As-Siyaasah Al-Islamiyyah
(Politik Islam)
‘Politik’.
Mungkin kata ini menjadi salah satu kata yang oleh sebagian pihak hendak
dijauhkan dari kata ‘Islam’. Apalagi kata dan fakta “Politisasi Agama”, hal ini
acapkali dianggap menjadikan kesucian agama terkotori. Membuat sebagian orang
yang tak faham agama enggan mencampuradukkan agama dan politik. Seringkali kita disuguhkan berita terkait
calon pemimpin yang mendadak agamis ketika akan menjalani pilkada atau pilpres.
Sebut saja salah satu pengusaha besar non muslim di Indonesia yang dulunya
menjadi fasilitator terselenggaranya ajang Miss World di negeri dengan muslim
terbesar ini. Tiba-tiba saja dia mendadak berkopyah dan sering sowan kepada ulama
di pesantren-pesantren. Tak cukup itu, dia bahkan mendirikan sebuah yayasan
pesantren yang concern memberikan bantuan-bantuan materi pada lembaga pesantren
di Indonesia.
Calon
pemimpin muslim juga tak ingin menyia-nyiakan suara non muslim meski itu
minoritas. Mereka rela memasuki rumah ibadah non muslim, dan berkhotbah disana.
Istri-istri mereka yang awalnya berhijab hanya di momen idul Fitri, tetiba
berpenampilan syar’i dan menjadi rajin berbagi hijab di majelis-majelis taklim.
Ironisnya, saat sudah menjabat sebagian besar ternyata mengecewakan rakyat. Kopyah
dan kerudung yang dulu membawanya terpilih karena identik dengan kejujuran dan
kearifan seseorang, ternyata hanya property yang wajib dipakai saat kampanye.
Namun sebagai
manusia yang meyakini agama, statemen prasiden soal pemisahan agama dan politik
perlu kiranya kita pastikan keshahihannya. Jika di dalamnya terdapat
kekeliruan, perlulah kita ketahui secara mendalam apa kekeliruannya, dan kenapa
statemen ini keluar dari orang nomer satu di Indonesia? Padahal saat diangkat
menjadi presiden, beliau bahkan disumpah dengan kitab suci agamanya.
Islam sekedar agama?
Islam
didefinisikan sebagai “Agama yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan menusia
dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama manusia”. Menurut al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani, Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’
(cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah,
ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. (Mufradat Alfaazhil Qur-aan) .Islam
berbeda dengan agama lain yang hanya mengajarkan keyakinan, ibadah dan akhlaq.
Islam memiliki aturan sempurna dan paripurna yang telah Allah turunkan untuk
mengatur semua aspek kehidupan manusia. Pemikiran-pemikiran terkait keimanan
atau aqidah, juga hukum-hukum yang akan menuntun kehidupan manusia menjadi
mulia. Al-qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan Allah kepada kaum muslimin
melalui rasulullah SAW terdiri dari 30 juz, 144 surat dan 6234 ayat. Didalamnya
memuat firman-firman Allah yang terkait keimanan (aqidah), aturan(syariah) dan
kisah-kisah yang bias kita jadikan pelajaran. Aturan yang diperintahkan berupa ‘amr’ atau perintah dan nahy atau larangan.
Aturan
ini mencakup tiga dimensi ; Pertama,
hubungan manusia dengan Allah seperti persoalan aqidah dan Ibadah. Allah telah memfirmankan peritah untuk
menyembah Allah semata dalam banyak ayat. Allah juga memerintahkan shalat,
zakat dan haji yang tertulis di dalam qur’an yang mulia.
Kedua.
Aturan Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Di dalamnya
terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlaq seperti dalam surah al-Maidah
ayat 1 yang memerintahkan ummat Islam untuk menunaikan amanah. Mengatur pakaian
sebagaimana termaktub dalam al-ahzab 59 yang menjelaskan jilbab dan an-nur ayat 31 yang mewajibkan wanita muslimah memakai khimar yang menjulur hingga dada. Juga pengaturan makanan - minuman yang Allah firmankan
dalam beberapa surat diantaranya al-maidah 88, dan pengharaman khamr dalam surat al-maidah ayat 90.
Ketiga,
Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya; disinilah letak prosentase
terbesar cakupan syariat Islam . Aspek ekonomi telah Allah jelaskan dalam ayat
tentang penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Hukum terkait pergaulan,
salah satunya bisa kita baca dalam surat al-isra’ 32 yang mengaharamkan
mendekati zina. Surat al-ankabut ayat 8 memerintahkan mu’min untuk berbakti
pada orangtua, dll. Pada dimensi ketiga ini, aturan Islam juga nencakup system
sangsi atau peradilan. Dalam surat an-nur ayat 2-3, Allah memerintahkan hukuman
cambuk bagi pezina yang belum menikah, dan beberapa ayat lainnya menjelaskan
perintah potong tangan dan hudud lainnya. Aspek kenegaraan, militer (jihad),
juga tak luput disematkan dalam wahyu Alah yang suci dalam al-quran al-kariim
dll.
