rezim.
Selalu ada banyak kebaikan yang bisa kita petik dari jejak kepemimpinan mereka. Di antara banyaknya keutamaan mereka dalam memimpin adalah, mereka rezim yang suka dikritik. Khalifah Abu Bakar selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur,
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shalat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”
Dalam pidato tersebut, bahkan sebelum menasehati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Ketika ditunjuk menjabat Khalifah menggantikan Abu Bakar beliau menolak jabatan tersebut, hingga seorang sahabat menjamin akan menjadi orang yang akan memuhasabahinya dan meluruskannya dengan pedang.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan.
Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah ketiga yang terkenal dermawan itupun tak segan untuk mengambil pendapat rakyatnya dan mengubah pendapat pribadinya.
Berderet kisah di atas dan kisah serupa yang tak disebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kritik dan nasehat terhadap penguasa merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari syariah yang agung. Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum yang diterapkan memanglah hukum terbaik yakni hukum buatan Allah yang Maha Sempurna. Namun Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Nasehat dan kritik adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar pemimpin tak tergelincir pada keharaman dan jatuh pada murka Allah.
Rasulullah Saw bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummu Salamah, Rasulullah Saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Dalam sistem politik Islam, terdapat majelis ummah atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw. terhadap orang-orang tertentu di antara para Sahabat Beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada Sahabat-sahabat lainnya). Di antara mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan lainnya.
Muhasabah terhadap penguasa merupakan adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. Wallahu a’lam bis shawab.[]

Beberapa hari ini ada banyak pertanyaan masuk seputar Rajab. Baik itu di grup WA atau via japri ke saya.
Sebagian besar pertanyaan soal kesahihan beberapa hadits yang beredar seputar keutamaan Rajab. Juga seputar apakah puasa Rajab dan doa Rajab tertolak? Apa amalan yang dilakukan di bulan Rajab?
Bismillah, semoga yang saya share ini Allah ridhoi dan bisa bermanfaat.
Bulan Rajab termasuk bulan haram. Dimana umat muslim dianjurkan meninggalkan maksiat dan mdmperbanyak amal shalih.
Bahkan khusus Rajab dan Sya'ban, para ulama salafus shalih (ulama terdahulu) mengistimewakannya sebagai bagian dari persiapan Ramadhan.
Berkata Al-Imam Al-Hafidh Zainuddin Abul Faraj Abdur Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hambali Ad-Dimasyqi rahimahullah (wafat 795 Hijriyyah):
“Bulan Rajab adalah kunci bulan-bulan kebaikan dan keberkahan;
Berkata Abu Bakar Al-Warroq Al-Balkhi rahimahullah:
"Bulan Rajab adalah bulan untuk menanam, bulan Sya'ban adalah bulan menyirami tanaman tersebut, dan bulan Ramadhan adalah bulan panen tanaman tersebut "
Beliau (Abu Bakar Al-Warroq Al-Balkhi rahimahullah) juga mengatakan:
"Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, perumpamaan bulan Sya'ban seperti awan, sedangkan perumpamaan bulan Ramadhan adalah seperti hujan".
Sebagian ulama berkata:
"Tahun itu ibarat pohon dan bulan Rajab adalah masa bersemainya dedaunan, bulan Sya'ban masa berbuah, sedangkan bulan Ramadhan adalah masa memanen, dan orang-orang mukmin itu adalah yang akan memanennya".
Sungguh pantas bagi siapa saja yang telah menghitamkan catatan amalnya dengan dosa-dosa, untuk memutihkannya dengan bertaubat pada bulan (Rajab) ini. Dan bagi siapa saja yang telah menyia-nyiakan umurnya dengan menganggur (berbuat apa saja yang tidak bermanfaat), untuk memanfaatkan usianya yang masih tersisa (dengan mengerjakan amal kebaikan) dalam bulan (Rajab) ini.
