Minggu, 01 Oktober 2017

Oktober 01, 2017 0 Comments
As-Siyaasah Al-Islamiyyah
(Politik Islam)


‘Politik’. Mungkin kata ini menjadi salah satu kata yang oleh sebagian pihak hendak dijauhkan dari kata ‘Islam’. Apalagi kata dan fakta “Politisasi Agama”, hal ini acapkali dianggap menjadikan kesucian agama terkotori. Membuat sebagian orang yang tak faham agama enggan mencampuradukkan agama dan politik.  Seringkali kita disuguhkan berita terkait calon pemimpin yang mendadak agamis ketika akan menjalani pilkada atau pilpres. Sebut saja salah satu pengusaha besar non muslim di Indonesia yang dulunya menjadi fasilitator terselenggaranya ajang Miss World di negeri dengan muslim terbesar ini. Tiba-tiba saja dia mendadak berkopyah dan sering sowan kepada ulama di pesantren-pesantren. Tak cukup itu, dia bahkan mendirikan sebuah yayasan pesantren yang concern memberikan bantuan-bantuan materi pada lembaga pesantren di Indonesia.
Calon pemimpin muslim juga tak ingin menyia-nyiakan suara non muslim meski itu minoritas. Mereka rela memasuki rumah ibadah non muslim, dan berkhotbah disana. Istri-istri mereka yang awalnya berhijab hanya di momen idul Fitri, tetiba berpenampilan syar’i dan menjadi rajin berbagi hijab di majelis-majelis taklim. Ironisnya, saat sudah menjabat sebagian besar ternyata mengecewakan rakyat. Kopyah dan kerudung yang dulu membawanya terpilih karena identik dengan kejujuran dan kearifan seseorang, ternyata hanya property yang wajib dipakai saat kampanye.
Namun sebagai manusia yang meyakini agama, statemen prasiden soal pemisahan agama dan politik perlu kiranya kita pastikan keshahihannya. Jika di dalamnya terdapat kekeliruan, perlulah kita ketahui secara mendalam apa kekeliruannya, dan kenapa statemen ini keluar dari orang nomer satu di Indonesia? Padahal saat diangkat menjadi presiden, beliau bahkan disumpah dengan kitab suci agamanya.


Islam sekedar agama?

Islam didefinisikan sebagai “Agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan menusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama manusia”. Menurut al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani, Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. (Mufradat Alfaazhil Qur-aan) .Islam berbeda dengan agama lain yang hanya mengajarkan keyakinan, ibadah dan akhlaq. Islam memiliki aturan sempurna dan paripurna yang telah Allah turunkan untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Pemikiran-pemikiran terkait keimanan atau aqidah, juga hukum-hukum yang akan menuntun kehidupan manusia menjadi mulia. Al-qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan Allah kepada kaum muslimin melalui rasulullah SAW terdiri dari 30 juz, 144 surat dan 6234 ayat. Didalamnya memuat firman-firman Allah yang terkait keimanan (aqidah), aturan(syariah) dan kisah-kisah yang bias kita jadikan pelajaran. Aturan yang diperintahkan berupa ‘amr’ atau perintah dan nahy atau larangan.
            Aturan ini mencakup tiga dimensi ; Pertama, hubungan manusia dengan Allah seperti persoalan aqidah dan Ibadah.  Allah telah memfirmankan peritah untuk menyembah Allah semata dalam banyak ayat. Allah juga memerintahkan shalat, zakat dan haji yang tertulis di dalam qur’an yang mulia.
Kedua. Aturan Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlaq seperti dalam surah al-Maidah ayat 1 yang memerintahkan ummat Islam untuk menunaikan amanah. Mengatur pakaian sebagaimana termaktub dalam al-ahzab 59 yang menjelaskan jilbab dan an-nur ayat 31 yang mewajibkan wanita muslimah memakai khimar yang menjulur hingga dada.  Juga pengaturan makanan - minuman yang Allah firmankan dalam beberapa surat diantaranya al-maidah 88, dan pengharaman khamr dalam surat al-maidah ayat 90.
Ketiga, Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya; disinilah letak prosentase terbesar cakupan syariat Islam . Aspek ekonomi telah Allah jelaskan dalam ayat tentang penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Hukum terkait pergaulan, salah satunya bisa kita baca dalam surat al-isra’ 32 yang mengaharamkan mendekati zina. Surat al-ankabut ayat 8 memerintahkan mu’min untuk berbakti pada orangtua, dll. Pada dimensi ketiga ini, aturan Islam juga nencakup system sangsi atau peradilan. Dalam surat an-nur ayat 2-3, Allah memerintahkan hukuman cambuk bagi pezina yang belum menikah, dan beberapa ayat lainnya menjelaskan perintah potong tangan dan hudud lainnya. Aspek kenegaraan, militer (jihad), juga tak luput disematkan dalam wahyu Alah yang suci dalam al-quran al-kariim dll.

            Tak hanya al-qur’an yang Allah titahkan untuk manusia berpedoman. Allah juga jadikan perbuatan, perkataan dan taqrir rasulullah SAW sebagai as-sunnah. Allah berikan fakta quran yang berjalan dalam bentuk manusia. Yang juga memiliki kebutuhan fisik dan memiliki gahrizah (kecenderungan perasaan) seperti kita. Sehingga akal manusia yang terbatas mampu memahami Islam dengan mudah. Tapi manusia mulia itu Allah pelihara dengan kema’shuman. Bersih dari dosa dan ma’shiat.  Sebagaimana firmanNya “Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4) Sehingga as-sunnah layak untuk dijadikan pedoman kedua kita. Mengambilnya berarti melaksanakan perintah Allah. Berpedoman dengannya berarti telah nyata berpegang pada kebenaran, dan selamanya tak akan tersesatkan. “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi). Dari as-sunnah kita dapat mengetahui bagaimana islam diterapkan dalam hal pergaulan dan bagaimana seorang  muslim berekonomi. Rasul juga memberi petunjuk bagaimana pemimpin Negara menerapkan sanksi dan bagaiman politik luar negeri sebuah Negara harusnyaberjalan menurut wahyu.
            Disinilah sangat tepat jika sebagian kalangan menilai Islam bukan hanya agama ritual semata. Tapi sebuah ideology sebagaimana kapitalisme dan komunisme. Karena sejatinya definisi ideology adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan (Taqiyyuddin An-Nabhani). Atau didefinisikan sebagai sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia (Dr. Hafidz Saleh).  Islam mencakup semua itu. Islam memiliki ide dasar atau aqidah yang menjadi landasan lahirnya system kehidupan. Islam juga memiliki system atau aturan kehiduopan berupa syariatnya yang menyeluruh dan sempurna.
             

