Hijrah Rasulullah ; Menuju Darul Islam ataukah Darussalam?
Terdapat sedikit polemic antar cendekiawan Islam terkait peristiwa hijrah
Rasulullah SAW dan kaum muslimin ke Madinah. Sebagian berpendapat bahwa hijrah
RAsulullah SAW dari Makkah ke MAdinah adalah hijrah dari Darul Kufur menuju
Darul Islam yang telah berdiri secara de jure semenjak peristiwa Bai’at Aqabah.
Hijrah beliau adalah untuk memimpin Madinah dengan Islam secara de facto.
Sebagian yang lain menolak keras pendapat ini dengan menjelaskan bahwa
hijrah Rasulullah SAW ke Madinah dalam rangka mewujudkan Darusssalam. Daerah
yang selamat atau aman. Karena maraknya penyiksaan terhadap kaum muslimin di Makkah
dan setelah berhijrah ke Madinah, rasulullah SAW menggagas piagam Madinah yang
dianggap untuk menerapkan HAM dan pluralisme.
Terlepas dari perbedaan di atas, semua sepakat bahwa hijrah Rasulullah
SAW ke Madinah adalah peristiwa istimewa lagi luar biasa bagi dakwah Islam.
Terbukti, peristiwa hijrah ini dijadikan Umar bin Khattab sebagai awal tahun
hijriyah, saat beliau menggagas adanya kalender khusus kaum muslimin di masa
kekhalifahannya.
Makna Darul Islam dan Darussalam
Sebelum jernih menilai apakah Madinah Darul Islam atau Darussalam. Kita
perlu mengetahui definisi para ulama tentang keduanya.
Darul Islam adalah istilah syar’i dalam tsaqafah (khazanah keilmuan)
Islam. Istilah Darul Islam biasa dipakai dalam kitab-kitab klasik karya para
ulama salafus shalih dalam pembahasan sirah atau tarikh (sejarah). Begitu pula dalam
pembahasan fiqh yang terkait pemerintahan. Istilah Darul Islam juga banyak
disebutkan dalam kitab-kitab Mu’jam atau kamus yang disusun oleh para ulama.
Darul Islam terdiri dari dua kata; Daar dan Al-Islam. ‘Daar’ , secara
bahasa bermakna al-arshah (halaman rumah), al-bina’ (bangunan rumah), al-mahallah
(distrik atau wilayah). Oleh karena itu, setiap tempat yang didiami oleh suatu
kaum disebut daar (negeri atau wilayah) mereka [Lihat Lisan al-‘Arab juz IV hlm
298 karya Ibnu Mandzur]
Masih di dalam kitab yang sama, makna ‘daar’ secara istilah syar’i bisa
berkonotasi kabilah, bisa berkonotasi balad (negeri atau wilayah). Namun
konotasi tersebut telah dikonversi oleh Pembuat Syariat ketika menggunakan kata
‘daar’ dalam konteks : ‘daar al-Islam’, ‘daar al-kufr’, ‘daar al-harb’. Ini
bisa kita lihat di beberapa hadits nabi, salah satunya disebutkan :
منعت دار الإسلام ما فيها ، وأباحت دار الشرك ما فيها .
Para fuqaha kemudian membuat definisi Daar al-Islam. Madzhab Syafii, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Ramli menyebut ‘Daar al-Islam jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh [Nihayah al-Muhtaj ala Syarhi Minhaj]. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Daar al-Kufr bisa menjadi Daar al-Islam jika hukum Islam berkuasa di negeri tersebut. [Al-Kassani, Badai’u ash-Shana’i. Sedangkan menurut madzhab Hanbali seperti yang dinyatakan Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Ahl adz-Dzimmah menyebut Daar al-Islam jika negeri tersebut didiami kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diterapkan disana.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut, bisa disimpulkan bahwa status ‘Daar al-Islam’ dapat dikembalikan kepada dua hal;
1. Penerapan hukum Islam
2. Kekuatan Islam yang melindungi negeri dan
penduduknya, baik di dalam maupun luar negeri.
Sedangkan kata Darussalam dalam khazanah Islam, jika kita merujuk kepada
al-qur’an, kata Darussalam yang disebut Allah dalam al-quran surat Yunus:25 dan al-qur’an surah al-An’am:127
dimaknai mayoritas mufassir dengan surga. Sebagian ulama juga memaknai
Darussalam sebagai nama surga. Sadangkan secara bahasa Dar As-Salaam
bermakna negeri atau wilayah yang aman atau selamat. Menurut Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, Allah mensifati surga dengan Daarusalam adalah karena keselamatan
mereka dalam perjalanan melewati jalan yang lurus dengan mengikuti jejak dan
cara para Nabi. Sebagaimana mereka telah selamat dari bahaya jalan-jalan yang
bengkok, maka mereka pun sampai kepada “Darussalam”.
Untuk mensifati Madinah apakah Darussalam
apakah darul Islam, kita harus kembali merujuk pada ta’rif (pengertian)
istilah-istilah Islam. Memahami setiap kata dengan istilah-istilah Islam
menjadi sangat penting karena istilah-istilah dalam Islam berkaitan dengan hukum-hukum
Islam. Keliru dalam memaknainya, akan mengakibatkan keliru memahami hukum. Maka
dari ta’rif Darul Islam dan Darussalam diatas, bisa kita fahami istilah Darul
Islam lebih tepat untuk mensifati Madinah karena istilah Darussalam secara
sayr’i adalah surga. Sedangkan Madinah berada di alam dunia, bukan di alam
akhirat atau surge.