[Kitab 'Latho'iful Ma'arif' karya Al-Hafidh Ibnu Rajab rahimahullah hlm 234]
Diantara amalan2 yang biasa diamalkan oleh Salafunas salih di bulan Rajab dan Sya'ban adalah memperbanyak membaca Alquran, memperbanyak sedekah, juga memperbanyak puasa.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Bahkan Ibnu ’Umar, Al Hasan Al Bashri dan Abu Ishaq As Sa’ibi melakukan puasa pada seluruh bulan haram, bukan hanya bulan Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya. ( Latha-if Al Ma’arif, 214)
Mengenai hadits-hadits keutamaan Rajab yang ramai beredar, juga mengenai doa :
[اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان
Ya Allah berilah kami keberkahan pada bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan]
Maka pendapat yang saya fahami :
1. Jika hadits tentang keutamaan Rajab itu palsu, kita haram meyakininya. Tak perlu diamalakan ataupun disebarkan.
Jika haditsnya dha'if, banyak ulama hadits membolehkan pemakaian hadits dha'if dalam hal keutamaan amal (Lihat kitab Taysir Musthalah al-Hadits)
2. Soal doa yang masyhur di atas, yang saya yakini haditsnya dhaif. Namun dalam urusan berdoa, para ulama membolehkan kita berdoa dengan doa yang dha'if, doa yang tak diajarkan nabi, bahkan berdoa sesuai hati nurani. Ini hukumnya mubah. Dengan catatan, doa di atas tidak diyakini sebagai doa nabi. Jadi untuk doa, tak semua doa yang status haditsnya dhoif atau doa yangbukan berasal dari nabi, jadi bid'ah atau tertolak ya 😁
Alhamdulillah, Rajab datang. Semoga Allah menolong kita untuk beramal shalih dan menyampaikan kita pada bulan Ramadhan yang mulia.
Selamat meraih keberkahan bulan haram ini. Mari menyibukkan diri dalam ketaatan, bukan bersibuk dalam perbedaan pendapat dalam hal yang ijtihadiy. Uhibbukum fillah 😊
Allahu a'lam
Ukhtukum fillah, Wardah Abeedah.
Oleh : Wardah Abeedah*
 Di tengah gelombang hijrah yang cukup masif dan persatuan umat yang makin sering digaungkan, terdapat banyak peristiwa yang menyakiti hati umat. Menimbulkan polemik di tengah kaum Muslimin. Mulai pembakaran bendera, dukungan sebagian ulama terhadap pemimpin kafir, fitnahan keji dan kriminalisasi ulama dan ormas Islam, hingga kriminalisasi dan mosterisasi ajaran-ajaran Islam. Di antaranya yang sedang viral beberapa hari ini adalah penghapusan istilah kafir bagi non muslim WNI oleh ormas Islam terbesar dalam Musyawarah Nasionalnya.
Penghapusan istilah kafir ini menuai begitu banyak kontra dari ulama dan tokoh yang bersuara menentangnya. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin turut angkat bicara. Menurutnya, kata kafir adalah istilah final dalam kitab suci Alquran (Eramuslim, 5 maret 2019). Ustadz Bachtiar Nasir, Felix Siauw dan banyak ulama lain bersuara menentangnya. Kalangan tokoh NU sendiri tak mau ketinggalan, Prof dr. H. Ahmad Zahro yang juga Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, “Keputusan penghapusan kafir adalah menentang Allah SWT.”
Penghapusan kata kafir amatlah berbahaya. لكل حرف من حروف القرآن فيه أسرار
“Setiap huruf dari huruf Alquran, mengandung makna-makna mendalam”. Istilah kafrir adalah istilah yang dipilih oleh Allah, satu-satunya Zat yang Mahabenar dan punya otoritas untuk membuat standar kebenaran. Istilah kafir memiliki konotasi syar’i. Mendefinisikannya harusnya dikembalikan kepada terminologi Islam. Karena kata kafir adalah kata yang wajibkan merujuk, maka jika kata ini tak dipakai lagi, akan berimplikasi pada hilangnya banyak ajaran Islam.
Setidaknya ada dua bahaya dari penghapusan istilah kafir :
1. Menyerang konsep akidah Islam.
Dalam pembahasan akidah atau tauhid, kata kafir menjadi pembeda yang jelas dan terang antara mereka yang mengimani bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasulNya, dengan mereka yang mengingkarinya. (Lihat an-Nisa’ [4]: 136)
Mengobrak-abrik konsep akidah amatlah berbahaya. Sebab akidah (keimanan) adalah pondasi Islam. Akidah adalah landasan bagi setiap mukmin untuk tunduk dan terikat berbagai hukum syara’ yang ditetapkan Allah.