Politik dalam Islam

            Sebagai agama bahkan sebagai ideology, Islam memiliki konsep politik tersendiri. Islam bahkan memiliki definisi yang pas tentang politik. Politik dalam bahasa arab dikatakan as-siyaasah. Berasal dari kata saasa-yasiisu (mengatur). Secara istilah syar’i, politik didefinisikan sebagai “ ri’ayatus syu’uunil ummah”; Pengaturan urusan ummat.
Maka tak heran, jika para ulama salafus shalih banyak menulis kitab-kitab yang terkait politik. Sebutlah kitab ‘Ahkamus Sulthaniyah’ (Hukum-hukum Kekuasaan/Pemerintahan). Ada dua kitab dengan judul dan inti pemabahasan yang sama namun berbeda penulis, dan berbeda pendapat ijtihad. Yang satu ditulis Imam Abul Hasan al-Mawardi dan Imam Abu Ya’laa. Kitab ini mengupas hukum-hukm kekuasaan termasuk di dalamnya struktur pemerintahan Negara Islam.  Imam Ibnu Qayyim mengarang kitab Ath-Thuruuq al-Hukmiyah(metode-metode pemerintahan). Imama as-Suyuthi menulis kitab Al-Asaatin fii ‘adaamil muji’ as-salaathin. Ibnu Taimiyah juga menulis kitab as-Siyaasah asy-Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i wa Ra’iyyah. Selain dibahas dalam kitab yang khusus membahas politik, kitab-kitab hadits tak luput dari pembahasan pemerintahan. Imam Bukhori menuliskan kitab al-huduud dan kitab al-imaamah menjadi bab pembahasan tersendiri dalam kitab jami’us shahihnya. Sebagaimana kitab al-imaarah dan kitab al-hudud juga menjadi bab tersendiri dalam kitab jami’us shahih muslim-nya imam Muslim. Bab-bab ini membahas hadits-hadits rasulullah SAW terkait sangsi peradilan dan pemerintahan.  Dalam pembahasan fiqh, ulama juga hampir selalu menyematkan bab qadla’ (peradilan), bab hudud (sangsi) serta bab imamah atau imaarah (pemerintahan). Dalam kitab-kitab maghazi dan sirah (sejarah) rasulullah SAW, kisah keteladanan rasulullah dalam memimpin Negara Islam di Madinah hingga melebarkan kekuasaannya ke seluruh jazirah Arab selalu tertulis jelas. Kitab-kitab sirah yang menuliskan biografi empat sahabat rasul yang memimpin Negara Islam sesudah beliau juga selalu menyematkan kisah-kisah kegemilangan kepemimpinan mereka. Merekalah yang sering dihafal generasi muslim sebgai khulafa’ ar-rasyidin. Khulafa’ merupakan jamak dari kata khalifah ; pemimpin dalam system khilafah.  Tinta emas sejarah telah menorehkan berbagai prestasi gemilang para pemimpin yang dijamin surga ini. Mulai pembebasan negeri-negeri kufur yang menjadikan Islam tersebar kerahmatannya hingga ke al-Quds, Mesir, Syam, Persia, hingga profil  pemimpin-pemimpin zuhud yang sangat memperhatikan rakyatnya.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Diin-nya “Maka kekuasaan dan agama adalah saudara kembar . Agama adalah pondasi/pokoknya. Sedangkan penguasa adalah penjaganya. Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya akan runtuh. Sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” Kekuasaan atau pun politik tanpa Islam hanya akan meruntuhkan Islam dan ummatnya. Dan akan melenyapkan Islam dengan semua kemuliaanya. Politik dan kekuasaan yang diatur dengan Islam telah terbukti mendatangkan kerahmatan, keberkahan dan kemuliaan. Rahmat bagi kaum muslimin, bahkan sekuruh alam. Hal ini telah berlangsung berabad lamanya, sejak masa pemerintahan rasulullah SAW yang idlanjutakan oleh khulafa’ Ar-Rasyidin hingga khalifah-khalifah sesudahnya. Kaum muslim -apapun ras, bangsa dan bahsanya- menjadi satu ummat yang bernaung dibawah satu Negara yang kuat. Dibawah satu kepemimpinan yang adil. Negara yang thoyyibatun wa robbun ghofur, dilimpahi kebaikan dan ampunan tuhan. Mencetak ulama-ulama berkualitas dengan jumlah yang massif, melahirkan kesejahteraan hingga tak ada yang mau menerima zakat sebagaimana pada masa khalifah Umar bin ‘abdul Aziz. Aman dan tenteram seperti masa Abu Bakr, yang hakim (qadli) nya mengundurkan diri karena selama 1 tahun penuh menganggur tanpa ada satupun kasus criminal dan perselisihan yang masuk ke pengadilan. Negara yang telah mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat yang karyanya dinikmati penduduk bumi hingga saat ini; al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jazari dan masih banyak nama-nama lain yang tak bisa disebutkan dalam tulisan ini.

Ada Grand Design untuk Jauhkan Islam dari politik.

Peperangan kekuasaan di dunia adalah sebuah sunnatullah yang senantiasa terjadi.  Jika pada masa lampau terjadi antara Persia dan Romawi, antara Thalut dan Jalut. Pada masa akhir, peperangan terjadi bukan lagi antar kekaisaran, namun antar ideology. Kapitalisme, Sosialisme dan Islam menjadi tiga ideology di dunia yang saat ini eksis. Ketiganya berperang baik secara fisik maupun non fisik untuk menguasasi dunia dan menerapkan ideologinya. Kapitalisme sebagai dieologi yang dianut sebagian besar negara-negara di dunia serta sedang memimpin dunia, terus berupaya agar ideology Islam tetap terkubur tanpa ada satupun kekuatan politk (negara) yang menerapkannya. Barat sebagai pengekspor ideology Kapitalisme tahu betul, bahwa kemunculan Negara yang berideologikan Islam akan mengancam eksistensinya. Lebih dari itu, 1400 tahun yang lalu, Allah telah mengabarkan perangai buruk Yahudi dan Nashrani yang tak akan pernah ridho pada ummat Islam hingga mereka mengikuti millahnya. Para mufassir berpendapat, millah bukan sekedar agama. Tapi juga pandangan hidup.


            Maka sekecil apapun potensi yang dapat memunculkan kekuatan politik ideology Islam harus diberangus. Entah itu dengan merubah kurikulum pesantren agar terhapus pembahsan politik dan kekuasaan Islam disana, atau dengan membungkam ulama yang vocal menyuarakan Islam politik dengan ‘sertifikasi ulama’.  Kelompok-kelompok dan media-media Islam yang lantang menyerukan Islam yang sempurna beserta kewajiban penerapannya juga akan disingkirakan dan dilabeli teroris, fundamentalis, radikal dan garis keras. Semua itu demi memastikan ummat Islam tak mengenal ideologinya. Agar eksistensi ideology kapitalisme tak terusik dengannya. Tak heran jika wacana pemisahan Islam dari politik ini lantang disuarakan oleh mereka yang mengabdi pada ideology kapitalisme. Baik itu penguasa-penguasa komprador dan tokoh muslim ataupun media. Allahu a’lam bis showab.
Oktober 01, 2017 0 Comments
Hijrah Rasulullah ; Menuju Darul Islam ataukah Darussalam?

Terdapat sedikit polemic antar cendekiawan Islam terkait peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan kaum muslimin ke Madinah. Sebagian berpendapat bahwa hijrah RAsulullah SAW dari Makkah ke MAdinah adalah hijrah dari Darul Kufur menuju Darul Islam yang telah berdiri secara de jure semenjak peristiwa Bai’at Aqabah. Hijrah beliau adalah untuk memimpin Madinah dengan Islam secara de facto.

Sebagian yang lain menolak keras pendapat ini dengan menjelaskan bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah dalam rangka mewujudkan Darusssalam. Daerah yang selamat atau aman. Karena maraknya penyiksaan terhadap kaum muslimin di Makkah dan setelah berhijrah ke Madinah, rasulullah SAW menggagas piagam Madinah yang dianggap untuk menerapkan HAM dan pluralisme.

Terlepas dari perbedaan di atas, semua sepakat bahwa hijrah Rasulullah SAW ke Madinah adalah peristiwa istimewa lagi luar biasa bagi dakwah Islam. Terbukti, peristiwa hijrah ini dijadikan Umar bin Khattab sebagai awal tahun hijriyah, saat beliau menggagas adanya kalender khusus kaum muslimin di masa kekhalifahannya.


Makna Darul Islam dan Darussalam

Sebelum jernih menilai apakah Madinah Darul Islam atau Darussalam. Kita perlu mengetahui definisi para ulama tentang keduanya.

Darul Islam adalah istilah syar’i dalam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam. Istilah Darul Islam biasa dipakai dalam kitab-kitab klasik karya para ulama salafus shalih dalam pembahasan sirah atau tarikh (sejarah). Begitu pula dalam pembahasan fiqh yang terkait pemerintahan. Istilah Darul Islam juga banyak disebutkan dalam kitab-kitab Mu’jam atau kamus yang disusun oleh para ulama.

Darul Islam terdiri dari dua kata; Daar dan Al-Islam. ‘Daar’ , secara bahasa bermakna al-arshah (halaman rumah), al-bina’ (bangunan rumah), al-mahallah (distrik atau wilayah). Oleh karena itu, setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum disebut daar (negeri atau wilayah) mereka [Lihat Lisan al-‘Arab juz IV hlm 298 karya Ibnu Mandzur]

Masih di dalam kitab yang sama, makna ‘daar’ secara istilah syar’i bisa berkonotasi kabilah, bisa berkonotasi balad (negeri atau wilayah). Namun konotasi tersebut telah dikonversi oleh Pembuat Syariat ketika menggunakan kata ‘daar’ dalam konteks : ‘daar al-Islam’, ‘daar al-kufr’, ‘daar al-harb’. Ini bisa kita lihat di beberapa hadits nabi, salah satunya disebutkan :
منعت دار الإسلام ما فيها ، وأباحت دار الشرك ما فيها . 

 Daar Islam telah melindungi (rakyatnya) apa saja (darah, harta, dan kehormatan mereka) yang ada di dalamnya; sementara Dar Syirk telah menjadikan apa saja (milik rakyatnya)yang ada di dalamnya menjadi halal. (HR al-Mâwardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah).

Para fuqaha kemudian membuat definisi Daar al-Islam. Madzhab Syafii, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Ramli menyebut ‘Daar al-Islam jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh [Nihayah al-Muhtaj ala Syarhi Minhaj]. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Daar al-Kufr bisa menjadi Daar al-Islam jika hukum Islam berkuasa di negeri tersebut. [Al-Kassani, Badai’u ash-Shana’i. Sedangkan menurut madzhab Hanbali seperti yang dinyatakan Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Ahl adz-Dzimmah menyebut Daar al-Islam jika negeri tersebut didiami kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diterapkan disana.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut, bisa disimpulkan bahwa status ‘Daar al-Islam’ dapat dikembalikan kepada dua hal;
1.     Penerapan hukum Islam
2.     Kekuatan Islam yang melindungi negeri dan penduduknya, baik di dalam maupun luar negeri.



Sedangkan kata Darussalam dalam khazanah Islam, jika kita merujuk kepada al-qur’an, kata Darussalam yang disebut Allah dalam al-quran surat Yunus:25 dan al-qur’an surah al-An’am:127 dimaknai mayoritas mufassir dengan surga. Sebagian ulama juga memaknai Darussalam sebagai nama surga. Sadangkan secara bahasa Dar As-Salaam bermakna negeri atau wilayah yang aman atau selamat. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Allah mensifati surga dengan Daarusalam adalah karena keselamatan mereka dalam perjalanan melewati jalan yang lurus dengan mengikuti jejak dan cara para Nabi. Sebagaimana mereka telah selamat dari bahaya jalan-jalan yang bengkok, maka mereka pun sampai kepada “Darussalam”.
Untuk mensifati Madinah apakah Darussalam apakah darul Islam, kita harus kembali merujuk pada ta’rif (pengertian) istilah-istilah Islam. Memahami setiap kata dengan istilah-istilah Islam menjadi sangat penting karena istilah-istilah dalam Islam berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Keliru dalam memaknainya, akan mengakibatkan keliru memahami hukum. Maka dari ta’rif Darul Islam dan Darussalam diatas, bisa kita fahami istilah Darul Islam lebih tepat untuk mensifati Madinah karena istilah Darussalam secara sayr’i adalah surga. Sedangkan Madinah berada di alam dunia, bukan di alam akhirat atau surge.

Fakta Madinah

Madinah sebelum hijrahnya Rasulullah SAW bernama Yatsrib. Masyarakat Yatsrib terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan orang-orang Yahudi. Semenjak Baiat Aqabah kedua, dimana 73 orang pria dan 2 orang wanita dari kalangan tokoh muslimin Yatsrib membaiat Rasulullah SAW untuk melindungi dakwah dan berkorban di jalan Islam, cikal bakal pendirian Negara Islam Madinah dimulai. Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab ad-Daulah al-Islamnya menuliskan “Rasul saw menemui mereka secara rahasia dan membicarakan tentang bai’at yang kedua. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tapi juga mencakup tentang kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang
akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam”

Dr. Abdurrahman Sa’id al-Buthy juga berpendapat serupa, "Adapun Baiat Aqabah kedua merupakan landasan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah, yang utamanya adalah jihad dan penegakan dakwah dengan kekuatan. Ini sudah menjadi hukum meskipun legalisasinya belum Allah ijinkan di Makkah. Namun Allah SWT telah mengilhamkan rasulnya bahwa itu akan dilegalisasikan tidak lama kemudian." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah Ma'a Mujaz li Tarikhi al-Khilafah ar-Rasyidah)


Terkait Baiat Aqabah kedua, Ibnu Hisyam juga menyebutnya dengan Baiat al-Harbi atau Baiat perang. Saat di Makkah, meski para sahabat disiksa sebagaimana keluarga Yasir disiksa hingga tewas, Rasulullah SAW yang belum memiliki kekuatan untuk melindungi kaum muslimin hanya meminta keluarga Yasir bersabar tanpa membalas dengan kekuatan fisik apapun. Namun setelah di Madinah, pasca Baiat Aqabah, keamanan dan kekuatan berada di tangan Islam. Rasulullah SAW diperintahkan untuk mem-futuhat atau membebaskan wilayah yang didiami kaum muslimin, sementara hukum dan keamanannya tidak berada di tangan Islam. Hingga terjadilah peristiwa Fathu Makkah atau Pembebasan Kota Makkah. Berlanjut dengan futuhat-futuhat yang lainnya. Bahkan semenjak di MAdinah hingga wafatnya, beliau SAW memimpin jihad sebanyak 27 kali.

Rasulullah setibanya di Madinah mendirikan masjid sebelum membangun kediaman beliau beserta keluarganya. Yang nantinya masjid tersebut dijadikan pusat pembinaan para sahabat dan kaum muslimin dalam rangka membangun masayrakat ISlami. Ebaliau juga menjadikan masjid tempat mengatur strategi jihad, menetapkan hokum, melaksanakan urusan Negara Madinah dll.

Bahkan di Madinah beliau SAW mengangkat Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai kedua wazir (menteri, pembantu) beliau. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya rasulullah SAW bersabda, “Kedua wazir atau pembantuku dari penduduk bumi adalam Abu Bakr dan Umar”

Kata wazir memiliki pengertian al-Ma’unah atau bantuan dan pembawa beban pemerintahan [Faidh al-Qadir, al-Munawi juz 2 hal 656]. Iii semakin menguatkan fakta bahwa Madinah adalah Daar al-Islam karena hokum dan kekuasaan di dalamnya ada di tangan Islam.

Selain itu, beliau menggagas Piagam Madinah. Sebuah Piagam yang mengatur interaksi antar masyarakat yang tinggal Madinah yang plural. Perjanjian tersebut mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat tertentu. Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan
ketundukan kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta ketundukan
mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam. (ad-Daulah al-Islamiyah, An-Nabhaniy). Ini berdasarkan teks Baiat yang berbunyi, “Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW” (Siratun Nabiy saw., juz II, halaman 119-133, Ibnu Hisyam)

Penjelasan tentang pengertian Daar al-Islam oleh para fuqaha dan fakta sejarah di atas jelas menepis beberapa opini menyesatkan yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukan untuk menjadikannya Dar Islam, tapi Daar as-salaam, sehingga esensi hijrah adalah akhlaq yang menyelamatkan dan damai, bukan persoalan konstitusi Negara Islam. Ini jelas-jelas sebuah penyesatan politik. Yang kemungkinan besar disuarakan oelh pemikir-pemikir liberal yang terbiasa mensyarah atau menjelaskan pemahman Islam secara serampangan tanpa mengindahkan qaidah-qaidah yang biasa dipakai ulama salafus shalih dalam berpendapat. Tujuannya tentu saja untuk menjauhkan ummat dari pemahaman Islam yang shahih.

Semoga kita bisa meneladani perjuangan rasulullah SAW yang berupaya untuk menjadikan negeri-negeri yang didiami kaum muslimin sebagai Daar al-Islam. Sehingga kita bisa merasakan indahnya kehidupan di bawah hokum Allah yang diberkahi.



Dipublikasikan di FP MuslimahNews.ID