Fakta Madinah
Madinah
sebelum hijrahnya Rasulullah SAW bernama Yatsrib. Masyarakat Yatsrib terdiri
dari Suku Aus, Khazraj dan orang-orang Yahudi. Semenjak Baiat Aqabah kedua,
dimana 73
orang pria dan 2 orang wanita dari kalangan tokoh muslimin Yatsrib membaiat
Rasulullah SAW untuk melindungi dakwah dan berkorban di jalan
Islam, cikal bakal pendirian Negara Islam Madinah dimulai. Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani
dalam kitab ad-Daulah al-Islamnya menuliskan “Rasul saw menemui mereka secara
rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak
sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja,
tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim.
Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang
akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam
mendirikan Negara Islam”
Dr. Abdurrahman Sa’id al-Buthy juga berpendapat
serupa, "Adapun Baiat Aqabah kedua merupakan landasan hijrah Rasulullah
SAW ke Madinah, yang utamanya adalah jihad dan penegakan dakwah dengan
kekuatan. Ini sudah menjadi hukum meskipun legalisasinya belum Allah ijinkan di
Makkah. Namun Allah SWT telah mengilhamkan rasulnya bahwa itu akan
dilegalisasikan tidak lama kemudian." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah Ma'a
Mujaz li Tarikhi al-Khilafah ar-Rasyidah)
Terkait Baiat Aqabah kedua, Ibnu
Hisyam juga menyebutnya dengan Baiat al-Harbi atau Baiat perang. Saat di
Makkah, meski para sahabat disiksa sebagaimana keluarga Yasir disiksa hingga
tewas, Rasulullah SAW yang belum memiliki kekuatan untuk melindungi kaum
muslimin hanya meminta keluarga Yasir bersabar tanpa membalas dengan kekuatan
fisik apapun. Namun setelah di Madinah, pasca Baiat Aqabah, keamanan dan
kekuatan berada di tangan Islam. Rasulullah SAW diperintahkan untuk mem-futuhat
atau membebaskan wilayah yang didiami kaum muslimin, sementara hukum dan
keamanannya tidak berada di tangan Islam. Hingga terjadilah peristiwa Fathu
Makkah atau Pembebasan Kota Makkah. Berlanjut dengan futuhat-futuhat yang
lainnya. Bahkan semenjak di MAdinah hingga wafatnya, beliau SAW memimpin jihad
sebanyak 27 kali.
Rasulullah setibanya di Madinah
mendirikan masjid sebelum membangun kediaman beliau beserta keluarganya. Yang nantinya
masjid tersebut dijadikan pusat pembinaan para sahabat dan kaum muslimin dalam
rangka membangun masayrakat ISlami. Ebaliau juga menjadikan masjid tempat
mengatur strategi jihad, menetapkan hokum, melaksanakan urusan Negara Madinah
dll.
Bahkan di Madinah beliau SAW
mengangkat Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai kedua
wazir (menteri, pembantu) beliau. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Sa’id al-Khudri bahwasannya rasulullah SAW bersabda, “Kedua wazir atau
pembantuku dari penduduk bumi adalam Abu Bakr dan Umar”
Kata wazir memiliki pengertian al-Ma’unah
atau bantuan dan pembawa beban pemerintahan [Faidh al-Qadir, al-Munawi juz 2
hal 656]. Iii semakin menguatkan fakta bahwa Madinah adalah Daar al-Islam
karena hokum dan kekuasaan di dalamnya ada di tangan Islam.
Selain
itu, beliau menggagas Piagam Madinah. Sebuah Piagam yang mengatur interaksi
antar masyarakat yang tinggal Madinah yang plural. Perjanjian
tersebut mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat
tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum
Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan
ketundukan kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta
ketundukan
mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam. (ad-Daulah al-Islamiyah,
An-Nabhaniy). Ini berdasarkan teks Baiat yang berbunyi, “Bila terjadi suatu
persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan
menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza
Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW” (Siratun Nabiy saw., juz II, halaman
119-133, Ibnu Hisyam)
Penjelasan tentang pengertian
Daar al-Islam oleh para fuqaha dan fakta sejarah di atas jelas menepis beberapa
opini menyesatkan yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukan
untuk menjadikannya Dar Islam, tapi Daar as-salaam, sehingga esensi hijrah
adalah akhlaq yang menyelamatkan dan damai, bukan persoalan konstitusi Negara
Islam. Ini jelas-jelas sebuah penyesatan politik. Yang kemungkinan besar
disuarakan oelh pemikir-pemikir liberal yang terbiasa mensyarah atau
menjelaskan pemahman Islam secara serampangan tanpa mengindahkan qaidah-qaidah
yang biasa dipakai ulama salafus shalih dalam berpendapat. Tujuannya tentu saja
untuk menjauhkan ummat dari pemahaman Islam yang shahih.
Semoga kita bisa meneladani
perjuangan rasulullah SAW yang berupaya untuk menjadikan negeri-negeri yang
didiami kaum muslimin sebagai Daar al-Islam. Sehingga kita bisa merasakan
indahnya kehidupan di bawah hokum Allah yang diberkahi.
Dipublikasikan di FP MuslimahNews.ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar