Minggu, 01 Oktober 2017

Oktober 01, 2017 0 Comments
As-Siyaasah Al-Islamiyyah
(Politik Islam)


‘Politik’. Mungkin kata ini menjadi salah satu kata yang oleh sebagian pihak hendak dijauhkan dari kata ‘Islam’. Apalagi kata dan fakta “Politisasi Agama”, hal ini acapkali dianggap menjadikan kesucian agama terkotori. Membuat sebagian orang yang tak faham agama enggan mencampuradukkan agama dan politik.  Seringkali kita disuguhkan berita terkait calon pemimpin yang mendadak agamis ketika akan menjalani pilkada atau pilpres. Sebut saja salah satu pengusaha besar non muslim di Indonesia yang dulunya menjadi fasilitator terselenggaranya ajang Miss World di negeri dengan muslim terbesar ini. Tiba-tiba saja dia mendadak berkopyah dan sering sowan kepada ulama di pesantren-pesantren. Tak cukup itu, dia bahkan mendirikan sebuah yayasan pesantren yang concern memberikan bantuan-bantuan materi pada lembaga pesantren di Indonesia.
Calon pemimpin muslim juga tak ingin menyia-nyiakan suara non muslim meski itu minoritas. Mereka rela memasuki rumah ibadah non muslim, dan berkhotbah disana. Istri-istri mereka yang awalnya berhijab hanya di momen idul Fitri, tetiba berpenampilan syar’i dan menjadi rajin berbagi hijab di majelis-majelis taklim. Ironisnya, saat sudah menjabat sebagian besar ternyata mengecewakan rakyat. Kopyah dan kerudung yang dulu membawanya terpilih karena identik dengan kejujuran dan kearifan seseorang, ternyata hanya property yang wajib dipakai saat kampanye.
Namun sebagai manusia yang meyakini agama, statemen prasiden soal pemisahan agama dan politik perlu kiranya kita pastikan keshahihannya. Jika di dalamnya terdapat kekeliruan, perlulah kita ketahui secara mendalam apa kekeliruannya, dan kenapa statemen ini keluar dari orang nomer satu di Indonesia? Padahal saat diangkat menjadi presiden, beliau bahkan disumpah dengan kitab suci agamanya.


Islam sekedar agama?

Islam didefinisikan sebagai “Agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan menusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama manusia”. Menurut al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani, Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. (Mufradat Alfaazhil Qur-aan) .Islam berbeda dengan agama lain yang hanya mengajarkan keyakinan, ibadah dan akhlaq. Islam memiliki aturan sempurna dan paripurna yang telah Allah turunkan untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Pemikiran-pemikiran terkait keimanan atau aqidah, juga hukum-hukum yang akan menuntun kehidupan manusia menjadi mulia. Al-qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan Allah kepada kaum muslimin melalui rasulullah SAW terdiri dari 30 juz, 144 surat dan 6234 ayat. Didalamnya memuat firman-firman Allah yang terkait keimanan (aqidah), aturan(syariah) dan kisah-kisah yang bias kita jadikan pelajaran. Aturan yang diperintahkan berupa ‘amr’ atau perintah dan nahy atau larangan.
            Aturan ini mencakup tiga dimensi ; Pertama, hubungan manusia dengan Allah seperti persoalan aqidah dan Ibadah.  Allah telah memfirmankan peritah untuk menyembah Allah semata dalam banyak ayat. Allah juga memerintahkan shalat, zakat dan haji yang tertulis di dalam qur’an yang mulia.
Kedua. Aturan Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlaq seperti dalam surah al-Maidah ayat 1 yang memerintahkan ummat Islam untuk menunaikan amanah. Mengatur pakaian sebagaimana termaktub dalam al-ahzab 59 yang menjelaskan jilbab dan an-nur ayat 31 yang mewajibkan wanita muslimah memakai khimar yang menjulur hingga dada.  Juga pengaturan makanan - minuman yang Allah firmankan dalam beberapa surat diantaranya al-maidah 88, dan pengharaman khamr dalam surat al-maidah ayat 90.
Ketiga, Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya; disinilah letak prosentase terbesar cakupan syariat Islam . Aspek ekonomi telah Allah jelaskan dalam ayat tentang penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Hukum terkait pergaulan, salah satunya bisa kita baca dalam surat al-isra’ 32 yang mengaharamkan mendekati zina. Surat al-ankabut ayat 8 memerintahkan mu’min untuk berbakti pada orangtua, dll. Pada dimensi ketiga ini, aturan Islam juga nencakup system sangsi atau peradilan. Dalam surat an-nur ayat 2-3, Allah memerintahkan hukuman cambuk bagi pezina yang belum menikah, dan beberapa ayat lainnya menjelaskan perintah potong tangan dan hudud lainnya. Aspek kenegaraan, militer (jihad), juga tak luput disematkan dalam wahyu Alah yang suci dalam al-quran al-kariim dll.

            Tak hanya al-qur’an yang Allah titahkan untuk manusia berpedoman. Allah juga jadikan perbuatan, perkataan dan taqrir rasulullah SAW sebagai as-sunnah. Allah berikan fakta quran yang berjalan dalam bentuk manusia. Yang juga memiliki kebutuhan fisik dan memiliki gahrizah (kecenderungan perasaan) seperti kita. Sehingga akal manusia yang terbatas mampu memahami Islam dengan mudah. Tapi manusia mulia itu Allah pelihara dengan kema’shuman. Bersih dari dosa dan ma’shiat.  Sebagaimana firmanNya “Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4) Sehingga as-sunnah layak untuk dijadikan pedoman kedua kita. Mengambilnya berarti melaksanakan perintah Allah. Berpedoman dengannya berarti telah nyata berpegang pada kebenaran, dan selamanya tak akan tersesatkan. “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi). Dari as-sunnah kita dapat mengetahui bagaimana islam diterapkan dalam hal pergaulan dan bagaimana seorang  muslim berekonomi. Rasul juga memberi petunjuk bagaimana pemimpin Negara menerapkan sanksi dan bagaiman politik luar negeri sebuah Negara harusnyaberjalan menurut wahyu.
            Disinilah sangat tepat jika sebagian kalangan menilai Islam bukan hanya agama ritual semata. Tapi sebuah ideology sebagaimana kapitalisme dan komunisme. Karena sejatinya definisi ideology adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan (Taqiyyuddin An-Nabhani). Atau didefinisikan sebagai sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia (Dr. Hafidz Saleh).  Islam mencakup semua itu. Islam memiliki ide dasar atau aqidah yang menjadi landasan lahirnya system kehidupan. Islam juga memiliki system atau aturan kehiduopan berupa syariatnya yang menyeluruh dan sempurna.
             

Politik dalam Islam

            Sebagai agama bahkan sebagai ideology, Islam memiliki konsep politik tersendiri. Islam bahkan memiliki definisi yang pas tentang politik. Politik dalam bahasa arab dikatakan as-siyaasah. Berasal dari kata saasa-yasiisu (mengatur). Secara istilah syar’i, politik didefinisikan sebagai “ ri’ayatus syu’uunil ummah”; Pengaturan urusan ummat.
Maka tak heran, jika para ulama salafus shalih banyak menulis kitab-kitab yang terkait politik. Sebutlah kitab ‘Ahkamus Sulthaniyah’ (Hukum-hukum Kekuasaan/Pemerintahan). Ada dua kitab dengan judul dan inti pemabahasan yang sama namun berbeda penulis, dan berbeda pendapat ijtihad. Yang satu ditulis Imam Abul Hasan al-Mawardi dan Imam Abu Ya’laa. Kitab ini mengupas hukum-hukm kekuasaan termasuk di dalamnya struktur pemerintahan Negara Islam.  Imam Ibnu Qayyim mengarang kitab Ath-Thuruuq al-Hukmiyah(metode-metode pemerintahan). Imama as-Suyuthi menulis kitab Al-Asaatin fii ‘adaamil muji’ as-salaathin. Ibnu Taimiyah juga menulis kitab as-Siyaasah asy-Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i wa Ra’iyyah. Selain dibahas dalam kitab yang khusus membahas politik, kitab-kitab hadits tak luput dari pembahasan pemerintahan. Imam Bukhori menuliskan kitab al-huduud dan kitab al-imaamah menjadi bab pembahasan tersendiri dalam kitab jami’us shahihnya. Sebagaimana kitab al-imaarah dan kitab al-hudud juga menjadi bab tersendiri dalam kitab jami’us shahih muslim-nya imam Muslim. Bab-bab ini membahas hadits-hadits rasulullah SAW terkait sangsi peradilan dan pemerintahan.  Dalam pembahasan fiqh, ulama juga hampir selalu menyematkan bab qadla’ (peradilan), bab hudud (sangsi) serta bab imamah atau imaarah (pemerintahan). Dalam kitab-kitab maghazi dan sirah (sejarah) rasulullah SAW, kisah keteladanan rasulullah dalam memimpin Negara Islam di Madinah hingga melebarkan kekuasaannya ke seluruh jazirah Arab selalu tertulis jelas. Kitab-kitab sirah yang menuliskan biografi empat sahabat rasul yang memimpin Negara Islam sesudah beliau juga selalu menyematkan kisah-kisah kegemilangan kepemimpinan mereka. Merekalah yang sering dihafal generasi muslim sebgai khulafa’ ar-rasyidin. Khulafa’ merupakan jamak dari kata khalifah ; pemimpin dalam system khilafah.  Tinta emas sejarah telah menorehkan berbagai prestasi gemilang para pemimpin yang dijamin surga ini. Mulai pembebasan negeri-negeri kufur yang menjadikan Islam tersebar kerahmatannya hingga ke al-Quds, Mesir, Syam, Persia, hingga profil  pemimpin-pemimpin zuhud yang sangat memperhatikan rakyatnya.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Diin-nya “Maka kekuasaan dan agama adalah saudara kembar . Agama adalah pondasi/pokoknya. Sedangkan penguasa adalah penjaganya. Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya akan runtuh. Sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” Kekuasaan atau pun politik tanpa Islam hanya akan meruntuhkan Islam dan ummatnya. Dan akan melenyapkan Islam dengan semua kemuliaanya. Politik dan kekuasaan yang diatur dengan Islam telah terbukti mendatangkan kerahmatan, keberkahan dan kemuliaan. Rahmat bagi kaum muslimin, bahkan sekuruh alam. Hal ini telah berlangsung berabad lamanya, sejak masa pemerintahan rasulullah SAW yang idlanjutakan oleh khulafa’ Ar-Rasyidin hingga khalifah-khalifah sesudahnya. Kaum muslim -apapun ras, bangsa dan bahsanya- menjadi satu ummat yang bernaung dibawah satu Negara yang kuat. Dibawah satu kepemimpinan yang adil. Negara yang thoyyibatun wa robbun ghofur, dilimpahi kebaikan dan ampunan tuhan. Mencetak ulama-ulama berkualitas dengan jumlah yang massif, melahirkan kesejahteraan hingga tak ada yang mau menerima zakat sebagaimana pada masa khalifah Umar bin ‘abdul Aziz. Aman dan tenteram seperti masa Abu Bakr, yang hakim (qadli) nya mengundurkan diri karena selama 1 tahun penuh menganggur tanpa ada satupun kasus criminal dan perselisihan yang masuk ke pengadilan. Negara yang telah mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat yang karyanya dinikmati penduduk bumi hingga saat ini; al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jazari dan masih banyak nama-nama lain yang tak bisa disebutkan dalam tulisan ini.

Ada Grand Design untuk Jauhkan Islam dari politik.

