Oleh: Wardah Abeedah (Penulis, Muballighoh)
Persekusi yang beberapa kali terjadi pada ulama yang kritis terhadap rezim dan menyuarakan Islam politik terus saja terjadi. Kasus terbaru adalah deportasi Ustadz Abdul Somad di Hongkong. Seringkali saat ada ulama yang kritis, ormas Islam yang melakukan aktivitas politik, atau saat Aksi Bela Islam, banyak pihak menuding bahwa dibaliknya ada unsur politik. Bahwa aksi-aksi tersebut berbau politik. Kemudian menstigma negative setiap individu, ormas dan semua pihak Islam yang berpolitik. Seakan-akan jika ulama, ormas atau umat Islam berpolitik, itu adalah sebuah kriminalitas tingkat dewa dan sebuah keharaman yang mutlak adanya.
Padahal, saat ini, institusi apa yang bebas dari politik? Lihat saja institusi Polri yang bukan termasuk dalam trias politika. Seringkali Kapolri mengeluarkan pernyataan dan melakukan tindakan yang berbau politik. Keberpihakan dalam menegakkan hukum terasa sekali. Bahkan ummat pun merasakannya dengan gamblang. Kriminalisasi ulama contohnya. Institusi penegak hokum dan keamanan dalam negeri ini tak jarang membuat ummat gemas nun geregetan.
Media sebagai pilar ke empat demokrasi, yang harusnya berfungsi mengontrol pilar eksekutif, legislative dan yudikatif juga tak absen melakukan aktivitas politik. Media zaman now, menjadi alat untuk menggiring suara rakyat untuk pemilu, juga untuk membunuh eksistensi politik Islam. Lalu mengapa ummat Islam dan ormasnya dilarang berpolitik? Bahkan dikriminalisasi, dipersekusi dan dieliminasi dari daftar ormas Islam yang legal di Indonesia?
/ Politik dalam Pandangan Islam /
Sebagai agama bahkan sebagai ideology, Islam memiliki hukum yang komplit untuk mengatur kehidupan manusia. Termasuk dalam berpolitik. Bahkan Islam memiliki konsep politik tersendiri. Islam memiliki definisi yang pas tentang politik. Politik dalam bahasa arab dikatakan as-siyaasah. Berasal dari kata saasa-yasiisu (mengatur). Secara istilah syar’i, politik didefinisikan sebagai “ ri’ayatus syu’uunil ummah”; Pengaturan urusan ummat.
Maka tak heran, jika para ulama salafus shalih banyak menulis kitab-kitab yang terkait politik. Sebutlah dua kitab yang memiliki judul yang sama, ‘Ahkamus Sulthaniyah’ (Hukum-hukum Kekuasaan/Pemerintahan). Kedua kitab ini memiliki inti pembahasan yang sama namun berbeda penulis, dan berbeda pendapat ijtihad. Yang satu ditulis Imam Abul Hasan al-Mawardi dan Imam Abu Ya’laa. Kitab ini mengupas hukum-hukm kekuasaan termasuk di dalamnya struktur pemerintahan Negara Islam. Imam Ibnu Qayyim mengarang kitab Ath-Thuruuq al-Hukmiyah(metode-metode pemerintahan). Imama as-Suyuthi menulis kitab Al-Asaatin fii ‘adaamil muji’ as-salaathin. Ibnu Taimiyah juga menulis kitab as-Siyaasah asy-Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i wa Ra’iyyah.
Selain dalam kitab yang khusus membahas politik, kitab-kitab hadits tak luput dari pembahasan pemerintahan. Imam Bukhori menuliskan kitab al-huduud dan kitab al-imaamah menjadi bab pembahasan tersendiri dalam kitab jami’us shahihnya. Sebagaimana kitab al-imaarah dan kitab al-hudud juga menjadi bab tersendiri dalam kitab jami’us shahih muslim-nya imam Muslim. Bab-bab ini membahas hadits-hadits rasulullah ﷺ terkait sangsi peradilan dan pemerintahan. Dalam pembahasan fiqh, ulama juga hampir selalu menyematkan bab qadla’ (peradilan), bab hudud (sangsi) serta bab imamah atau imaarah (pemerintahan).
Dalam kitab-kitab maghazi dan sirah (sejarah) Rasulullah ﷺ, kisah keteladanan rasulullah dalam memimpin Negara Islam di Madinah hingga melebarkan kekuasaannya ke seluruh jazirah Arab selalu tertulis jelas. Kitab-kitab sirah yang menuliskan biografi empat sahabat rasul yang memimpin Negara Islam sesudah beliau juga selalu menyematkan kisah-kisah kegemilangan kepemimpinan mereka. Merekalah yang sering dihafal generasi muslim sebgai khulafa’ ar-rasyidin. Khulafa’ merupakan jamak dari kata khalifah ; pemimpin dalam system khilafah. Tinta emas sejarah telah menorehkan berbagai prestasi gemilang para pemimpin yang dijamin surga ini. Mulai pembebasan negeri-negeri kufur yang menjadikan Islam tersebar kerahmatannya hingga ke al-Quds, Mesir, Syam, Persia, hingga profil pemimpin-pemimpin zuhud yang sangat memperhatikan rakyatnya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Diin-nya “Maka kekuasaan dan agama adalah saudara kembar . Agama adalah pondasi/pokoknya. Sedangkan penguasa adalah penjaganya. Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya akan runtuh. Sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” Kekuasaan atau pun politik tanpa Islam hanya akan meruntuhkan Islam dan ummatnya. Dan akan melenyapkan Islam dengan semua kemuliaannya. Politik dan kekuasaan yang diatur dengan Islam telah terbukti mendatangkan kerahmatan, keberkahan dan kemuliaan. Rahmat bagi kaum muslimin, bahkan sekuruh alam.
Hal ini telah berlangsung berabad lamanya, sejak institusi politik Islam pertama kali didirikan Rasulullah ﷺ di Madinah, setelah sebelumnya beliau bersama kelompoknya melakukan berbagai aktivitas dakwah politik di tengah-tengah ummat. Institusi politik berupa Negara Islam tersebut, kemudian dilanjutkan kepemimpinannya oleh Khulafa’ Ar-Rasyidin hingga khalifah-khalifah sesudahnya. Dua pertiga penduduk bumi -apapun ras, bangsa dan bahasanya- menjadi satu ummat yang bernaung dibawah satu Negara yang kuat. Dibawah satu kepemimpinan yang adil, yakni khilafah.
Negara yang thoyyibatun wa robbun ghofur, dilimpahi kebaikan dan ampunan tuhan. Mencetak ulama-ulama berkualitas dengan jumlah yang massif, melahirkan kesejahteraan hingga tak ada yang mau menerima zakat sebagaimana pada masa khalifah Umar bin ‘abdul Aziz. Aman dan tenteram seperti masa Abu Bakr, yang hakim (qadli) nya mengundurkan diri karena selama setahun penuh menganggur tanpa ada satupun kasus criminal dan perselisihan yang masuk ke pengadilan. Negara yang telah mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat yang karyanya dinikmati penduduk bumi hingga saat ini; al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jazari dll
/ Grand Design Jauhkan Islam dari politik /
Peperangan kekuasaan di dunia adalah sebuah sunnatullah yang senantiasa terjadi. Jika pada masa lampau terjadi antara Persia dan Romawi, antara Thalut dan Jalut. Pada masa akhir, peperangan terjadi bukan lagi antar kekaisaran, namun antar ideology. Kapitalisme, Sosialisme dan Islam menjadi tiga ideology di dunia yang saat ini eksis. Ketiganya berperang baik secara fisik maupun non fisik untuk menguasasi dunia dan menerapkan ideologinya dalam institusi politik atau Negara.
Kapitalisme sebagai ideologi yang dianut sebagian besar negara-negara di dunia serta sedang memimpin dunia sedang sekarat dan menghadapi ajalnya. Sementara ideology Sosialis komunis tak Nampak kekuatannya. Kapitalisme terus berupaya agar ideology Islam dan khilafah sebagai institusi politik yang akan menegakkannya tetap terkubur dan tak kembali bangkit. Barat sebagai pengekspor ideologi Kapitalisme tahu betul, bahwa kemunculan Negara Khilafah yang menerapkan Islam akan mengancam eksistensinya. Maka sekecil apapun potensi yang dapat memunculkan kembali kekuatan politik Islam ini wajib diberangus, termasuk di Indonesia.
Program deradikalisasi menjadi agenda politik utama rezim Jokowi di 2017 ini. Mulai penanaman Islam moderat di kalangan pesantren, ormas Islam dan menyasar seluruh umat Islam, hingga kriminalisasi ulama dan ormas Islam melalui Perppu Ormas yang sudah menjadi RUU, menutup situs-situs web Islam, juga memonsterisasi ajaran Islam seperti khilafah dan jihad. Kesemua program deradikalisasi ini dilakukan atas arahan dan dana besar dari Barat. Tujuannya dua ; deislamisasi dan depolitisasi Islam.
Semua itu demi memastikan ummat Islam apolitis, tak mengenal ideologinya dan enggan menerapkannya dalam institusi politik yakni Khilafah. Agar eksistensi ideology kapitalisme yang sebenarnya sedang sekarat tak terusik dengannya. Tak heran jika wacana pemisahan Islam dari politik ini lantang disuarakan oleh mereka yang mengabdi pada ideology kapitalisme. Baik itu penguasa-penguasa komprador dan tokoh muslim ataupun media. Allahu a’lam bis showab.
——————————
——————————
Tidak ada komentar:
Posting Komentar