Jika tak ada lagi istilah kafir, maka istilah mukmin tak lagi memiliki nilai. Akan lenyap perbedaan antara mukmin dan kafir. Jika perbedaan kedua istilah ini lenyap, maka akan menjadi tidak penting untuk taat pada Allah atau tidak, menjadi tidak penting syariah ditegakkan atau tidak.
Jika tak ada perbedaan antara kafir dan mukmin, keimanan terhadap hari akhir, surga dan neraka juga tak akan menjadi pembahasan penting. Pun tak ada lagi perbedaan apakah akan menjadikan Alquran sebagai kitab suci dan pedoman hidup, atau memakai Veda yang diyakini hindu sebagai kitab sucinya. Tak pula ada perbedaan apakah akan beribadah dengan shalat atau menyembah matahari sebagaimana mereka yang beragama Shinto.
2. Mengobrak-abrik tatanan syariah, terutama fiqh siyasiy (politik) yang sudah disusun oleh ulama salafus shalih.
Sudah menjadi hal yang ma’luman minad diini bid dharurah bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal politik dan pemerintahan. Selain dibahas dalam terminologi aqidah, istilah kafir juga dikupas dalam pembahasan fiqh siyasiy. Para ulama mendefiniskan istilah kafir, juga berupaya mengkategorikan jenis-jenis kafir seperti dzimmiy, muahid, musta’man. Dari kategori ini muncullah hukum-hukum terkait jizyah, jihad, dan hukum-hukum terkait politik luar negeri lainnya.
Dalam hal pemerintahan, mereka yang kafir dilarang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan Islam. Termasuk diberi amanah pemerintahan, baik sebagai pemimpin negara (Khalifah atau Imam), wali (gubernur) maupun menjadi amil (pemimpin daerah dibawah wali), qadli (hakim) dan lainnya. Menghapus istilah kafir, akan menghapus semua hukum-hukum di atas seperti jizyah, jihad, keharaman memilih pemimpin kafir (non muslim), dan lainnya.
Pertanyaannya, apakah mereka yang memunculkan ide penghapusan istilah kafir ini tidak memahami bahayanya? Apa kiranya modus menimbulkan polemik ini? Kedua hal ini patutlah ditanyakan agar kita bisa merespons persolaan ini dengan benar.
Jika ditelisik dari sudut pandang politis ideologis, bisa kita simpulkan bahwa ada motif jahat di balik rekomendasi larangan istilah kafir bagi non muslim WNI ini. Di antara indikasinya adalah :
1. Latar belakang yang absurd.
Menurut Mashdar Farid, pengurus harian Syuriah PBNU, latar belakang rekomendasi larangan menyebut kafir pada non muslim adalah ingin menjaga ukhuwah sesama bangsa. Mengingat Indonesia negara plural (metro pagi prime time, Metro TV 2 Maret 2019). Jika memang benar ini yang menjadi latar belakang, kenapa hanya istilah dalam Islam yang dipermasalahkan? Padahal jika dipahami dengan benar, istilah kafir bahkan lebih sopan daripada istilah domba yang tersesat yang dipakai ajaran Kristen dalam menyebut orang non Kristen.
Terlebih lagi, istilah ini adalah istilah yang sangat prinsip bagi kaum Muslimin, dan harusnya NU menyadari bahwa justru adanya rekomendasi ini akan menyakiti hati umat, menimbulkan polemik, di tengah persatuan rakyat masih menjadi PR besar. Utamanya di kalangan kaum Muslimin yang berjumlah 80% lebih di Indonesia. Tentu saja jika kaum muslimin yang tersakiti, rekomendasi ini akan menimbulkan kegaduhan di Indonesia. Terlebih rekomendasi ini dikeluarkan di tahun politik yang menjadikan tensi politik lebih tinggi dari masa lainnya.
2. Penggagas rekomendasi ini adalah kalangan liberal berbaju NU.
Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah adalah Abdul Moqsith Ghazali yang kini menjabat Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang selama ini dikenal sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal. Sepak terjangnya dalam menyebarkan paham liberal di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Selama ini Moqsith konsisten menyuarakan pluralisme, isu gender dan HAM. Di antara pernyataannya yang kontroversial adalah soal Nabi Muhammad bukan nabi terakhir, pembelaan terhadap LGBT dan lainnya.