Tak hanya al-qur’an yang Allah
titahkan untuk manusia berpedoman. Allah juga jadikan perbuatan, perkataan dan
taqrir rasulullah SAW sebagai as-sunnah. Allah berikan fakta quran yang
berjalan dalam bentuk manusia. Yang juga memiliki kebutuhan fisik dan memiliki
gahrizah (kecenderungan perasaan) seperti kita. Sehingga akal manusia yang
terbatas mampu memahami Islam dengan mudah. Tapi manusia mulia itu Allah
pelihara dengan kema’shuman. Bersih dari dosa dan ma’shiat. Sebagaimana
firmanNya “Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan
hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan
kepadanya.” (QS. An
Najm: 3-4) Sehingga as-sunnah layak untuk dijadikan pedoman kedua kita.
Mengambilnya berarti melaksanakan perintah Allah. Berpedoman dengannya berarti
telah nyata berpegang pada kebenaran, dan selamanya tak akan tersesatkan. “Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R.
Malik; al-Hakim, al-Baihaqi). Dari
as-sunnah kita dapat mengetahui bagaimana islam diterapkan dalam hal pergaulan
dan bagaimana seorang muslim berekonomi.
Rasul juga memberi petunjuk bagaimana pemimpin Negara menerapkan sanksi dan
bagaiman politik luar negeri sebuah Negara harusnyaberjalan menurut wahyu.
Disinilah
sangat tepat jika sebagian kalangan menilai Islam bukan hanya agama ritual
semata. Tapi sebuah ideology sebagaimana kapitalisme dan komunisme. Karena
sejatinya definisi ideology adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan (Taqiyyuddin
An-Nabhani). Atau didefinisikan sebagai sebuah pemikiran yang mempunyai ide
berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas
seluruh problem kehidupan manusia (Dr. Hafidz Saleh). Islam
mencakup semua itu. Islam memiliki ide dasar atau aqidah yang menjadi landasan lahirnya system kehidupan. Islam juga
memiliki system atau aturan kehiduopan berupa syariatnya yang menyeluruh dan
sempurna.
Politik dalam Islam
Sebagai
agama bahkan sebagai ideology, Islam memiliki konsep politik tersendiri. Islam
bahkan memiliki definisi yang pas tentang politik. Politik dalam bahasa arab
dikatakan as-siyaasah. Berasal dari
kata saasa-yasiisu (mengatur). Secara
istilah syar’i, politik didefinisikan sebagai “ ri’ayatus syu’uunil ummah”; Pengaturan urusan ummat.
Maka tak
heran, jika para ulama salafus shalih banyak menulis kitab-kitab yang terkait
politik. Sebutlah kitab ‘Ahkamus Sulthaniyah’
(Hukum-hukum Kekuasaan/Pemerintahan). Ada dua kitab dengan judul dan inti pemabahasan
yang sama namun berbeda penulis, dan berbeda pendapat ijtihad. Yang satu
ditulis Imam Abul Hasan al-Mawardi dan Imam Abu Ya’laa. Kitab ini mengupas hukum-hukm
kekuasaan termasuk di dalamnya struktur pemerintahan Negara Islam. Imam Ibnu Qayyim mengarang kitab Ath-Thuruuq al-Hukmiyah(metode-metode
pemerintahan). Imama as-Suyuthi menulis kitab Al-Asaatin fii ‘adaamil muji’ as-salaathin. Ibnu Taimiyah juga
menulis kitab as-Siyaasah asy-Syar’iyyah
fi Ishlahir Ra’i wa Ra’iyyah. Selain dibahas dalam kitab yang khusus
membahas politik, kitab-kitab hadits tak luput dari pembahasan pemerintahan.
Imam Bukhori menuliskan kitab al-huduud
dan kitab al-imaamah menjadi bab pembahasan
tersendiri dalam kitab jami’us shahihnya.
Sebagaimana kitab al-imaarah dan kitab al-hudud juga menjadi bab
tersendiri dalam kitab jami’us shahih
muslim-nya imam Muslim. Bab-bab ini membahas hadits-hadits rasulullah SAW
terkait sangsi peradilan dan pemerintahan. Dalam pembahasan fiqh, ulama juga hampir
selalu menyematkan bab qadla’
(peradilan), bab hudud (sangsi) serta
bab imamah atau imaarah (pemerintahan). Dalam kitab-kitab maghazi dan sirah
(sejarah) rasulullah SAW, kisah keteladanan rasulullah dalam memimpin Negara
Islam di Madinah hingga melebarkan kekuasaannya ke seluruh jazirah Arab selalu
tertulis jelas. Kitab-kitab sirah
yang menuliskan biografi empat sahabat rasul yang memimpin Negara Islam sesudah
beliau juga selalu menyematkan kisah-kisah kegemilangan kepemimpinan mereka.
