Minggu, 01 Oktober 2017

Hijrah Rasulullah ; Menuju Darul Islam ataukah Darussalam?

Terdapat sedikit polemic antar cendekiawan Islam terkait peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan kaum muslimin ke Madinah. Sebagian berpendapat bahwa hijrah RAsulullah SAW dari Makkah ke MAdinah adalah hijrah dari Darul Kufur menuju Darul Islam yang telah berdiri secara de jure semenjak peristiwa Bai’at Aqabah. Hijrah beliau adalah untuk memimpin Madinah dengan Islam secara de facto.

Sebagian yang lain menolak keras pendapat ini dengan menjelaskan bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah dalam rangka mewujudkan Darusssalam. Daerah yang selamat atau aman. Karena maraknya penyiksaan terhadap kaum muslimin di Makkah dan setelah berhijrah ke Madinah, rasulullah SAW menggagas piagam Madinah yang dianggap untuk menerapkan HAM dan pluralisme.

Terlepas dari perbedaan di atas, semua sepakat bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah adalah peristiwa istimewa lagi luar biasa bagi dakwah Islam. Terbukti, peristiwa hijrah ini dijadikan Umar bin Khattab sebagai awal tahun hijriyah, saat beliau menggagas adanya kalender khusus kaum muslimin di masa kekhalifahannya.


Makna Darul Islam dan Darussalam

Sebelum jernih menilai apakah Madinah Darul Islam atau Darussalam. Kita perlu mengetahui definisi para ulama tentang keduanya.

Darul Islam adalah istilah syar’i dalam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam. Istilah Darul Islam biasa dipakai dalam kitab-kitab klasik karya para ulama salafus shalih dalam pembahasan sirah atau tarikh (sejarah). Begitu pula dalam pembahasan fiqh yang terkait pemerintahan. Istilah Darul Islam juga banyak disebutkan dalam kitab-kitab Mu’jam atau kamus yang disusun oleh para ulama.

Darul Islam terdiri dari dua kata; Daar dan Al-Islam. ‘Daar’ , secara bahasa bermakna al-arshah (halaman rumah), al-bina’ (bangunan rumah), al-mahallah (distrik atau wilayah). Oleh karena itu, setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum disebut daar (negeri atau wilayah) mereka [Lihat Lisan al-‘Arab juz IV hlm 298 karya Ibnu Mandzur]

Masih di dalam kitab yang sama, makna ‘daar’ secara istilah syar’i bisa berkonotasi kabilah, bisa berkonotasi balad (negeri atau wilayah). Namun konotasi tersebut telah dikonversi oleh Pembuat Syariat ketika menggunakan kata ‘daar’ dalam konteks : ‘daar al-Islam’, ‘daar al-kufr’, ‘daar al-harb’. Ini bisa kita lihat di beberapa hadits nabi, salah satunya disebutkan :
منعت دار الإسلام ما فيها ، وأباحت دار الشرك ما فيها . 

 Daar Islam telah melindungi (rakyatnya) apa saja (darah, harta, dan kehormatan mereka) yang ada di dalamnya; sementara Dar Syirk telah menjadikan apa saja (milik rakyatnya)yang ada di dalamnya menjadi halal. (HR al-Mâwardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah).

Para fuqaha kemudian membuat definisi Daar al-Islam. Madzhab Syafii, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Ramli menyebut ‘Daar al-Islam jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh [Nihayah al-Muhtaj ala Syarhi Minhaj]. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Daar al-Kufr bisa menjadi Daar al-Islam jika hukum Islam berkuasa di negeri tersebut. [Al-Kassani, Badai’u ash-Shana’i. Sedangkan menurut madzhab Hanbali seperti yang dinyatakan Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Ahl adz-Dzimmah menyebut Daar al-Islam jika negeri tersebut didiami kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diterapkan disana.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut, bisa disimpulkan bahwa status ‘Daar al-Islam’ dapat dikembalikan kepada dua hal;
1.     Penerapan hukum Islam
2.     Kekuatan Islam yang melindungi negeri dan penduduknya, baik di dalam maupun luar negeri.



Sedangkan kata Darussalam dalam khazanah Islam, jika kita merujuk kepada al-qur’an, kata Darussalam yang disebut Allah dalam al-quran surat Yunus:25 dan al-qur’an surah al-An’am:127 dimaknai mayoritas mufassir dengan surga. Sebagian ulama juga memaknai Darussalam sebagai nama surga. Sadangkan secara bahasa Dar As-Salaam bermakna negeri atau wilayah yang aman atau selamat. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Allah mensifati surga dengan Daarusalam adalah karena keselamatan mereka dalam perjalanan melewati jalan yang lurus dengan mengikuti jejak dan cara para Nabi. Sebagaimana mereka telah selamat dari bahaya jalan-jalan yang bengkok, maka mereka pun sampai kepada “Darussalam”.
Untuk mensifati Madinah apakah Darussalam apakah darul Islam, kita harus kembali merujuk pada ta’rif (pengertian) istilah-istilah Islam. Memahami setiap kata dengan istilah-istilah Islam menjadi sangat penting karena istilah-istilah dalam Islam berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Keliru dalam memaknainya, akan mengakibatkan keliru memahami hukum. Maka dari ta’rif Darul Islam dan Darussalam diatas, bisa kita fahami istilah Darul Islam lebih tepat untuk mensifati Madinah karena istilah Darussalam secara sayr’i adalah surga. Sedangkan Madinah berada di alam dunia, bukan di alam akhirat atau surge.

Fakta Madinah

Madinah sebelum hijrahnya Rasulullah SAW bernama Yatsrib. Masyarakat Yatsrib terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan orang-orang Yahudi. Semenjak Baiat Aqabah kedua, dimana 73 orang pria dan 2 orang wanita dari kalangan tokoh muslimin Yatsrib membaiat Rasulullah SAW untuk melindungi dakwah dan berkorban di jalan Islam, cikal bakal pendirian Negara Islam Madinah dimulai. Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab ad-Daulah al-Islamnya menuliskan “Rasul saw menemui mereka secara rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang
akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam”

Dr. Abdurrahman Sa’id al-Buthy juga berpendapat serupa, "Adapun Baiat Aqabah kedua merupakan landasan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah, yang utamanya adalah jihad dan penegakan dakwah dengan kekuatan. Ini sudah menjadi hukum meskipun legalisasinya belum Allah ijinkan di Makkah. Namun Allah SWT telah mengilhamkan rasulnya bahwa itu akan dilegalisasikan tidak lama kemudian." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah Ma'a Mujaz li Tarikhi al-Khilafah ar-Rasyidah)


Terkait Baiat Aqabah kedua, Ibnu Hisyam juga menyebutnya dengan Baiat al-Harbi atau Baiat perang. Saat di Makkah, meski para sahabat disiksa sebagaimana keluarga Yasir disiksa hingga tewas, Rasulullah SAW yang belum memiliki kekuatan untuk melindungi kaum muslimin hanya meminta keluarga Yasir bersabar tanpa membalas dengan kekuatan fisik apapun. Namun setelah di Madinah, pasca Baiat Aqabah, keamanan dan kekuatan berada di tangan Islam. Rasulullah SAW diperintahkan untuk mem-futuhat atau membebaskan wilayah yang didiami kaum muslimin, sementara hukum dan keamanannya tidak berada di tangan Islam. Hingga terjadilah peristiwa Fathu Makkah atau Pembebasan Kota Makkah. Berlanjut dengan futuhat-futuhat yang lainnya. Bahkan semenjak di MAdinah hingga wafatnya, beliau SAW memimpin jihad sebanyak 27 kali.

Rasulullah setibanya di Madinah mendirikan masjid sebelum membangun kediaman beliau beserta keluarganya. Yang nantinya masjid tersebut dijadikan pusat pembinaan para sahabat dan kaum muslimin dalam rangka membangun masayrakat ISlami. Ebaliau juga menjadikan masjid tempat mengatur strategi jihad, menetapkan hokum, melaksanakan urusan Negara Madinah dll.

Bahkan di Madinah beliau SAW mengangkat Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai kedua wazir (menteri, pembantu) beliau. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya rasulullah SAW bersabda, “Kedua wazir atau pembantuku dari penduduk bumi adalam Abu Bakr dan Umar”

Kata wazir memiliki pengertian al-Ma’unah atau bantuan dan pembawa beban pemerintahan [Faidh al-Qadir, al-Munawi juz 2 hal 656]. Iii semakin menguatkan fakta bahwa Madinah adalah Daar al-Islam karena hokum dan kekuasaan di dalamnya ada di tangan Islam.

Selain itu, beliau menggagas Piagam Madinah. Sebuah Piagam yang mengatur interaksi antar masyarakat yang tinggal Madinah yang plural. Perjanjian tersebut mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan
ketundukan kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta ketundukan
mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam. (ad-Daulah al-Islamiyah, An-Nabhaniy). Ini berdasarkan teks Baiat yang berbunyi, “Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW” (Siratun Nabiy saw., juz II, halaman 119-133, Ibnu Hisyam)

Penjelasan tentang pengertian Daar al-Islam oleh para fuqaha dan fakta sejarah di atas jelas menepis beberapa opini menyesatkan yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukan untuk menjadikannya Dar Islam, tapi Daar as-salaam, sehingga esensi hijrah adalah akhlaq yang menyelamatkan dan damai, bukan persoalan konstitusi Negara Islam. Ini jelas-jelas sebuah penyesatan politik. Yang kemungkinan besar disuarakan oelh pemikir-pemikir liberal yang terbiasa mensyarah atau menjelaskan pemahman Islam secara serampangan tanpa mengindahkan qaidah-qaidah yang biasa dipakai ulama salafus shalih dalam berpendapat. Tujuannya tentu saja untuk menjauhkan ummat dari pemahaman Islam yang shahih.

Semoga kita bisa meneladani perjuangan rasulullah SAW yang berupaya untuk menjadikan negeri-negeri yang didiami kaum muslimin sebagai Daar al-Islam. Sehingga kita bisa merasakan indahnya kehidupan di bawah hokum Allah yang diberkahi.



Dipublikasikan di FP MuslimahNews.ID 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar