Selasa, 02 April 2019

Oleh : Wardah Abeedah (Pegiat Literasi Dakwah)
Negara paling santai di dunia. Ya, julukan ini baru saja diraih Indonesia. Hal ini diungkap lewat studi terbaru Lastminute penyedia jasa perjalanan Eropa yang menempatkan Indonesia sebagai urutan pertama Most Chilled Out Countries in The World (negara paling santai di dunia)Sebelumnya, Indonesia menempati peringkat ke empat sebagai negara paling instagramable di dunia versi situs wisata bigseventravel.com, serta peringkat enam negara terindah di dunia versi situs penyedia layanan wisata roughguides.com. Maraknya pujian dan predikat baik di bidang wisata akhir-akhir ini tentunya tak lepas dari upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Sekilas, predikat-predikat yang diraih tampak membanggakan bagi Indonesia. Namun sebagai muslim, selayaknya kita menilai segala sesuatau dengan kacamata Islam. Negeri yang baik dan berhak menapatkan limpahan barakah dari Allah dalam Islam adalah negeri yang beriman dan bertakwa (lihat al-a’raf 96). Sedangkan negeri yang buruk dan mendatangkan adzab Allah adalah negeri yang mendustakan ayat-ayat Allah. Kebaikan sebuah negeri bukanlah dilihat dari seberapa santainya dan seberapa instagramable-nya negeri tersebut. Ia dilihat dari keimanan dan ketakwaan pemimpin dan rakyatnya.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia seharusnya menjadi negeri yang paling beriman dan bertakwa di dunia dengan menerapkan Islam secara sempurna, sebagaimana pada masa Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin dahulu. Negara Islam yang pasca wafatnya Rasulullah shallallahualaihi wasallam dikenal dengan Khilafah Islamiyah yang menjadi peradaban gemilang hingga berkuasa selama 13 abad dan menghantar dua pertiga dunia pada kejayaan dan kemuliaan yang tak pernah ada sebelumnya.

Dengan sekitar 222 juta penduduk muslim, Indonesia menyumbang populasi muslim terbesar di dunia. Persentase muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 % dari populasi dunia (republika.co.id). Di tengah-tengah fajar kebangkitan kembali peradaban Islam, tentu saja semua pihak tahu Indoensia memiliki potensi besar untuk menjadi titik awal kebangkitan Islam. Selain potensi sumber daya manusia, sumber daya alam yang dimiliki Indonesia juga begitu kaya.
Dari segi sejarah, Indonesia tak bisa dilepas dari jejak kekhalifahan yang mengirim para dai termasuk walisongo ke Indonesia. Bahkan banyak sejarawan yang menyebut Islam masuk ke Indonesia sejak masa kekhalifahan Abbasiyah. Banyaknya jejak sejarah berupa kesultanan Islam, pesantren yang merupakan sistem pendidikan Islam di masa kesultanan Islam di nusantara, dan jejak lainnya, akan lebih memudahkan kaum muslim di Indonesia untuk kembali memperjuangkan apa yang pernah diraihnya.
Di negeri ini juga terdapat banyak ulama dan jamaah dakwah yang akhir-akhir ini semakin getol menyerukan persatuan umat Islam dan penerapan Islam sempurna dalam bentuk negara. Bahkan dalam survey LSI yang dirilis Agustus 2018, menunjukkan bahwa cita-cita publik untuk mendirikan negara berdasarkan agama menguat pasca 212. Potensi lainnya terdapat pada meningkatya kesadaran umat untuk bersatu dalam perjuangan Islam yang meningkat pasca 212.
Bagi negara barat dan para kapitalis yang selama ini menjajah negeri-negeri muslim dengan penjajahan fisik ataupun politik dan ekonomi, tentunya hal ini membahayakan hegemoni mereka. Berbagai cara mereka lakukan untuk menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Selain dengan program war on terrorismdan deradikalisasi yang menyuburkan Islamphobia, mereka juga membuat kebijakan liberalisasi dan sekularisasi.