Merekalah yang sering dihafal generasi muslim sebgai khulafa’ ar-rasyidin.
Khulafa’ merupakan jamak dari kata khalifah ; pemimpin dalam system
khilafah. Tinta emas sejarah telah menorehkan
berbagai prestasi gemilang para pemimpin yang dijamin surga ini. Mulai
pembebasan negeri-negeri kufur yang menjadikan Islam tersebar kerahmatannya hingga
ke al-Quds, Mesir, Syam, Persia, hingga profil
pemimpin-pemimpin zuhud yang sangat memperhatikan rakyatnya.
Benarlah apa
yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Diin-nya “Maka kekuasaan dan agama adalah saudara
kembar . Agama adalah pondasi/pokoknya. Sedangkan penguasa adalah penjaganya.
Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya akan runtuh. Sedangkan apa-apa yang tidak
memiliki penjaga akan lenyap.” Kekuasaan atau pun politik tanpa Islam hanya
akan meruntuhkan Islam dan ummatnya. Dan akan melenyapkan Islam dengan semua
kemuliaanya. Politik dan kekuasaan yang diatur dengan Islam telah terbukti
mendatangkan kerahmatan, keberkahan dan kemuliaan. Rahmat bagi kaum muslimin,
bahkan sekuruh alam. Hal ini telah berlangsung berabad lamanya, sejak masa
pemerintahan rasulullah SAW yang idlanjutakan oleh khulafa’ Ar-Rasyidin hingga
khalifah-khalifah sesudahnya. Kaum muslim -apapun ras, bangsa dan bahsanya-
menjadi satu ummat yang bernaung dibawah satu Negara yang kuat. Dibawah satu
kepemimpinan yang adil. Negara yang thoyyibatun wa robbun ghofur, dilimpahi
kebaikan dan ampunan tuhan. Mencetak ulama-ulama berkualitas dengan jumlah yang
massif, melahirkan kesejahteraan hingga tak ada yang mau menerima zakat sebagaimana
pada masa khalifah Umar bin ‘abdul Aziz. Aman dan tenteram seperti masa Abu
Bakr, yang hakim (qadli) nya
mengundurkan diri karena selama 1 tahun penuh menganggur tanpa ada satupun
kasus criminal dan perselisihan yang masuk ke pengadilan. Negara yang telah
mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat yang karyanya dinikmati penduduk bumi hingga
saat ini; al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jazari dan masih banyak nama-nama lain
yang tak bisa disebutkan dalam tulisan ini.
Ada Grand Design untuk Jauhkan Islam dari
politik.
Peperangan
kekuasaan di dunia adalah sebuah sunnatullah yang senantiasa terjadi. Jika pada masa lampau terjadi antara Persia
dan Romawi, antara Thalut dan Jalut. Pada masa akhir, peperangan terjadi bukan
lagi antar kekaisaran, namun antar ideology. Kapitalisme, Sosialisme dan Islam
menjadi tiga ideology di dunia yang saat ini eksis. Ketiganya berperang baik
secara fisik maupun non fisik untuk menguasasi dunia dan menerapkan
ideologinya. Kapitalisme sebagai dieologi yang dianut sebagian besar negara-negara
di dunia serta sedang memimpin dunia, terus berupaya agar ideology Islam tetap
terkubur tanpa ada satupun kekuatan politk (negara) yang menerapkannya. Barat
sebagai pengekspor ideology Kapitalisme tahu betul, bahwa kemunculan Negara
yang berideologikan Islam akan mengancam eksistensinya. Lebih dari itu, 1400
tahun yang lalu, Allah telah mengabarkan perangai buruk Yahudi dan Nashrani
yang tak akan pernah ridho pada ummat Islam hingga mereka mengikuti millahnya. Para mufassir berpendapat, millah bukan sekedar agama. Tapi juga
pandangan hidup.
Maka
sekecil apapun potensi yang dapat memunculkan kekuatan politik ideology Islam
harus diberangus. Entah itu dengan merubah kurikulum pesantren agar terhapus
pembahsan politik dan kekuasaan Islam disana, atau dengan membungkam ulama yang
vocal menyuarakan Islam politik dengan ‘sertifikasi ulama’. Kelompok-kelompok dan media-media Islam yang
lantang menyerukan Islam yang sempurna beserta kewajiban penerapannya juga akan
disingkirakan dan dilabeli teroris, fundamentalis, radikal dan garis keras. Semua
itu demi memastikan ummat Islam tak mengenal ideologinya. Agar eksistensi
ideology kapitalisme tak terusik dengannya. Tak heran jika wacana pemisahan Islam
dari politik ini lantang disuarakan oleh mereka yang mengabdi pada ideology
kapitalisme. Baik itu penguasa-penguasa komprador dan tokoh muslim ataupun
media. Allahu a’lam bis showab.