3. Menyerang Islam melalui penyesatan istilah adalah strategi lama.
Dalam khazanah keilmuan Islam (tsaqafah Islam), istilah-istilah atau diksi begitu penting dibahas. Sebagaimana ”Maka suatu lafal yang termasuk istilah (terikat) dengan Islam, maka ia memiliki makna syar’i dimana Islam mewajibkan kita terikat dengan makna ini baik dari sisi i’tikad maupun pengamalan.” (Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani, Al-’Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fii Dhaw’i al-Fikr al-Islâmiy al-Mu’âshir, 1424 H, hlm. 22)
Setiap pembahasan membahas tafsir, maka setiap kata yang dipakai memiliki definisi tersendiri. Bahkan para ulama mufassir berijtihad untuk menentukan definisi yang tepat dari istilah-istilah Alquran. Terkadang para mufassir menggalinya dari Alquran, as-sunnah ataupun Bahasa Arab. Ketika membahas fikih, pasti para ulama akan mengawalinya dengan ta’rif yang membahas definisi baik itu secara bahasa (lughatan) ataupun secara istilah syar’i (istilaahan). Mendalami ta’rif ini sangat dibutuhkan ketika para ulama terdahulu berijtihad menggali hukum. Concern para ulama terhadap ta’rif diwujudkan dengan banyaknya kamus atau kitab mu’jam yang mereka tulis untuk membahas makna-makna kata atau istilah-istilah yang dipakai dalam terminologi Islam
Sebelum diutak-atiknya istilah kafir oleh kalangan liberal, mereka sudah mendistorsi istilah-istilah syar’i lainnya sebagaimana istilah jihad, Khilafah, taghut, rahmah, ummatan wasathan, dan istilah lainnya. Semua penyesatan istilah ini mengerucut pada distorsi ajaran Islam yang shahih, ajaran islam yang telah disepakati para ulama salafus shalih bahkan para sahabat Rasulullah yang mulia. Strategi ini sudah lama dan digunakan oleh para antek penjajah di negeri-negeri Muslim lainnya atas arahan tuan mereka.
4. Munculnya penentangan rekomendasi Munas NU soal penghapusan istilah kafir, dari kalangan NU sendiri. Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf, menegaskan penggantian istilah kafir dengan non muslim bukan keputusan kiai dan ulama NU.
“Panggilan kafir dan non muslim. Perhatikan. Itu bukan keputusannya ulama. Itu komentarnya dua orang saja, profesor-profesor ini. Jadi itu bukan keputusan ulama.” Jadi ini satu di antara dua pemelintiran, atau enggak paham. Jadi bukan kiai semuanya. Awas hati-hati jangan sampai ngibuli kiai. Ndak boleh. Ini hanya dua orang saja yang dari dulu ngomongnya kadang-kadang enggak persis. Jadinya fitnah begini. Saya harus terangkan ini karena khawatir banyak orang seneng ngibuli kiai-kiai. Padahal ndak semua kiai begitu. Yang dimasukkan televisi, ya wong iku sebabe. Yang komentar di koran, ya wong iku sebabe. Ya wong iku wae yang salah. Bukan kiai, bukan ulama yang ada di NU. Tapi hanya orang-orang itu saja. Profesor-profesor itu. Karena itu kita ndak mau ikut profesor, kita ikut kiai saja. Supaya pemahamannya benar. Jadi bukan tidak ada kafir. Atau tidak boleh kita ngomong kafir,” ujarnya (viva.co)
Putra kelima KH. Maimun Zubair, Gus Ghafur juga menyanggah pernyataan Moqsith di media. “Ungkapan non-muslim bukan kafir itu kesimpulan dari Moqsith Ghazaly pribadi, karena dalam forum tidak ada kata tersebut. Dan saya tidak tahu apa benar Muqsith bilang seperti itu”, ungkap ulama yang juga turut hadir dalam Bahtsul Masail maudhuiyah tersebut.
