Jumat, 14 Juli 2017

حقيقة النية أو تعريف النية :
HAKIKAT NIAT ATAU DEFINISI NIAT
النية لغة: قصد الشيء وعزم القلب عليه
Kata an-niyatu dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya.
والنية في الشرع: عزم قلبي على عمل فرضي أو غيره. أو عزم القلب على عمل فرضاً كان أو تطوعاً. وهي أيضاً: الإرادة المتعلقة بالفعل في الحال أو في المستقبل
Dan niat menurut istilah syara’ adalah Tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain, atau tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau sunnah. Juga dapat diartikan keinginan ynag berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau dilakukan.
**menurut sebagian ulama, niat mnrt istilah syara' :
قصد الشيء مقترنا بفعله
Bermaksud sesuatu yang bersamaan dengan dilaksanakannya pekerjaan (kitab safinatun naja)
حكم النية
حكم النية عند جمهور الفقهاء (1) (غير الحنفية) : الوجوب فيما توقفت صحته عليها، كالوضوء والغسل، ماعدا غسل الميت والتيمم، والصلاة بأنواعها،
HUKUM NIAT
HUkum niat menurut jumhur fuqoha’ (mayoritas ahli fiqh) – selain hanafiy- : wajib apabila perbuatan yang dilakukan tidak sah jika tanpa niat seperti wudhu, mandi (selain memandikan mayit), tayamum, saholat dan sebagainya
** Para ulama 4 madzhab -kecuali syafii- memasukkan niat dalam syarat sah ibadah. Asy-syafii memasukkan niat dalam rukun ibadah.
وأدلة إيجاب النية كثيرة، منها قول الله تعالى: {وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء..} [البينة:98 / 5] قال الماوردي: والإخلاص في كلامهم النية.
Dalil wajibnya niat banyak, diantaranya firman Allah swt, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena (menjalankan) agama (al-Bayyinah:5)
ومنها الحديث المتفق على صحته بين البخاري ومسلم وباقي الأئمة الستة وأحمد (الجماعة) من رواية أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، وهو ـ كما قا ل النووي ـ حديث عظيم، أحد الأحاديث التي عليها مدار الإسلام، بل هو أعظمها، وهي اثنان وأربعون حديثاً. ونصه: قا ل عمر: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلم يقول:
«إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدُنيا يصيبها أو امرأة ٍ ينكِحُها، فهجرتُه إلى ما هاجر إليه»
Dalil lainnya adalah hadits yg disepakati keshahihannya oleh Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Abu Dawud, at-tirmidzi, an-nasa’I, Ibnu Majah, Imama Ahmad yang bersumber dari sahabat Umar ra. Dia berkata “SAya pernah mendengar rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya amal bergantung pada niat. Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan endapatan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah swt, dan rasulNya, maka hijrahnya dicatat Allahd an RasulNya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hijrahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut”
محل النية
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية
TEMPAT NIAT
Tempat niat menurut kesepakatan seluruh ulama adalah hati. Niat tidak cukup dengan lisan saja, dan tidak disyaratkan melafadzkan niat, namun ia disunnahkan oleh jumhur ulama selain Maliki.
من النية أو وقتها:
الأصل العام: أن وقت النية أول العبادة البدنية إلا في حالات سأذكرها (1)
WAKTU NIAT
Secara umum waktu niat adalah di awal melakukan ibadah, kecuali dalam beberapa kasus yang akn saya terangkan.
أما ما يستثنى من وجوب توقيت النية أول العبادة فهو الصوم, الحج, الزكاة وصدقة الفطر , نية الجمع بين الصلاتين, نية الأضحية , نية الاستثناء في اليمين
Adapun ibadah2 yang waktu niatnya tidak diharuskan di awal melaksanakan ibadah tersebut, yaitu puasa, haji, zakat & zakat fitrah, niat menjama’ dua sholat, niat berkurban & niat mengecualikan sesuatu dalam sumpah
SUMBER : الفقه الإسلامي وأدلته (1/ 125، بترقيم الشاملة آليا)
CATATAN :
- ** berarti tambahan saya (bersumber dari kitab yang lain, bukan kitab fiqh Islam wa adillatuhu)
- Diantara tujuan niat :
1. Untuk membedakan amalan itu ibadah ataupun adat (rutinitas) dan perbuatan biasa.
Misal: mandi; mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah, maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum'at, begitu juga orang berkumur-kumur kemudian mencuci muka dan tangan dan mengusap kepala serta kaki, kalo dilakukan habis bangun tidur dengan tujuan biar bersih maka ini adalah hal biasa bukan ibadah, namun jika di lakukan dengan niat wudhu maka inilah ibadah dsb.
2. Untuk membedakan amalan satu dengan yang lainnya.
Misalnya: orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu dan sama-sama 4 raka'at, maka untuk membedakan ini sholat dhuhur dan itu sholat asyar adalah dengan niat, atau misalnya: kita masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka'at, ada kemunkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah qobliyah (sunnah rawatib) untuk membedaknya adalah dengan niat dsb.
Dan niat yang ikhlas menentukan ihsannya sebuah amal yg diterima oleh Allah .
- Sebagaimana hadits riwayat umar diatas, setiap amal diganjar sesuai niatnya
Dan dalam musnad sesunggunya Rasulullah bersabda : sesungguhnya antara 2 kelompok yang berperang (saling membunuh) Allah lah yang tahu niat dalam hatinya.
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya"

عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضي الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم ” دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ” رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu ‘anhuma telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “. (HR. Tirmidzi dan berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
[Tirmidzi no. 2520, dan An-Nasa-i no. 5711]
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.
Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.
Dalam kitab Al-Wafi (syarah arbain nawawiyah), dijelaskn bahwa diantara kandungan hadits ini adalah :
1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen terhadap yang halal dalam masalah apapun, ibadah, muamalah, munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan lainnya, dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan. Hal ini akan mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang menghindari perkara syubhat, maka agama dan kehormatannya akan terjaga.
Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat, meskipun ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada masalah, namun andai kita belah dadanya tentulah akan kita jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk kerugian dan siksaan mental. Kerugian itu akan semakin besar bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram. Ingatlah bahwa orang yang menggembala di sisi pagar, lama-kelamaan akan melanggar pagar tersebut.
2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan sesuatu yang meragukan. Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata: “Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal yang halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih ke-wara’an, niscaya dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan mengerjakan sesuatu yang tidak meragukan.”
Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’ itu sangat tegas. Jika aku dihadapkan pada dua perkara, tentu aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan perkara yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’. Jika ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.”
Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas adalah berlebih-lebihan. Namun umat Islam perlu sekali teladan seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal yang jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat. Andai contoh-contoh semacam ini tidak ada, tentulah lambat laun umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan bahkan mungkin juga haram.
3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.
Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya batal atau tidak. Maka wudlunya tetap dianggap sah. Kaidah ini juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah telah keluar angin atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR Muslim)
4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah dalam melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan berbagai hal yang syubhat, sementara ia masih bergelimang dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini seharusnya membenahi dirinya dengan terlebih dahulu meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena itulah ketika Ibnu Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia berkata: “Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?….. sementara kalian telah membunuh Husain.”

Rujukan : Al-Wafi & Syarh Arbain Nawawi-nya IIbnu Daqiqil Ied
Allahu a'lam bis showab
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud, Al-Libas, 3512. Al-Albany berkata dalam Shahih Abu Dawud, Hasan Shahih no. 3401)
KANDUNGAN HADITS :
- Keharaman menyerupai orang-orang kafir.
- Barangsiapa yang menyerupai orang kafir, maka akan dikumpulkam bersama mereka.
• Menurut Al-Banna dalam kitab al-fathu Ar-Rabbaniy, "menunjukkan siapa saja yang berusaha meniru-niru/menyerupai seseorang, maka ia seperti orang yang ia serupai dalam keadaan dan tempat kembalinya.
Barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka orang itu pun shaalih dan akan dikumpulkan (kelak) bersama mereka. Dan begitu juga sebaliknya bagi orang yang menyerupai orang-orang kafir atau fasiq.
• Sementara Al-Munaawiy rahimahullah berkata :
وقيل المعنى : من تشبه بالصالحين وهو من أتباعهم يكرم كما يكرمون، ومن تشبه بالفساق يهان ويخذل كهم، ومن وضع عليه علامة الشرف أكرم وإن لم يتحقق شرفه، وفيه أن من تشبه من الجن بالحيات وظهر بصورتهم قتل....
“Dikatakan maknanya adalah : barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka ia termasuk orang yang mengikuti mereka. Ia pun dimuliakan sebagaimana orang-orang shaalih itu dimuliakan. Barangsiapa yang menyerupai orang-orang fasiq, maka akan dihinakan dan direndahkan sebagaimana mereka (dimuliakan dan direndahkan). Dan barangsiapa yang diletakkan padanya tanda-tanda kehormatan, ia lebih mulia meskipun kehormatannya itu tidak kelihatan. Dalam hadits itu juga terdapat faedah : barangsiapa menyerupai ular dan nampak dalam bentuknya (seperti ular) dari kalangan jin, boleh dibunuh….”.[Faidlul Qodir 6/104]
• Ash-Shan’aaniy rahimahullah dalam kitab subulus salam syarah bulughil maram berkata :
والحديث دال على أن من تشبه بالفساق كان منهم أو بالكفار أو بالمبتدعة في أي شيء مما يختصمون به من ملبوس أو مركوب أو هيئة...
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa saja yang menyerupai orang-orang fasiq, maka ia termasuk golongan mereka. Atau menyerupai orang-orang kafir atau mubtadi’ (pelaku bid’ah) dalam hal apa saja yang menjadi kekhususan mereka dengannya dalam gaya berpakaian, berkendaraan, atau gaya/tata cara yang lainnya….”.
• Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah berkata :
هذا الحديث أقل أحواله أن يقتضي تحريم التشبه بأهل الكتاب، وإن كان ظاهره كفر المتشبه بهم....
“Minimal, hadits ini menetapkan adanya keharaman tasyabbuh kepada Ahlul-Kitaab, meskipun pada dhahirnya (dapat) mengkafirkan orang yang bertasyabbuh kepada mereka…”.
Perbuatan tasyabbuh dapat terjadi dalam perkara-perkara hati seperti keyakinan (i’tiqad) dan kehendak; dan bisa juga dalam perkara-perkara lahiriyah seperti berbagai macam ibadah dan kebiasaan.[Iqtidha' as-shiraati al-mustaqim]
Lalu, bagaimana dengan merayakan hari raya mereka?
• Amirul mukminin Umar radhiallahu anhu mengatakan:
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada momentum hari raya mereka” (HR. Baihaqi)
Beliau juga mengatakan, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada perayaan hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka”
• Sementara Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Barangsiapa yang tinggal dinegeri orang ajam (non muslim) lalu turut merayakan hari raya Nairuz dan Mahrajan bersama mereka dan ikut serta menyerupai mereka, kemudian dia mati dalam keadaan demikian, maka pada hari kiamat kelak dia akan dibangkitakan bersama mereka” (Sunan Al Kubro jilid: 9/243)
Dengan mencermati fakta tahun baru yang sebenarnya adalah perayaan bagi dewa janus dan dengen ritual terompet ala yahudi dan kembang api ala majusi, maka sudah jelas bahwa haram bagi kita hukumnya merayakan tahun baru. Lagi pula tahun baru kita sudah lewat beberapa bulan yang lalu di bulan muharram.
Allahu a'lam bis showab
I
SLAM mendudukkan ilmu dan tsaqâfah pada kedudukan yang mulia. Tidak ada agama lain selain Islam yang sedemikian memperhatikan dan begitu memuliakan  persoalan ilmu dan tsaqâfah.
Islam menempatkan kewajiban mempelajari tsaqafah Islam sebagai sebuah ibadah yang setara dengan kewajiban yang lainnya. Dalam surat al-mujadilah ayat 3, Allah telah memberikan keutamaan bagi orang-orang yang memahami Islam dengan mendalam akan dinaikkan derajatnya.
Mereka yang berilmu juga disebut pewaris para nabi. Sebagaimana sabda manusia yang palingagung, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Para nabi yang mulia tidaklah mewariskan sesuatu kepada ummatnya kecuali warisan yang paling berharga di dunia dan warisan yg paling dibutuhkan manusia. Dan warisan tersebut adalah ilmu tsaqâfah. Ini menunjukkan pada kita bahwa ilmu itu jauh lebih utama daripada harta. Dalam kitab madarijus salikin, Imam Ibnu Qoyyim saat menjelaskan bahwa tingkat kedermawanan tertinggi adalah memberikan ilmu.
Sedangkan tingkat kedermawanan terendah adalah dengan memerikan harta. Dengan ilmu manusia akan mengenal Allah, mengenal tujuan hidupnya, mengetahui baik-buruk dan dengan ilmu pula manusia dapat menyelesaikan problemnya. Dan pada hakikatnya, rasulullah saw diutus untuk menyampaikan –ilmu/ tsaqâfah – Islam. Yang beliau perjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga, waktu hingga jiwanya hanyalah untuk membawa Islam. Membawa tsaqafah Islam dengan aqidahnya yang cemerlang, juga syariat Islamnya yang tertuang dalam al-quran dan as-sunnah. Dengannya, kehidupan manusia akan berada pada puncak kemuliaannya, pada limpahan rahmat dan berkah. Dan mencampakkannya pasti berujung pada derita dan masalah. Beliau membawa al-qur’an dan as-sunnah dengan melalui kehidupan yang berat. Berpeluh, bercucuran darah dan air mata, demi kehidupan yang baik bagi kita, ummatnya. Untuk kita ambil dan kita jadikan pegangan hidup. Untuk diadopsi dan dijadikan sebagai sumber solusi yang memudahkan hidup manusia. Itulah mengapa diberi kepahaman agama menjadi indicator seseorang mendapat kebaikan dari Allah.
Kaum Muslimin diwajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan individunya sebagai fardhu ‘ain. Islam juga mewajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan masyarakat dan ilmu  yang dibutuhkan masyarakat sebagai fardhu kifayah.
Tsaqâfah Islam yang didalamnya terdapat aspek aqidah mampu membangkitan manusia. Karena kebangkitan ummat tergantung pada pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Islam bisa menjadikan orang yang memiliki tsaqâfahnya  mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang memilik ‘aqliyah (pola pikir) yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula dalam dirinya nafsiyah Islamiyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang sempurna.
Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini seseorang memiliki sifat yang mengagumkan/agung yang diinginkan oleh seorang Muslim. Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal sebaik-baik perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika.
Tidak berhenti disitu, tsaqâfah Islam menjadi bagian dari ummat Islam, dimana diatasnya dibangun peradaban Islam. Tsaqâfah juga menentukan tujuan dan corak kehidupan ummat. Dengannya, pandangan hidup ummat yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan perbedaan dapat disatukan. Dan didalamnya juga terdapat aturan yang akan dapat menjaga aqidah, keamanan, harta, akal, jiwa, keturunan, kehormatan dan kedaulatan Negara Islam. Tsaqâfahsuatu bangsa hakikatnya adalah keimanan (aqidah), hukum, solusi, sistem yang terpancar dari aqidah, ilmu pengetahuan yang dibangun diatas aqidah dan peristiwa apapun yang terkait dengan aqidah sebagai perjalanan dan sejarah umat.
Perhatian kekhilafahan terhadap tsaqâfah
Era kekhilafahan Islam pada masanya sangat memahami ketinggian possi ilmu dan tsaqâfahIslam dalam agama kita yang mulia. Oleh karenanya, Negara Islam yang dipimpin rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan para khulafa’ sesudah beliau sangat memperhatikan aspek yang berhubungan langsung dengannya, yakni pendidikan.
Di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam, beliau menetapkan kebijakan berupa penebusan bagi tahanan di Perang Badar untuk mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis. Rasulullah sebagai kepala negara mengirimkan para qurra’ untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat, utamanya yang baru masuk Isalm. Rasulullah mengirim qurra’ terbaik tersebut ke seluruh penjuru jazirah Arab. [Hisyam Ibnu, Sirah An-Nabawiyah juz 2]
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah dan musyawarah. Kuttab, merupakan pendidikan yang dibentuk setelah masjid, didirikan pada masa Abu Bakar. Di masa belau pula, al-Qur’an al-kariim mulai dikumpulkan. Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar.
Para khulafa’ berikutnya menyediakan pendidikan gratis dengan sarana dan prasarana yang bermutu, membangun banyak madrasah, jami’ah (universitas) dengan fasilitas terbaik untuk mendudkung kebutuhan pelajar termasuk asrama dan perpustakaan.
Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa dijamin Kehidupan kesehariannya. Bahkan mereka menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Institusi pendidikan serupa juga dibangun dengan fasilitas lengkap dan gratis seperti Madrasah an-Nuriah, jami’ah Al-Azhar kairo dll.
Para khalifah juga membangun perpustakaan di banyak daerah di penjuru kekhilafahan, di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya. Tinta emas sejarah ini ditukis oleh Bloom dan Blair, yang mengakui bahwa rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002).
Bahkan di setiap masjid terdapat perpustakaan. pada abad ke-10, di Andalusia saja saja terdapat 20 perpustakaan umum. Di Kairo,Perpustakaan Darul Hikmah mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku. Bahkan di Syam, Perpustakaan Umum Tripoli, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja.
Semua ini dilakukan demi menjaga tsaqofah Islam tetap terwariskan dengan baik kepada anak cucu dan generasi mendatang. Khilafah juga memproduksi mujtahid-mujtahid dan ulama-ulama berkualitas dan takut Allah secara massal. Para ulama tersebut juga penulis yang setiap orangnya mampu melahirkan ratusan judul kitab. Termasuk diantaranya kitab-kitab yang khusus membahas tuntas aspek ilmu baik dari segi keajiban dan keutamannya, adab-adabnya dan penjelasan tentang ulama seperti kitab Ta’lim al-Muta’lim fi Thoriiqi at-Ta’allum dan Ihya’ Ulumiddin,masterpiece Imam Ghazali yang fenomenal.
Saat melakukan jihad dan futuhat, kaum Muslim menaklukkan berbagai negara dalam rangka mengemban dakwah Islam kepada penduduknya. Karena itu kebanyakan para penakluk adalah dari golongan ulama, pembaca dan penulis. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan tsaqâfahnya di negeri yang ditaklukkan. Walhasil, di setiap negeri yang ditaklukkan dibangun masjid untuk shalat dan belajar, baik bagi laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka mengajarkan kepada orang-orang mengenai al-Quran, hadits dan hukum-hukum Islam, mengajarkan mereka bahasa Arab, dan membatasi perhatian mereka dengan tsaqâfah Islam.
Wajar jika dalam waktu singkat–pada masa pemerintahan kaum Muslim- tsaqâfah lama hilang di negeri-negeri yang ditaklukkan. Tinggal tsaqâfah Islam saja yang menjadi tsaqâfah di setiap negeri tersebut, dan bahasa Arab saja sebagai bahasa Islam. Negeri-negeri yang ditaklukkan seluruhnya bergabung dengan negeri-negeri Arab menjadi negeri yang satu, yang sebelumnya merupakan negeri –negeri dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda dan bercerai berai.  Islam menjadi satu-satunya kepemimpinan berfikir (qiyadah fikriyah) di seluruh Negara Islam.
Kehidupan warga di era khilafah Islam yang dilimpahi barakah ini terus berjalan hingga pada pertengahan abad ke 18 Masehi di masa Kekhilafahan Utsmani, ummat Islam mengalami kemerosotan yang mendalam. Bermula pada kejeniusan raja-raja Eropa, yang kewalahan mengahdapi tentara kaum Muslimin pada Perang Salib.
Dua ratus tahun lamanya, mencurahkan otak mengetur strategi, menguras harta hingga memajak rakyat demi membiayai perang suci, namun yang didapaat hanya kekalahan demi kekalahan. Maka sejak abad ke 13 Masehi mereka temukan rahasia kekuatan ummat Islam. Dan mereka bertekad menghancurkannya. Kekuatan Islam yang tak lain terletak pada tsaqâfah nya ; dalam aspek pemahaman dan penerapannya. Maka dirumuskanlah gaya perang baru, bukan lagi dengan perang fisik, tapi dengan gazwu ats-tsaqafiy ; perang tsaqafah atau perang budaya.
Mereka berupaya keras untuk menghapus tsaqâfah dari benak  dan kehidupan kaum Muslimin. Mereka juga berusaha menghilangkan tsaqâfah dari undang-undang hingga konstitusi kaum Muslimin.  Sejak saat itu, bahasa Arab mulai ditinggalkan dan diganti dengan Arab ‘ammiyah, bahasa daerah dan bahasa penjajah. Kemudian berlanjut dengan ditutupnya pintu ijtihad dan diambilnya tsaqâfah – tsaqâfah asing seperti filsafat, demokrasi, feminisme dll, sehingga negera khilafah justru berdiri di atas tsaqâfah selain Islam. Hal ini merupakan keberhasilan scenario besar Barat dalam perang budaya (gazwu ats-tsaqafiy)  untuk meruntuhkan institusi daulah Islam.
Sejak zaman keruntuhan Negara pemersatu umat itulah, hingga saat ini kaum Muslimin diterpa berbagai persoalan hidup. Miskin harta, miskin iman, miskin ilmu dan miskin adab. Generasi muda umat ini tak luput dari sasaran pengrusakan. Narkoba, minuman keras hingga seks bebas mereka jadikan trend dan gaya hidup. Jika saat ini kita ingin mengembalikan Islam dan ummat Islam pada kejayaan peradabannya, jika kita ingin kembali hidup dalam kegemilangan generasinya, sudah sepatutnya kita kembali pada Islam. Memahami dengan baik tsaqâfah nya. Kemudian meyakininya sebagai satu-satunya pandangan hidup yang shahih. Kita juga wajib merujuk padanya saat memiliki persoalan individu atau keummatan. Serta mengamalkannya dalam seluruh lini kehidupan mulai tataran individu, keluarga, masyarkat hingga Negara.
Last but not least, kita wajib mendakwahkannya hingga seluruh manusia –Muslim atau non mulim- merasakan rahmatnya. Wallahu a’lam bis showab.*
Alumni PP. Al-Wafa Jember, Kepala TPQ & Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember

(Hidayatullah.com)
Di masa kegemilangan peradaban Islam, bisa kita lihat Islam adalah agama paling toleran. Pada masa Kekhalifahan Umar, Gubernur Mesir Amr bin Ash menggusur rumah seorang Yahudi secara paksa. Kemudian Kholifah Umar bin Khattab memperingatkan gubernurnya agar menghentikan kedzaliman tersebut setelah si Yahudi melaporkan tindakan Amr bin Ash kepada khalifah.
Dalam sebuah kisah yang tak kalah masyhurnya, Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu menjabat khalifah dikalahkanoleh seorang Yahudi dalam sebuah sengketa di pengadilan. Sang qadhi (hakim) memutuskan bahwa baju besi yang sebenarnya milik Kholifah Ali, menjadi hak milik Yahudi yang dituduhnya mencuri.
Islam dengan syariahnya yang sempurna sudah terbukti mampu mewujudkan negara yang aman, damai dan tenteram. Sebagaimana pada masa kegemilangannya dahulu, selama 13 abad mampu menjaga stabilitas keamanan dalam negeri, meski menaungi berbagai ras, suku bahkan agama.
Pada masa Umar hin Khattab, Palestina yang sejak dahulu didiami Yahudi dan Nashrani yang sering berkonflik, justru menjadi tenteram dan damai dalam kekuasaan kekhalifahan Umar bin Khattab. Bahkan di masa perang Salib, warga negara khilafah (baca : kafir dzimmi) yang beragama nashrani, juga druze mereka berada dalam barisan pasukan kekhilafahan melawan Tentara Salib.
Mendetili makna toleransi
Meski berbagai aturan Islam mampu meminimalisir persoalan pertikaian dan mampu mengakomodir keberagaman dan pluralitas,  namun anehnya berulangkali hasil survey di beberapa negeri Islam terkait toleransi memperlihatkan hasil yang mengejutkan. Hampir seluruh hasil survey tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar muslim tidak toleran, termasuk di Indonesia. Survey dari SETARA Intsitute pada tahun 2011, survey CSIS padatahun 2012 dan survey UNDP dan -yang terbaru-  Wahid Institute  pada tahun 2016 menyimpulkanhasil bahwa  tingkat toleransi rakyat Indonesia  yang mayoritas muslim rendah. Artinya, rakyat Indonesia khususnya umat Islam tidak toleran. Benarkah kesimpulan tersebut? Mengapa Islam yang memiliki syariat mulia,menghasilkan kerukunan dan kedamaian negara pada masa penerapannya yang sempurna, namun tidak mengalami hal yang sama pada saat ini?
Jika kita melihat persoalan ini lebih detil, ternyata persoalannya terletak pada definisi toleransi yang bermasalah. Meski pada dasarnya toleransi didefinisikan sebagai kata sifat dari toleran yang bermakna “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendir”, namun pada perkembangannya definisi ini dimaknai denganserampangan. Sehingga definisi toleransi tidak memiliki standard yang jelas. Bahkan indikator seseorang disebut toleran atau intoleran menjadi ambigu.  Tidak ada indikator jelas kapanseseorang atau sebuah kelompok disebut intoleran.
Jika kita detili satu per satu indikator  intoleran ini, maka akan kita dapati semuanya terdapat pada hukum atau syariah Islam. Ketidak setujuan seorang muslim memilih pemimpin dari non muslim adalah tuntutan agama. Allah telah menegaskan larangan ini dalam 15 ayat dalam al-qura’an. Ketidaksetujuan seorang ibu saat anaknya menikahi pasangan beda agama, ini juga jelas tuntunan syariah. Dalam syariah Islam, terdapat larangan menikahkan perempuan muslim dengan kafir. Baik itu Ahli Kitab(Yahudi dan Nasrani) ataupun musyrik (agama selain Islam dan ahli kitab). Indikator-indikator di atas jelas-jelas mengarah pada penyudutan syariah Islam.
Isu toleransi; berbahaya
Disadari atau tidak, faham toleransi yang digulirkan dengan definisi di atas berbahaya bagi ummat. Karena justru akan menjauhkan ummat dari Islam, dari syariah yang ditetapkan zat yang maha baik, Allah swt. Saat  Allah swt tetapkankeharaman menjadikan kafir sebagai pemimpin, maka hamba yang patuh pada perintah Allah akan disebut intoleran. Saat Allah perintahkan untuk berhukum dengan hukum Allah dan mengambil Islam secara kaaffah sebagaimana firman Allah dalam suratAl-Maidah 49 dan Al-Baqarah : 208 , maka akan dicap radikal. Lebih-lebih ketidakfahaman mereka terhadap kesempurnaan syariah akan menganggap syariah Islam akan membahayakan hak-hak non muslim danakan mendiskreditkan non muslim.
Kita bisa melihat fakta yang terjadi di Indonesia, isu toleransi beberapa kali menjadi alasan terhambatnya kebijakan-kebijakan negara yang berbau syariah. Sebagai contoh, pada bulan Ramadhan yang lalu, aksi razia rumah makan yang dilakukan pemerintah Kota Serang, justru menjadi pintu masuk dari drama dan perang opini terkait toleransi yang berujung pada dihapusnya lebih 3143 Perda bernuansa syariah. Pada tahun 1945, panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter).
Panitia yang teridiri dari tokoh-tokoh Islam ini mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Namun sesaat setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, tujuh kata yang memuat redaksi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus atas tuntutan beberpa pihak yang mempersialkan tujuh kata tersebut dengan alasan intoleran.
Pada tahun 2012 RUU jaminan produk halal gagal disahkan akibat desakan beberapa pihak yang mengaggap undang-undang tsb bertentangan dengan faham toleransi.Faham toleransi menjadi senjata tajam yang mampu mengoyak hak dan kewajiban ummat Islam untuk menjalankam syariahnya secara sempurna.
Namun anehnya, jika yang melakukan hal-hal berbau SARA adalahkalangan non muslim, pihak yang getol meneriakkan ide toleransi ini malah bungkam. Saat perayaan Nyepi  di Bali misalnya, demi menghormati hari raya nyepi, dinas perhubungan terpaksaharus menghentikan ratusan jadwal penerbangan, atau memaksa rakyat Bali yang muslim menunda penguburan jenazah, dan melarang menggunakan pengeras suara saat adzan.
Bukan Toleransi Barat yang kita butuhkan
Islam bukanlah ancaman. Islam adalah rahmat bagi muslim, non muslim bahkan bagi seluruh alam. Aturan atau syariah Islam ditetapkan oleh zat yang maha tau yang terbaik bagi manusia dan alam. Syariah Islam dibuat oleh zat yang Maha baik, yang maha welas asih. Maka sudah sebuah keniscayaan, jika  syariah akan mendatangkan maslahat, kedamaian dan ketentraman bagi manusia. Allah telah berfirman dalam Al-A’raf :96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Dalam sejarah, Khilafah  Islam yang menerapkan syariah Islam tetap memberikan hak beribadah, makan dan minum sesuai agama masing-masing.Pada masa kekhalifahan Umayyah, sikap toleran kaum Muslim pun ditunjukkan saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa. Saat itu di Negara Khilafah tidak ada seorang pun yang terkategori sebagai mustahiq zakat hingga harta yang terkumpul di Baitul Mal luar biasa melimpah.
Akhirnya, Khalifah membelanjakan harta Baitul Mal tersebut untuk membebaskan perbudakan di benua Eropa dan Amerika.Selama 13 abad kepemimpinan Islam.
Maka sebagai muslim, kita tak perlu terperangkap pada jebakan kaum liberal yang menyudutkan syariah dengan mencapnya intoleran. Kita juga tak perlu bersikap defensif dan menerima ide toleransi dengan ikut – ikutan menyudutkan syariah Islam, dan menebarkan syariah phobia. Sebaliknya, yang harus kita lakukan adalah tetap istiqomah menyuarakan pentingnya penerapan syariah Islam yang sempurna demi terwujudnya Islam rahmatan lil alamiin, yang tidak hanya akan menjadikan Indonesia lebih baik, namun lebuh dari itu, juga mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik. Allahu a’lam bis shawab.*
Penulis adalah alumni pesantren Al-Wafa Tempurejo Jember dan Kepalai Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember

(hidayatullah.com)


Allah bukan berfirman "و نبلوكم" (Dan kami akan mengujimu). Tapi Allah berfirman, "ولنبلونكم". Dengan tambahan dua tawkid/penegasan ; Lam tawkid dan Nun tawkid. Artinya, semua orang beriman pasti diuji. Ujian -dalam konteks ayat ini- musibah adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang beriman.
Cara sukses menghadapinya?...
Allah udah kasih bocoran di ayat berikutnya, و بشر الصابرين". "Berilah kabar gembira bagi orang yang sabar". Tak ada pilihan terindah, terbaik selain sabar, dan bagi mereka ma'iyatullah. Kebersamaan Allah, bahkan surga. Allahummaj'alnaa minhum
Juli 14, 2017 0 Comments
اءدنا للأبد سيدنا محمد !!
#Perdebatan pemimpin dgn yg dipimpin diakhirat nanti:
(Dikatakan kepada mereka):
"Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk ber-desak2an brsama kamu (ke neraka)". 
(Berkata pemimpin2 mereka yang durhaka): "Tiadalah ucapan selamat dtng kpd mrka krna ssngguhnya mrka akn masuk neraka".
Pengikut-pengikut mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah. Tiada ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yg menjerumuskan kami ke dalam azab, maka amat buruklah Jahannam itu sbg tempat menetap".

Mereka berkata (lagi): "Ya Tuhan kami; barang siapa yg menjerumuskan kami ke dalam azab ini mka tambahkanlah azab kepadanya dgn berlipat ganda di dalam neraka".(Shad:59-61)
Na'udzubillah
Kenapa menulis? Kenapa bikin blog?
Banyak hal. Yang terpenting, pingin bikin Allah seneng alias ridhho.
Selain itu, ingin mengabadikan pahala dakwah.
Dan tak kalah penting, sebagai nasihat bagi diri. Yang qalbunya tak jarang masih terpaut nafsu, yang akalnya masih tak jarang lupa.
Bismillah, pada 14 juli 2017, tepat jam 10:14 PM resmi nikin blog baru