Peperangan kekuasaan di dunia adalah sebuah sunnatullah yang senantiasa terjadi.  Jika pada masa lampau terjadi antara Persia dan Romawi, antara Thalut dan Jalut. Pada masa akhir, peperangan terjadi bukan lagi antar kekaisaran, namun antar ideology. Kapitalisme, Sosialisme dan Islam menjadi tiga ideology di dunia yang saat ini eksis. Ketiganya berperang baik secara fisik maupun non fisik untuk menguasasi dunia dan menerapkan ideologinya. Kapitalisme sebagai dieologi yang dianut sebagian besar negara-negara di dunia serta sedang memimpin dunia, terus berupaya agar ideology Islam tetap terkubur tanpa ada satupun kekuatan politk (negara) yang menerapkannya. Barat sebagai pengekspor ideology Kapitalisme tahu betul, bahwa kemunculan Negara yang berideologikan Islam akan mengancam eksistensinya. Lebih dari itu, 1400 tahun yang lalu, Allah telah mengabarkan perangai buruk Yahudi dan Nashrani yang tak akan pernah ridho pada ummat Islam hingga mereka mengikuti millahnya. Para mufassir berpendapat, millah bukan sekedar agama. Tapi juga pandangan hidup.


            Maka sekecil apapun potensi yang dapat memunculkan kekuatan politik ideology Islam harus diberangus. Entah itu dengan merubah kurikulum pesantren agar terhapus pembahsan politik dan kekuasaan Islam disana, atau dengan membungkam ulama yang vocal menyuarakan Islam politik dengan ‘sertifikasi ulama’.  Kelompok-kelompok dan media-media Islam yang lantang menyerukan Islam yang sempurna beserta kewajiban penerapannya juga akan disingkirakan dan dilabeli teroris, fundamentalis, radikal dan garis keras. Semua itu demi memastikan ummat Islam tak mengenal ideologinya. Agar eksistensi ideology kapitalisme tak terusik dengannya. Tak heran jika wacana pemisahan Islam dari politik ini lantang disuarakan oleh mereka yang mengabdi pada ideology kapitalisme. Baik itu penguasa-penguasa komprador dan tokoh muslim ataupun media. Allahu a’lam bis showab.
Oktober 01, 2017 0 Comments
Hijrah Rasulullah ; Menuju Darul Islam ataukah Darussalam?

Terdapat sedikit polemic antar cendekiawan Islam terkait peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan kaum muslimin ke Madinah. Sebagian berpendapat bahwa hijrah RAsulullah SAW dari Makkah ke MAdinah adalah hijrah dari Darul Kufur menuju Darul Islam yang telah berdiri secara de jure semenjak peristiwa Bai’at Aqabah. Hijrah beliau adalah untuk memimpin Madinah dengan Islam secara de facto.

Sebagian yang lain menolak keras pendapat ini dengan menjelaskan bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah dalam rangka mewujudkan Darusssalam. Daerah yang selamat atau aman. Karena maraknya penyiksaan terhadap kaum muslimin di Makkah dan setelah berhijrah ke Madinah, rasulullah SAW menggagas piagam Madinah yang dianggap untuk menerapkan HAM dan pluralisme.

Terlepas dari perbedaan di atas, semua sepakat bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah adalah peristiwa istimewa lagi luar biasa bagi dakwah Islam. Terbukti, peristiwa hijrah ini dijadikan Umar bin Khattab sebagai awal tahun hijriyah, saat beliau menggagas adanya kalender khusus kaum muslimin di masa kekhalifahannya.


Makna Darul Islam dan Darussalam

Sebelum jernih menilai apakah Madinah Darul Islam atau Darussalam. Kita perlu mengetahui definisi para ulama tentang keduanya.

Darul Islam adalah istilah syar’i dalam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam. Istilah Darul Islam biasa dipakai dalam kitab-kitab klasik karya para ulama salafus shalih dalam pembahasan sirah atau tarikh (sejarah). Begitu pula dalam pembahasan fiqh yang terkait pemerintahan. Istilah Darul Islam juga banyak disebutkan dalam kitab-kitab Mu’jam atau kamus yang disusun oleh para ulama.

Darul Islam terdiri dari dua kata; Daar dan Al-Islam. ‘Daar’ , secara bahasa bermakna al-arshah (halaman rumah), al-bina’ (bangunan rumah), al-mahallah (distrik atau wilayah). Oleh karena itu, setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum disebut daar (negeri atau wilayah) mereka [Lihat Lisan al-‘Arab juz IV hlm 298 karya Ibnu Mandzur]

Masih di dalam kitab yang sama, makna ‘daar’ secara istilah syar’i bisa berkonotasi kabilah, bisa berkonotasi balad (negeri atau wilayah). Namun konotasi tersebut telah dikonversi oleh Pembuat Syariat ketika menggunakan kata ‘daar’ dalam konteks : ‘daar al-Islam’, ‘daar al-kufr’, ‘daar al-harb’. Ini bisa kita lihat di beberapa hadits nabi, salah satunya disebutkan :
منعت دار الإسلام ما فيها ، وأباحت دار الشرك ما فيها . 

 Daar Islam telah melindungi (rakyatnya) apa saja (darah, harta, dan kehormatan mereka) yang ada di dalamnya; sementara Dar Syirk telah menjadikan apa saja (milik rakyatnya)yang ada di dalamnya menjadi halal. (HR al-Mâwardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah).

Para fuqaha kemudian membuat definisi Daar al-Islam. Madzhab Syafii, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Ramli menyebut ‘Daar al-Islam jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh [Nihayah al-Muhtaj ala Syarhi Minhaj]. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Daar al-Kufr bisa menjadi Daar al-Islam jika hukum Islam berkuasa di negeri tersebut. [Al-Kassani, Badai’u ash-Shana’i. Sedangkan menurut madzhab Hanbali seperti yang dinyatakan Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Ahl adz-Dzimmah menyebut Daar al-Islam jika negeri tersebut didiami kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diterapkan disana.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut, bisa disimpulkan bahwa status ‘Daar al-Islam’ dapat dikembalikan kepada dua hal;
1.     Penerapan hukum Islam
2.     Kekuatan Islam yang melindungi negeri dan penduduknya, baik di dalam maupun luar negeri.