Selain kedua ulama NU diatas, Kyai Luthfi Bashori dan Prof dr. H. Ahmad Zahro yang juga dikenal sebagai ulama NU juga menentang keras hasil rekomendasi ini. Jika di dalam tubuh NU saja menentang penghapusan kata kafir dan menolak statement Moqsith, tentunya ide menghapus kata kafir bagi non muslim Indonesia patut dicurigai hanyalah agenda kalangan liberal yang menunggangi NU.
Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu zaman di mana tidak tersisa dari Islam, kecuali tinggal namanya saja, tidak tersisa dari Alquran kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mereka megah dan semarak, tetapi jauh dari petunjuk Allah, ulama- ulama mereka menjadi manusia- manusia paling jahat yang hidup di bawah kolong langit, dari mulut mereka ke luar fitnah dan akan kembali kepada mereka.” (HR Baihaqi)
Ciri-ciri zaman yang disebut hadits diatas mulai tampak kini. Umat Islam patut berhati-hati terhadap setiap upaya kaum liberal untuk menjauhkan umat dari Islam dan ajarannya yang mulia. Para ulama, mubaligh dan para dai selaku pelita umat juga wajib bersuara keras menjelaskan berbagai penyesatan istilah, penyesatan opini dan penyesatan politik di tengah-tengah umat. Dan sedianya, negara menjadi benteng umat dari berbagai pemikiran nyeleneh yang dapat menyesatkan kaum Muslimin. Wallahu a’lam bis shawab.[]


*Forum Silaturahmi Ustadzah dan Muballighah
Sumber : muslimahnews.com
Gambar : kiblat.net
Oleh: Wardah Abeedah*
MuslimahNews, ANALISIS — “Balance for Better”. Jargon ini menjadi tema Hari Perempuan Internasional 2019. Dalam situs resminya, International Women’s Day mengungkapkan alasan dipilihnya tema ini, “Pada 2019 ini ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, pemerintahaan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga.”
Hari perempuan internasional digagas pada abad ke 17 atas perjuangan kesetaraan gender oleh feminis di Barat, dan dilatarbelakangi diskriminasi keji terhadap perempuan yang terjadi berabad lamanya di Eropa. Pada masa itu Eropa melalui doktrin gereja dan kezaliman kerajaan yang menganggap wanita sebagai sumber dosa, penyihir dan stigma buruk lainnya. Paradigma keliru ini kemudian menghasilkan berbagai kebijakan lalim, hingga perempuan di masa itu mersa butuh untuk memperjuangkan kesetaraan antara pria dan wanita.
Berbeda jauh dengan Eropa, dalam kurun yang sama, para perempuan Muslimah yang hidup di bawah naungan negara Islam diliputi kemuliaan. Rasul kita, Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan risalah yang dibawanya merombak paradigma dan nilai-nilai tentang perempuan dengan perombakan radikal. Perempuan pada masa jahiliyah bisa diwariskan kepada anak, dikubur hidup-hidup ketika lahir, dan mendapat berbagai perlakuan diskriminasi lainnya. Namun setelah Islam datang, melalui wahyu yang disampaikan secara lisan, maupun melalui perbuatan, Rasul memuliakan para perempuan. Rasul mandi di bejana yang sama dengan istrinya, memanggil istrinya dengan nama kesayangan, berlomba lari dan terbiasa bercanda dengan istri-istrinya. Dalam Alquran yang dibawanya, Allah memerintahkan para lelaki untuk mempergauli isterinya dengan baik, membatasi poligami dengan empat istri, mewajibkan lelaki menafkahi perempuan, menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata Allah, yang membedakannya adalah ketakwaannya, dan berbagai syariah lainnya.
Pada masa itu, ketika Eropa menganggap perempuan tak memiliki hak pendidikan, para Muslimah mendapatkan waktu belajar khusus sejak masa Rasulullah. Pasca wafatnya Sang Nabi, istri-istri beliau dan beberapa shahabiyah mengajarkan tsaqafah Islam kepada para perempuan. Ada ratusan jumlah perawi hadits dari kaum hawa.
Pada abad ke 9, seorang Muslimah bernama Fatimah Al Fihri di Maroko mendirikan Universitas Qairouwan. UNESCO dan the book Guinness World Records menobatkan Universitas Qairouan adalah Universitas pertama dan juga tertua yang memberikan gelar bagi para lulusannya. Terdapat pula sebuah dokumen surat dari Raja George II kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia yang berisikan pendelegasian Princess Dubant sebagai pemimpin para puteri Raja Eropa yang akan belajar di universitas-universitas negara Khilafah.
Islam menetapkan bahwa kewajiban utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Namun hal itu bukan berarti para Muslimah dilarang berkiprah di area publik. Meski membatasi beberapa jabatan bagi wanita, Islam membebaskannya mengabdi kepada negara Islam sesuai dengan fitrahnya. Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, beliau mengangkat Syifa, seorang Muslimah cerdas sebagai hakim pasar (qadli hisbah).
Para perempuan juga memiliki hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat politiknya dan mengoreksi penguasa. Khalifah Umar bin Khattab pernah menarik kebijakannya soal pembatasan mahar atas teguran dari seorang Muslimah. Istri-istri Rasulullah, para sahabiyah dan generasi wanita di masa Khilafah terbiasa terjun ke medan jihad.
Para ilmuwan perempuan di masa itu menyumbangkan banyak penemuan bagi dunia. Maryam Al-Ijliya adalah ahli astronomi yang menemukan Astrolabe, sekaligus pembuat cikal alat transportasi dan komunikasi untuk dunia modern. Terdapat pula nama Sutayta al-Mahamli (abad ke 10 masehi), seorang muslimah yang ahli pada bidang matematika, beliau terkenal sebagai ahli matimatika terkhusus Aritmatika yang mempelajari tentang bilangan bulat melalui pejumlahan,perkalian dan pengurangan yang dipakai pada kehidupan sehari-hari kala itu. Selain itu, beliau juga ahli di bidang hadits dan syariah.
Dari rentetan sejarah di atas, bisa kita tarik sebuah kesimpulan bahwa sepanjang sejarah, Muslimah tak pernah membutuhkan ide kesetaraan gender. Para Muslimah telah dikaruniakan syariah sempurna yang menempatkannya pada kedudukan yang sesuai dengan fitrah penciptaannya.
Ketika Allah menetapkan hak warisnya setengah ukuran pria, itu karena dia mendapatkan hak nafkah berlapis untuknya. Ia berhak mendapatkan nafkah dari walinya atau suaminya, lalu keluarganya. Jika mereka semua tak mampu memenuhinya, maka negara akan memenuhi semua kebutuhannya secara langsung. Ketika Islam mewajibkannya izin kepada suami ketika keluar rumah, hal itu karena ia memiliki hak perlindungan dari suaminya. Ketika Islam menentukkan iddah dan larangan nikah di masa iddah untuknya, melarangnya menikah dengan lebih dari seorang pria, itu bukan bentuk diskriminasi. Melainkan perlindungan terhadap Rahim setiap wanita. Karena janin yang ada di dalam kandungannya harus jelas bernasab kepada siapa, kelak akan menjadi tanggungjawab siapa. Karena setiap janin dan bayi memiliki hak dari kedua orangtua. Ibu berkewajiban mendidik dan mengasuh anak, persoalan nafkah dan selebihnya menjadi tugsa para ayah. Ketika Allah menetapkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Islam tak pernah melarangnya berkiprah di luar rumah untuk negara atau untuk bermanfaat di tengah kaumnya, para wanita lainnya.
Inilah keindahan syariah (aturan) buatan zat yang menciptakan manusia, zat yang Mahatahu apa yang dibutuhkan manusia dan apa yang terbaik baginya. Para Muslimah hanya membutuhkan syariah Islam saja, bukan lainnya. Dengan melaksanakan kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, terwujudlah generasi kaum Muslimin yang hebat dan cemerlang. Dengan peran publik yang tak menyalahi fitrah, taawun (tolong-menolong) antara pria dan wanita mewujudkan kemaslahatan dunia yang hakiki. Syariah is leading us to a better future, untuk para perempuan, generasi, pun para lelaki, bagi seluruh dunia. Allahu a’lam bis shawab.[]
*Pegiat literasi dakwah, Forum Silaturahmi Ustadzah dan Muballigah



Oleh : Wardah Abeedah*
MuslimahNews, ANALISIS — Aksi terror di dua masjid New Zealand membuat dunia berduka. Bukan hanya jatuhnya puluhan korban yang membuat masyarakat dunia bersimpati. Pembantaian yang dilakukan di masjid yang menjadi simbol Islam, di waktu kaum Muslim menjalankan ibadah, dengan senjata yang ditempeli sticker simbol-simbol bersejarah pembantaian kaum Muslimin, dan terlebih lagi divideokan secara live dengan angle kamera menyerupai permainan game online membuat pembantaian ini menjadi sorotan dunia.
Bagaimana, dimana, dan kapan teror itu dilakukan, menjadikan banyak pihak menyimpulkan bahwa serangan teror ini adalah buah dari islamofobia. Juru Bicara Presiden Turki, Ibrahim Kalin menyatakan dalam cuitannya di Twitter, “Serangan terhadap dua masjid di Selandia Baru memperlihatkan titik tempat islamofobia, permusuhan terhadap Muslim dicapai.” (antaranews.com)
Serangan yang sering terjadi terhadap masjid dan Muslim di Barat selama ini dipercaya terjadi akibat islamofobia. Direktur Departemen Pengawasan dan Perangi Islamofobia CAIR (Council on American-Islam), Corey Taylor, seperti dilansir dari Guardian di tahun 2016 mengungkapkan bahwa terdapat kelompok-kelompok yang berkontribusi menumbuhkan islamofobia.
Kebencian yang kelompok ini bawa memiliki konsekuensi nyata serangan terhadap Masjid di seluruh negara bagian, serta undang-undang baru yang mendiskriminasi Muslim di Amerika. CAIR mencatat, ada 78 insiden anti-Islam yang terjadi sepanjang 2015 dengan Masjid yang selalu menjadi sasaran.
Hakikat Islamofobia
Selama ini, islamofobia hanyalah dianggap sebuah fobia atau ketakutan dan kebencian tak beralasan terhadap Islam dan Muslim. Fobia ini dianggap hanya menjangkiti minoritas yang terpapar paham supremasi kulit putih atau dianut Kristen radikal melalui diskusi internet atau komunitas tertentu saja. Hal ini salah besar. Islamofobia adalah perang opini yang menjadi bagian dari perang ideologi yang dilakukan Barat secara terbuka melalui media-media mainstream, pernyataan-pernyataan resmi pemimpin dunia, diskusi-diskusi publik, bahkan melalui kurikulum pendidikan.
Pasca kejadian WTC 911, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media mainstream di seluruh dunia. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh. Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, dan dilabeli sebagai penyebab radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Jika aksi kekerasan dilakukan oleh pihak non muslim di Barat, atau terhadap kelompok Islam yang dicap garis keras di negeri-negeri Muslim, maka kejadian tersebut akan direspon kalem.
Lihat saja banyaknya penembakan dan serangan terhadap Muslim dan masjid di Barat, berita seperti itu jarang sekali menjadi headline media mainstream. Begitu pula di Indonesia, ketika insiden penembakan menewaskan puluhan abdi negara di Papua, ia tak akan disebut dengan serangan teror. Pelakunya pun tak disebut teroris. Ketika yang menjadi korban persekusi bahkan pembubaran ormas tanpa melalui peradilan adalah pihak yang dilabeli Islam radikal, maka pemerintah dan media tidak menganggapnya sebuah problem besar.
Dalam studi yang dilakukan oleh Georgia State University, teroris dari kalangan non muslim perlu melakukan pembunuhan tujuh kali lebih banyak untuk mendapatkan liputan yang sama di media dibanding jika pelakunya Muslim. Mereka juga mnegungkapkan bahwa serangan yang dilakukan oleh umat Islam mendapatkan 357 persen lebih banyak liputan media daripada serangan yang dilakukan oleh kelompok lain.
Prof Deepa Kumar dalam bukunya yang berjudul “Islamophobia and the Politics of Empire”, mengklasifikasi islamofobia menjadi dua jenis; pertama, conservative Islamophobia, di mana mereka memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dll.
Amerika sejak dipimpin Trump membuat kebijakan untuk melarang Muslim dari tujuh negara memasuki negaranya. Dalam pernyataannya, Trump mengatakan bahwa jamaah masjid adalah kumpulan para pembunuh yang “keluar masjid dengan kebencian dan kematian di mata dan pikiran mereka.”
Kedua, Liberal Islamophobia, secara retorika terdengar lebih lembut. Tapi sebenarnya tidak kalah jahat. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Barat. Kumar menganalogikan pendekatan Liberal Islamophobia sebagai “penjajahan berbulu domba”.
Pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan islamofobia menulis sebuah artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam”. Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti RAND Corporation, Cheryl Benard. Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternative, dan menjadi bagian dari Global War on Terorism yang digencarkan Bush.
Dalam bukunya “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies.” RAND merekomendasikan agar Muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan Syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. RAND memberi saran kepada Amerika untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati. Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, AS akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, dll sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dominasi Amerika.
Strategi RAND ini termasuk dalam liberal islamofobia. Lembaga think tank Amerika ini merekomendasikan untuk menjalankan strategi ini meminjam tangan kaum Muslimin sendiri. Hingga saat ini, strategi ini diratifikasi negeri-negeri Muslim dunia dalam kebijakan-kebijakan kontraterorisme melalui UU terorisme, kurikulum pendidikan hinga program-program deradikalisasi lainnnya.
Tak hanya Pipes, strategi ini disambut baik Presiden George W. Bush Jr. Dalam sebuah pidatonya pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan:
“Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut Khilafah.. Khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter yang mencakup semua wilayah Muslim, baik saat ini maupun di masa lalu, membentang dari Eropa ke Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara…”
Di Amerika Serkat sendiri, penghasut kebencian terhadap Muslim dan Islam telah dijadikan bisnis. CAIR pada tahun 2015 menyebutkan bahwa 200 juta dollar telah mereka habiskan untuk menyebarkan islamofobia.
Dampak Islamofobia
Serangan teror yang terjadi di New Zealand jelas merupakan salah satu dampak dari islamofobia yang diaruskan secara sistemik di Barat. Dalam laporan tahunannya, Tell Mama, organisasi yang meng-counter islamofobia di Inggris menemukan lonjakan serangan islamofobia di Inggris, dengan 1.201 laporan diverifikasi diajukan pada 2017, kenaikan 26 persen pada tahun sebelumnya dan jumlah tertinggi sejak mulai merekam insiden. Meski kasus kekerasan atau terror yang dilakukan Muslim menurun drastis, namun ekspos media tentang islamofobia terus menigkat.
Di Indonesia sendiri, dampak islamofobia terwujud dalam kriminalisasi ajaran Islam, tokoh Islam dan jamaah-jamaah dakwah. Kasus pembakaran bendera tauhid, pembubaran HTI yang getol menyuarakan kewajiban tegaknya Khilafah dan persekusi yang terjadi pada beberapa ulama adalah bukti bahwa kaum Muslimin di Indonesia juga terjangkiti islamofobia. Mereka memeluk Islam, namun takut dan benci terhadap ajaran Islam akibat masifnya penebaran islamofobia oleh rezim, media mainstream, maupun kelompok-kelompok yang terlibat industri islamofobia baik secara sadar ataupun tidak.
Penutup
Negara-negara Barat terus berupaya keras untuk mencegah bangkitnya kekuatan Islam dalam bentuk institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam dan mempersatukan seluruh kaum Muslimin di dunia yakni Khilafah Islam yang dijanjikan Rasulullah Saw. Tanda-tanda bangkitnya kekuatan Islam ini menjadi teror bagi ideologi Barat (kapitalisme) yang selama ini hidup dari menghisap kekayaan negeri-negeri Muslim.
Upaya teror melalui islamofobia yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin di Barat ataupun di negeri Muslim tak sepenuhnya berhasil membuat kaum Muslimin meninggalkan Islam. Terbukti di Barat sendiri, teror islamofobia justru membuat orang-orang Barat berbondong-bondong memeluk Islam. Teror islamofobia dan hoax yang ditebarkan di negeri-negeri Muslim juga justru membuahkan ghirah umat yang semakin membara.
Lihat saja kasus pembakaran bendera tauhid yang direspon dengan semakin bangganya umat Islam dengan simbol-simbol agama dan ajaran agama mereka. Maha benar Allah dalam firman-Nya,
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 7)[]
Sumber gambar : kiblat.net