Sedangkan kata Darussalam dalam khazanah Islam, jika kita merujuk kepada al-qur’an, kata Darussalam yang disebut Allah dalam al-quran surat Yunus:25 dan al-qur’an surah al-An’am:127 dimaknai mayoritas mufassir dengan surga. Sebagian ulama juga memaknai Darussalam sebagai nama surga. Sadangkan secara bahasa Dar As-Salaam bermakna negeri atau wilayah yang aman atau selamat. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Allah mensifati surga dengan Daarusalam adalah karena keselamatan mereka dalam perjalanan melewati jalan yang lurus dengan mengikuti jejak dan cara para Nabi. Sebagaimana mereka telah selamat dari bahaya jalan-jalan yang bengkok, maka mereka pun sampai kepada “Darussalam”.
Untuk mensifati Madinah apakah Darussalam apakah darul Islam, kita harus kembali merujuk pada ta’rif (pengertian) istilah-istilah Islam. Memahami setiap kata dengan istilah-istilah Islam menjadi sangat penting karena istilah-istilah dalam Islam berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Keliru dalam memaknainya, akan mengakibatkan keliru memahami hukum. Maka dari ta’rif Darul Islam dan Darussalam diatas, bisa kita fahami istilah Darul Islam lebih tepat untuk mensifati Madinah karena istilah Darussalam secara sayr’i adalah surga. Sedangkan Madinah berada di alam dunia, bukan di alam akhirat atau surge.

Fakta Madinah

Madinah sebelum hijrahnya Rasulullah SAW bernama Yatsrib. Masyarakat Yatsrib terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan orang-orang Yahudi. Semenjak Baiat Aqabah kedua, dimana 73 orang pria dan 2 orang wanita dari kalangan tokoh muslimin Yatsrib membaiat Rasulullah SAW untuk melindungi dakwah dan berkorban di jalan Islam, cikal bakal pendirian Negara Islam Madinah dimulai. Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab ad-Daulah al-Islamnya menuliskan “Rasul saw menemui mereka secara rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang
akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam”

Dr. Abdurrahman Sa’id al-Buthy juga berpendapat serupa, "Adapun Baiat Aqabah kedua merupakan landasan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah, yang utamanya adalah jihad dan penegakan dakwah dengan kekuatan. Ini sudah menjadi hukum meskipun legalisasinya belum Allah ijinkan di Makkah. Namun Allah SWT telah mengilhamkan rasulnya bahwa itu akan dilegalisasikan tidak lama kemudian." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah Ma'a Mujaz li Tarikhi al-Khilafah ar-Rasyidah)


Terkait Baiat Aqabah kedua, Ibnu Hisyam juga menyebutnya dengan Baiat al-Harbi atau Baiat perang. Saat di Makkah, meski para sahabat disiksa sebagaimana keluarga Yasir disiksa hingga tewas, Rasulullah SAW yang belum memiliki kekuatan untuk melindungi kaum muslimin hanya meminta keluarga Yasir bersabar tanpa membalas dengan kekuatan fisik apapun. Namun setelah di Madinah, pasca Baiat Aqabah, keamanan dan kekuatan berada di tangan Islam. Rasulullah SAW diperintahkan untuk mem-futuhat atau membebaskan wilayah yang didiami kaum muslimin, sementara hukum dan keamanannya tidak berada di tangan Islam. Hingga terjadilah peristiwa Fathu Makkah atau Pembebasan Kota Makkah. Berlanjut dengan futuhat-futuhat yang lainnya. Bahkan semenjak di MAdinah hingga wafatnya, beliau SAW memimpin jihad sebanyak 27 kali.

Rasulullah setibanya di Madinah mendirikan masjid sebelum membangun kediaman beliau beserta keluarganya. Yang nantinya masjid tersebut dijadikan pusat pembinaan para sahabat dan kaum muslimin dalam rangka membangun masayrakat ISlami. Ebaliau juga menjadikan masjid tempat mengatur strategi jihad, menetapkan hokum, melaksanakan urusan Negara Madinah dll.

Bahkan di Madinah beliau SAW mengangkat Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai kedua wazir (menteri, pembantu) beliau. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya rasulullah SAW bersabda, “Kedua wazir atau pembantuku dari penduduk bumi adalam Abu Bakr dan Umar”

Kata wazir memiliki pengertian al-Ma’unah atau bantuan dan pembawa beban pemerintahan [Faidh al-Qadir, al-Munawi juz 2 hal 656]. Iii semakin menguatkan fakta bahwa Madinah adalah Daar al-Islam karena hokum dan kekuasaan di dalamnya ada di tangan Islam.

Selain itu, beliau menggagas Piagam Madinah. Sebuah Piagam yang mengatur interaksi antar masyarakat yang tinggal Madinah yang plural. Perjanjian tersebut mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan
ketundukan kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta ketundukan
mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam. (ad-Daulah al-Islamiyah, An-Nabhaniy). Ini berdasarkan teks Baiat yang berbunyi, “Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW” (Siratun Nabiy saw., juz II, halaman 119-133, Ibnu Hisyam)

Penjelasan tentang pengertian Daar al-Islam oleh para fuqaha dan fakta sejarah di atas jelas menepis beberapa opini menyesatkan yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukan untuk menjadikannya Dar Islam, tapi Daar as-salaam, sehingga esensi hijrah adalah akhlaq yang menyelamatkan dan damai, bukan persoalan konstitusi Negara Islam. Ini jelas-jelas sebuah penyesatan politik. Yang kemungkinan besar disuarakan oelh pemikir-pemikir liberal yang terbiasa mensyarah atau menjelaskan pemahman Islam secara serampangan tanpa mengindahkan qaidah-qaidah yang biasa dipakai ulama salafus shalih dalam berpendapat. Tujuannya tentu saja untuk menjauhkan ummat dari pemahaman Islam yang shahih.

Semoga kita bisa meneladani perjuangan rasulullah SAW yang berupaya untuk menjadikan negeri-negeri yang didiami kaum muslimin sebagai Daar al-Islam. Sehingga kita bisa merasakan indahnya kehidupan di bawah hokum Allah yang diberkahi.



Dipublikasikan di FP MuslimahNews.ID 

Jumat, 14 Juli 2017

حقيقة النية أو تعريف النية :
HAKIKAT NIAT ATAU DEFINISI NIAT
النية لغة: قصد الشيء وعزم القلب عليه
Kata an-niyatu dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya.
والنية في الشرع: عزم قلبي على عمل فرضي أو غيره. أو عزم القلب على عمل فرضاً كان أو تطوعاً. وهي أيضاً: الإرادة المتعلقة بالفعل في الحال أو في المستقبل
Dan niat menurut istilah syara’ adalah Tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain, atau tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau sunnah. Juga dapat diartikan keinginan ynag berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau dilakukan.
**menurut sebagian ulama, niat mnrt istilah syara' :
قصد الشيء مقترنا بفعله
Bermaksud sesuatu yang bersamaan dengan dilaksanakannya pekerjaan (kitab safinatun naja)
حكم النية
حكم النية عند جمهور الفقهاء (1) (غير الحنفية) : الوجوب فيما توقفت صحته عليها، كالوضوء والغسل، ماعدا غسل الميت والتيمم، والصلاة بأنواعها،
HUKUM NIAT
HUkum niat menurut jumhur fuqoha’ (mayoritas ahli fiqh) – selain hanafiy- : wajib apabila perbuatan yang dilakukan tidak sah jika tanpa niat seperti wudhu, mandi (selain memandikan mayit), tayamum, saholat dan sebagainya
** Para ulama 4 madzhab -kecuali syafii- memasukkan niat dalam syarat sah ibadah. Asy-syafii memasukkan niat dalam rukun ibadah.
وأدلة إيجاب النية كثيرة، منها قول الله تعالى: {وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء..} [البينة:98 / 5] قال الماوردي: والإخلاص في كلامهم النية.
Dalil wajibnya niat banyak, diantaranya firman Allah swt, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena (menjalankan) agama (al-Bayyinah:5)
ومنها الحديث المتفق على صحته بين البخاري ومسلم وباقي الأئمة الستة وأحمد (الجماعة) من رواية أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، وهو ـ كما قا ل النووي ـ حديث عظيم، أحد الأحاديث التي عليها مدار الإسلام، بل هو أعظمها، وهي اثنان وأربعون حديثاً. ونصه: قا ل عمر: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلم يقول:
«إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدُنيا يصيبها أو امرأة ٍ ينكِحُها، فهجرتُه إلى ما هاجر إليه»
Dalil lainnya adalah hadits yg disepakati keshahihannya oleh Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Abu Dawud, at-tirmidzi, an-nasa’I, Ibnu Majah, Imama Ahmad yang bersumber dari sahabat Umar ra. Dia berkata “SAya pernah mendengar rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan endapatan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah swt, dan rasulNya, maka hijrahnya dicatat Allahd an RasulNya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hijrahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut”
محل النية
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية
TEMPAT NIAT
Tempat niat menurut kesepakatan seluruh ulama adalah hati. Niat tidak cukup dengan lisan saja, dan tidak disyaratkan melafadzkan niat, namun ia disunnahkan oleh jumhur ulama selain Maliki.
من النية أو وقتها:
الأصل العام: أن وقت النية أول العبادة البدنية إلا في حالات سأذكرها (1)
WAKTU NIAT
Secara umum waktu niat adalah di awal melakukan ibadah, kecuali dalam beberapa kasus yang akn saya terangkan.
أما ما يستثنى من وجوب توقيت النية أول العبادة فهو الصوم, الحج, الزكاة وصدقة الفطر , نية الجمع بين الصلاتين, نية الأضحية , نية الاستثناء في اليمين
Adapun ibadah2 yang waktu niatnya tidak diharuskan di awal melaksanakan ibadah tersebut, yaitu puasa, haji, zakat & zakat fitrah, niat menjama’ dua sholat, niat berkurban & niat mengecualikan sesuatu dalam sumpah
SUMBER : الفقه الإسلامي وأدلته (1/ 125، بترقيم الشاملة آليا)
CATATAN :
- ** berarti tambahan saya (bersumber dari kitab yang lain, bukan kitab fiqh Islam wa adillatuhu)
- Diantara tujuan niat :
1. Untuk membedakan amalan itu ibadah ataupun adat (rutinitas) dan perbuatan biasa.
Misal: mandi; mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah, maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum'at, begitu juga orang berkumur-kumur kemudian mencuci muka dan tangan dan mengusap kepala serta kaki, kalo dilakukan habis bangun tidur dengan tujuan biar bersih maka ini adalah hal biasa bukan ibadah, namun jika di lakukan dengan niat wudhu maka inilah ibadah dsb.
2. Untuk membedakan amalan satu dengan yang lainnya.
Misalnya: orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu dan sama-sama 4 raka'at, maka untuk membedakan ini sholat dhuhur dan itu sholat asyar adalah dengan niat, atau misalnya: kita masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka'at, ada kemunkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah qobliyah (sunnah rawatib) untuk membedaknya adalah dengan niat dsb.
Dan niat yang ikhlas menentukan ihsannya sebuah amal yg diterima oleh Allah .
- Sebagaimana hadits riwayat umar diatas, setiap amal diganjar sesuai niatnya
Dan dalam musnad sesunggunya Rasulullah bersabda : sesungguhnya antara 2 kelompok yang berperang (saling membunuh) Allah lah yang tahu niat dalam hatinya.
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya"

عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضي الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم ” دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ” رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu ‘anhuma telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “. (HR. Tirmidzi dan berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
[Tirmidzi no. 2520, dan An-Nasa-i no. 5711]
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.
Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.
Dalam kitab Al-Wafi (syarah arbain nawawiyah), dijelaskn bahwa diantara kandungan hadits ini adalah :
1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen terhadap yang halal dalam masalah apapun, ibadah, muamalah, munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan lainnya, dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan. Hal ini akan mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang menghindari perkara syubhat, maka agama dan kehormatannya akan terjaga.
Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat, meskipun ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada masalah, namun andai kita belah dadanya tentulah akan kita jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk kerugian dan siksaan mental. Kerugian itu akan semakin besar bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram. Ingatlah bahwa orang yang menggembala di sisi pagar, lama-kelamaan akan melanggar pagar tersebut.
2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan sesuatu yang meragukan. Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata: “Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal yang halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih ke-wara’an, niscaya dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan mengerjakan sesuatu yang tidak meragukan.”
Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’ itu sangat tegas. Jika aku dihadapkan pada dua perkara, tentu aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan perkara yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’. Jika ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.”
Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas adalah berlebih-lebihan. Namun umat Islam perlu sekali teladan seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal yang jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat. Andai contoh-contoh semacam ini tidak ada, tentulah lambat laun umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan bahkan mungkin juga haram.
3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.
Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya batal atau tidak. Maka wudlunya tetap dianggap sah. Kaidah ini juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah telah keluar angin atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR Muslim)
4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah dalam melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan berbagai hal yang syubhat, sementara ia masih bergelimang dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini seharusnya membenahi dirinya dengan terlebih dahulu meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena itulah ketika Ibnu Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia berkata: “Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?….. sementara kalian telah membunuh Husain.”

Rujukan : Al-Wafi & Syarh Arbain Nawawi-nya IIbnu Daqiqil Ied
Allahu a'lam bis showab
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud, Al-Libas, 3512. Al-Albany berkata dalam Shahih Abu Dawud, Hasan Shahih no. 3401)
KANDUNGAN HADITS :
- Keharaman menyerupai orang-orang kafir.
- Barangsiapa yang menyerupai orang kafir, maka akan dikumpulkam bersama mereka.
• Menurut Al-Banna dalam kitab al-fathu Ar-Rabbaniy, "menunjukkan siapa saja yang berusaha meniru-niru/menyerupai seseorang, maka ia seperti orang yang ia serupai dalam keadaan dan tempat kembalinya.
Barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka orang itu pun shaalih dan akan dikumpulkan (kelak) bersama mereka. Dan begitu juga sebaliknya bagi orang yang menyerupai orang-orang kafir atau fasiq.
• Sementara Al-Munaawiy rahimahullah berkata :
وقيل المعنى : من تشبه بالصالحين وهو من أتباعهم يكرم كما يكرمون، ومن تشبه بالفساق يهان ويخذل كهم، ومن وضع عليه علامة الشرف أكرم وإن لم يتحقق شرفه، وفيه أن من تشبه من الجن بالحيات وظهر بصورتهم قتل....
“Dikatakan maknanya adalah : barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka ia termasuk orang yang mengikuti mereka. Ia pun dimuliakan sebagaimana orang-orang shaalih itu dimuliakan. Barangsiapa yang menyerupai orang-orang fasiq, maka akan dihinakan dan direndahkan sebagaimana mereka (dimuliakan dan direndahkan). Dan barangsiapa yang diletakkan padanya tanda-tanda kehormatan, ia lebih mulia meskipun kehormatannya itu tidak kelihatan. Dalam hadits itu juga terdapat faedah : barangsiapa menyerupai ular dan nampak dalam bentuknya (seperti ular) dari kalangan jin, boleh dibunuh….”.[Faidlul Qodir 6/104]
• Ash-Shan’aaniy rahimahullah dalam kitab subulus salam syarah bulughil maram berkata :
والحديث دال على أن من تشبه بالفساق كان منهم أو بالكفار أو بالمبتدعة في أي شيء مما يختصمون به من ملبوس أو مركوب أو هيئة...
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa saja yang menyerupai orang-orang fasiq, maka ia termasuk golongan mereka. Atau menyerupai orang-orang kafir atau mubtadi’ (pelaku bid’ah) dalam hal apa saja yang menjadi kekhususan mereka dengannya dalam gaya berpakaian, berkendaraan, atau gaya/tata cara yang lainnya….”.
• Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah berkata :
هذا الحديث أقل أحواله أن يقتضي تحريم التشبه بأهل الكتاب، وإن كان ظاهره كفر المتشبه بهم....
“Minimal, hadits ini menetapkan adanya keharaman tasyabbuh kepada Ahlul-Kitaab, meskipun pada dhahirnya (dapat) mengkafirkan orang yang bertasyabbuh kepada mereka…”.
Perbuatan tasyabbuh dapat terjadi dalam perkara-perkara hati seperti keyakinan (i’tiqad) dan kehendak; dan bisa juga dalam perkara-perkara lahiriyah seperti berbagai macam ibadah dan kebiasaan.[Iqtidha' as-shiraati al-mustaqim]
Lalu, bagaimana dengan merayakan hari raya mereka?
• Amirul mukminin Umar radhiallahu anhu mengatakan:
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada momentum hari raya mereka” (HR. Baihaqi)
Beliau juga mengatakan, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada perayaan hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka”
• Sementara Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Barangsiapa yang tinggal dinegeri orang ajam (non muslim) lalu turut merayakan hari raya Nairuz dan Mahrajan bersama mereka dan ikut serta menyerupai mereka, kemudian dia mati dalam keadaan demikian, maka pada hari kiamat kelak dia akan dibangkitakan bersama mereka” (Sunan Al Kubro jilid: 9/243)
Dengan mencermati fakta tahun baru yang sebenarnya adalah perayaan bagi dewa janus dan dengen ritual terompet ala yahudi dan kembang api ala majusi, maka sudah jelas bahwa haram bagi kita hukumnya merayakan tahun baru. Lagi pula tahun baru kita sudah lewat beberapa bulan yang lalu di bulan muharram.
Allahu a'lam bis showab
I
SLAM mendudukkan ilmu dan tsaqâfah pada kedudukan yang mulia. Tidak ada agama lain selain Islam yang sedemikian memperhatikan dan begitu memuliakan  persoalan ilmu dan tsaqâfah.
Islam menempatkan kewajiban mempelajari tsaqafah Islam sebagai sebuah ibadah yang setara dengan kewajiban yang lainnya. Dalam surat al-mujadilah ayat 3, Allah telah memberikan keutamaan bagi orang-orang yang memahami Islam dengan mendalam akan dinaikkan derajatnya.
Mereka yang berilmu juga disebut pewaris para nabi. Sebagaimana sabda manusia yang palingagung, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Para nabi yang mulia tidaklah mewariskan sesuatu kepada ummatnya kecuali warisan yang paling berharga di dunia dan warisan yg paling dibutuhkan manusia. Dan warisan tersebut adalah ilmu tsaqâfah. Ini menunjukkan pada kita bahwa ilmu itu jauh lebih utama daripada harta. Dalam kitab madarijus salikin, Imam Ibnu Qoyyim saat menjelaskan bahwa tingkat kedermawanan tertinggi adalah memberikan ilmu.
Sedangkan tingkat kedermawanan terendah adalah dengan memerikan harta. Dengan ilmu manusia akan mengenal Allah, mengenal tujuan hidupnya, mengetahui baik-buruk dan dengan ilmu pula manusia dapat menyelesaikan problemnya. Dan pada hakikatnya, rasulullah saw diutus untuk menyampaikan –ilmu/ tsaqâfah – Islam. Yang beliau perjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga, waktu hingga jiwanya hanyalah untuk membawa Islam. Membawa tsaqafah Islam dengan aqidahnya yang cemerlang, juga syariat Islamnya yang tertuang dalam al-quran dan as-sunnah. Dengannya, kehidupan manusia akan berada pada puncak kemuliaannya, pada limpahan rahmat dan berkah. Dan mencampakkannya pasti berujung pada derita dan masalah. Beliau membawa al-qur’an dan as-sunnah dengan melalui kehidupan yang berat. Berpeluh, bercucuran darah dan air mata, demi kehidupan yang baik bagi kita, ummatnya. Untuk kita ambil dan kita jadikan pegangan hidup. Untuk diadopsi dan dijadikan sebagai sumber solusi yang memudahkan hidup manusia. Itulah mengapa diberi kepahaman agama menjadi indicator seseorang mendapat kebaikan dari Allah.
Kaum Muslimin diwajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan individunya sebagai fardhu ‘ain. Islam juga mewajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan masyarakat dan ilmu  yang dibutuhkan masyarakat sebagai fardhu kifayah.
Tsaqâfah Islam yang didalamnya terdapat aspek aqidah mampu membangkitan manusia. Karena kebangkitan ummat tergantung pada pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Islam bisa menjadikan orang yang memiliki tsaqâfahnya  mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang memilik ‘aqliyah (pola pikir) yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula dalam dirinya nafsiyah Islamiyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang sempurna.
Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini seseorang memiliki sifat yang mengagumkan/agung yang diinginkan oleh seorang Muslim. Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal sebaik-baik perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika.
Tidak berhenti disitu, tsaqâfah Islam menjadi bagian dari ummat Islam, dimana diatasnya dibangun peradaban Islam. Tsaqâfah juga menentukan tujuan dan corak kehidupan ummat. Dengannya, pandangan hidup ummat yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan perbedaan dapat disatukan. Dan didalamnya juga terdapat aturan yang akan dapat menjaga aqidah, keamanan, harta, akal, jiwa, keturunan, kehormatan dan kedaulatan Negara Islam. Tsaqâfahsuatu bangsa hakikatnya adalah keimanan (aqidah), hukum, solusi, sistem yang terpancar dari aqidah, ilmu pengetahuan yang dibangun diatas aqidah dan peristiwa apapun yang terkait dengan aqidah sebagai perjalanan dan sejarah umat.
Perhatian kekhilafahan terhadap tsaqâfah
Era kekhilafahan Islam pada masanya sangat memahami ketinggian possi ilmu dan tsaqâfahIslam dalam agama kita yang mulia. Oleh karenanya, Negara Islam yang dipimpin rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan para khulafa’ sesudah beliau sangat memperhatikan aspek yang berhubungan langsung dengannya, yakni pendidikan.
Di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam, beliau menetapkan kebijakan berupa penebusan bagi tahanan di Perang Badar untuk mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis. Rasulullah sebagai kepala negara mengirimkan para qurra’ untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat, utamanya yang baru masuk Isalm. Rasulullah mengirim qurra’ terbaik tersebut ke seluruh penjuru jazirah Arab. [Hisyam Ibnu, Sirah An-Nabawiyah juz 2]
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah dan musyawarah. Kuttab, merupakan pendidikan yang dibentuk setelah masjid, didirikan pada masa Abu Bakar. Di masa belau pula, al-Qur’an al-kariim mulai dikumpulkan. Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar.
Para khulafa’ berikutnya menyediakan pendidikan gratis dengan sarana dan prasarana yang bermutu, membangun banyak madrasah, jami’ah (universitas) dengan fasilitas terbaik untuk mendudkung kebutuhan pelajar termasuk asrama dan perpustakaan.
Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa dijamin Kehidupan kesehariannya. Bahkan mereka menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Institusi pendidikan serupa juga dibangun dengan fasilitas lengkap dan gratis seperti Madrasah an-Nuriah, jami’ah Al-Azhar kairo dll.
Para khalifah juga membangun perpustakaan di banyak daerah di penjuru kekhilafahan, di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya. Tinta emas sejarah ini ditukis oleh Bloom dan Blair, yang mengakui bahwa rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002).
Bahkan di setiap masjid terdapat perpustakaan. pada abad ke-10, di Andalusia saja saja terdapat 20 perpustakaan umum. Di Kairo,Perpustakaan Darul Hikmah mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku. Bahkan di Syam, Perpustakaan Umum Tripoli, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja.
Semua ini dilakukan demi menjaga tsaqofah Islam tetap terwariskan dengan baik kepada anak cucu dan generasi mendatang. Khilafah juga memproduksi mujtahid-mujtahid dan ulama-ulama berkualitas dan takut Allah secara massal. Para ulama tersebut juga penulis yang setiap orangnya mampu melahirkan ratusan judul kitab. Termasuk diantaranya kitab-kitab yang khusus membahas tuntas aspek ilmu baik dari segi keajiban dan keutamannya, adab-adabnya dan penjelasan tentang ulama seperti kitab Ta’lim al-Muta’lim fi Thoriiqi at-Ta’allum dan Ihya’ Ulumiddin,masterpiece Imam Ghazali yang fenomenal.
Saat melakukan jihad dan futuhat, kaum Muslim menaklukkan berbagai negara dalam rangka mengemban dakwah Islam kepada penduduknya. Karena itu kebanyakan para penakluk adalah dari golongan ulama, pembaca dan penulis. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan tsaqâfahnya di negeri yang ditaklukkan. Walhasil, di setiap negeri yang ditaklukkan dibangun masjid untuk shalat dan belajar, baik bagi laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka mengajarkan kepada orang-orang mengenai al-Quran, hadits dan hukum-hukum Islam, mengajarkan mereka bahasa Arab, dan membatasi perhatian mereka dengan tsaqâfah Islam.
Wajar jika dalam waktu singkat–pada masa pemerintahan kaum Muslim- tsaqâfah lama hilang di negeri-negeri yang ditaklukkan. Tinggal tsaqâfah Islam saja yang menjadi tsaqâfah di setiap negeri tersebut, dan bahasa Arab saja sebagai bahasa Islam. Negeri-negeri yang ditaklukkan seluruhnya bergabung dengan negeri-negeri Arab menjadi negeri yang satu, yang sebelumnya merupakan negeri –negeri dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda dan bercerai berai.  Islam menjadi satu-satunya kepemimpinan berfikir (qiyadah fikriyah) di seluruh Negara Islam.
Kehidupan warga di era khilafah Islam yang dilimpahi barakah ini terus berjalan hingga pada pertengahan abad ke 18 Masehi di masa Kekhilafahan Utsmani, ummat Islam mengalami kemerosotan yang mendalam. Bermula pada kejeniusan raja-raja Eropa, yang kewalahan mengahdapi tentara kaum Muslimin pada Perang Salib.
Dua ratus tahun lamanya, mencurahkan otak mengetur strategi, menguras harta hingga memajak rakyat demi membiayai perang suci, namun yang didapaat hanya kekalahan demi kekalahan. Maka sejak abad ke 13 Masehi mereka temukan rahasia kekuatan ummat Islam. Dan mereka bertekad menghancurkannya. Kekuatan Islam yang tak lain terletak pada tsaqâfah nya ; dalam aspek pemahaman dan penerapannya. Maka dirumuskanlah gaya perang baru, bukan lagi dengan perang fisik, tapi dengan gazwu ats-tsaqafiy ; perang tsaqafah atau perang budaya.
Mereka berupaya keras untuk menghapus tsaqâfah dari benak  dan kehidupan kaum Muslimin. Mereka juga berusaha menghilangkan tsaqâfah dari undang-undang hingga konstitusi kaum Muslimin.  Sejak saat itu, bahasa Arab mulai ditinggalkan dan diganti dengan Arab ‘ammiyah, bahasa daerah dan bahasa penjajah. Kemudian berlanjut dengan ditutupnya pintu ijtihad dan diambilnya tsaqâfah – tsaqâfah asing seperti filsafat, demokrasi, feminisme dll, sehingga negera khilafah justru berdiri di atas tsaqâfah selain Islam. Hal ini merupakan keberhasilan scenario besar Barat dalam perang budaya (gazwu ats-tsaqafiy)  untuk meruntuhkan institusi daulah Islam.
Sejak zaman keruntuhan Negara pemersatu umat itulah, hingga saat ini kaum Muslimin diterpa berbagai persoalan hidup. Miskin harta, miskin iman, miskin ilmu dan miskin adab. Generasi muda umat ini tak luput dari sasaran pengrusakan. Narkoba, minuman keras hingga seks bebas mereka jadikan trend dan gaya hidup. Jika saat ini kita ingin mengembalikan Islam dan ummat Islam pada kejayaan peradabannya, jika kita ingin kembali hidup dalam kegemilangan generasinya, sudah sepatutnya kita kembali pada Islam. Memahami dengan baik tsaqâfah nya. Kemudian meyakininya sebagai satu-satunya pandangan hidup yang shahih. Kita juga wajib merujuk padanya saat memiliki persoalan individu atau keummatan. Serta mengamalkannya dalam seluruh lini kehidupan mulai tataran individu, keluarga, masyarkat hingga Negara.
Last but not least, kita wajib mendakwahkannya hingga seluruh manusia –Muslim atau non mulim- merasakan rahmatnya. Wallahu a’lam bis showab.*
Alumni PP. Al-Wafa Jember, Kepala TPQ & Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember

(Hidayatullah.com)