Salah satu strategi liberalisasi dan sekularisasi adalah dengan pariwisata. Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Saat ini tataran diplomasi hubungan antar negara amat mengandalkan mekanisme people to people contact selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people contact sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antara negaranya dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai dari budaya negara mereka yang jauh dari Islam.
Pujian-pujian dan penghargaan di bidang pariwisata ini patut diwaspadai oleh kaum muslimin. Jangan sampai kaum muslimin terlena dan keliru dalam menetapkan visi Indonesia ke depan. Sehingga lalai untuk berjuang agar Indonesia menjadi negeri yang beriman dan bertakwa, memaksimalkan potensi yang dikaruniakan Allah untuk menjadi titik tolak terwujudnya peradaban Islam yang gemilang di dunia. Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : kiblat.net


Oleh : Wardah Abeedah
Negara Paman Sam kembali sekarat. Di awal tahun ini, terhitung kali kelima pemerintah mengambil kebijakan Goverment Shutdown. Shutdown? Iya. Mati, alias OFF. Baru satu tahun memimpin, Mr. Trump telah membuat kebijakan untuk menutup dan menghentikan sementara pelayanan publik oleh pemerintah.
Ratusan ribu pekerja federal AS tidak akan bisa bekerja. Para pekerja federal pada lembaga-lembaga yang dianggap 'tidak esensial' akan dirumahkan sementara, tanpa mendapat bayaran, hingga penutupan diakhiri.
Sedangkan para pekerja federal pada lembaga-lembaga esensial terkait keamanan nasional juga militer AS, akan tetap bekerja namun tanpa bayaran. Gedung Putih, Kongres AS, Departemen Luar Negeri dan Pentagon akan tetap beroperasi, namun beberapa staf mungkin harus cuti tanpa bayaran.
Apa pasal?
Penyebabnya pembahasan rencana anggaran federal Amerika Serikat (AS) berujung buntu dengan tidak tercapainya kesepakatan antara Partai Republik (pro pemerintah) dan Partai Demokrat di Senat.
Goverment Shutdown adalah produk demokrasi Negeri Paman Sam yang muncul pertama kali tahun 1990 yang menambah deretan fakta aib dan cacat besar sistem ekonomi kapitalisme.
Tak hanya di negeri pengekspor demokrasi, di Indonesia sendiri yang sudah puluhan tahun mengimpor sistem kapitalis juga sering tak tepat dalam menetapkan anggaran. Menjadikan hak rakyat kecil terabaikan.
Selain sistem pemerintahan dan ekonomi, Indonesia juga mengimpor banyak sistem, kebijakan, dan pemikiran ideologi kapitalis yang diratifikasi dari PBB. Ya, PBB, yang didalamnya AS dan bolokurowonya berperan besar mengendalikan anggota-anggotanya dan memiliki hak veto.
Masih ingat Pekan kondom Nasional tahun 2013 lalu? Acara bagi-bagi kondom pada pelaku seks beresiko yang menyerap APBN 23 milyar? Nah, kebijakan Menteri Kesehatan yang menuai kontra saat itu hanyalah meratifikasi kesepakatan PBB soal HIV-AIDS, juga meniru event tahunan pemerintah AS, "National Condom Week".
BPJS, SDG's sebagai lanjutan dari MDG's, dan banyak UU plus kebijakan lainnya yang dibuat presiden-persiden kita hari ini atau pun yang sebelum-sebelumnya sebenarnya bukan muncul murni dari kecerdasan mereka. Tapi karena negeri ini dengan dipaksa mengimpor ideologi kapitalisme beserta perangkatnya.
Di AS sendiri, sistem kapitalisme ini sudah membuat negaranya berkali-kali mengalami krisis. Bahkan banyak pakar ekonomi menyebut setiap 5 tahun sekali negeri yang masih disebut adi daya ini mengalami krisis. Per 2017, Amerika telah mencetak rekor mempunyai utang nasional tertinggi melampaui produk domestik bruto (PDB). Jumlah utang Amerika mencapai 19.947 miliar dollar Amerika per Januari 2018.
Ideologi kapitalisme yang tegak di bumi Hollywood ini juga sudah 'tuwuk' mendzalimi rakyatnya, bahkan rakyat dari negeri-negeri pengimpornya. Jumlah gelandangan di AS hingga akhir tahun 2016, seperti dikutip dari Departemen Perumahan dan Pembangungan Perkotaan, mencapai 550.000 jiwa. Setara dengan populasi 47 kota di Turki. Meski Negara pengekspor ideology ini berupaya bertahan hidup dengan menghisap minyak, emas dan banyak kekayaan di negeri-negeri muslim, toh tak membuat jiwa sekarat Pakde Sam selamat.
Sejatinya Ideologi Kapitalisme beserta seperangkat sistemnya adalah racun-racun yang telah membunuh negara asalnya sendiri dengan perlahan. Lalu dipaksalah kaum muslimin termasuk Indonesia untuk menenggaknya. Akankah kita menjadi bodoh dengan sami'na wa atho'na lalu mati bersama?
Berpuluh tahun sudah racun yang hampir membunuh peramunya mengaliri darah ibu pertiwi. Berpuluh tahun sudah negeri ini dirundung berbagai krisis akibat mengadopsi sistem kapitalisme.
Racun itu dipoles dengan topeng 'Pancasila', 'Bhineka Tunggal Ika' ataupun 'Kebangsaan'. Tapi tahukah kita bahwa tiga mantra itu hanyalah tipuan demi menutupi wajah asli kapitalisme yang sedang menjajah negeri ini? Kapitalisme yang diterapkan dengan paksa kepada khoiru ummah demi kepentingan para Kapitalis dunia?
Sejatinya untuk mengatur negara ini, kita sudah punya Alqur'an dan As-sunnah yang dari keduanya para ulama menggali sistem ekonomi termasuk di dalamnya penetapan anggaran, sistem sosial, sistem pendidikan, bahkan sistem pemerintahan. Syariah yakni aturan yang bersumber dari Alquran dan As-Sunnah adalah solusi dari semua persoalan yang tak henti menerpa negeri kita tercinta. Sistem Islam adalah obat yang akan menyembuhkan bahkan menyehatkan negeri ini. Menjadikan nusantara selamat dunia-akhirat.
Lalu mengapa negeri ini menolaknya dan malah terjangkit virus Islamphobia produk Barat yang dicekokkan di benak kita?
Mengapa negeri ini memilih racun dan membuang obat kemudian merasa bangga dengannya?
Bukankah Allah telah menegaskan dalam surat  Al-Isra' ayat 82,
نُنَزِّلُمِنَٱلۡقُرۡءَانِمَاهُوَشِفَآءٌ۬وَرَحۡمَةٌ۬لِّلۡمُؤۡمِنِينَ‌ۙوَلَايَزِيدُٱلظَّـٰلِمِينَإِلَّاخَسَارً۬ا
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman
Dan Rasul kita telah mewantikan,
Sesungguhnya Allah Subhaanahu wata’ala mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Qur’an ini dan merendahkann yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnah" (HR. Malik)
Jika kita jujur, tulus lagi cerdas dalam mencintai negeri ini, maka memperjuangkan tegaknya syariat dan hukum Allah akan menjadi harga mati. Wallahu a'lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google


Oleh : Wardah Abeedah
  Gelombang kesadaran politik kaum muslimin akhir-akhir ini semakin meningkat. Kerinduan akan pemimpin muslim yang hakiki, sekaligus bisa hidup di bawah naungan Islam menyerebak di seluruh penjuru nusantara. Hal ini bisa kita saksikan melalui diskusi dan dialog yang ramai diperbincangkan baik di dunia maya ataupun nyata. Tema utama membidik seputar politik Islam.
Para ulama tak lagi malu-malu menyampaikan orasi politik dalam ceramah dan tausiyahnya. Mimbar-mimbar tak lagi melulu membahas ibadah mahdah semata seperti shalat dan ibadah sunnah semata. Akun media sosial para ustadz dan ulama tak lagi hanya diramaikan postingan soal manajemen hati dan siraman kalbu. Mereka menuntun umat untuk menyikapi berbagai persoalan kehidupan baik itu ekonomi, social dan politik dengan Islam. Termasuk dalam persoalan pemilihan kepala daerah yang serentak digelar di negeri ini.
Efeknya, umat sadar untuk ingin hidup di bawah syariat Islam dan dipimpin oleh Imam yang akan menerapkan Islam. Mereka membayangkan cita-citanya akan terwujud dengan pesta demokrasi. Pilkada serentak yang ada, bahkan dijadikan barometer untuk kesuksesan pilpres tahun mendatang. Sebuah harapan besar akan berakhirnya rezim yang represif terhadap Islam, dan berganti dengan kemenangan Islam dan tegaknya syariat di bumi pertiwi. Pertanyaannya, akankah ekspektasi mulia umat yang tinggi terhadap demokrasi ini bisa terwujud?
Untuk menjawabnya, mari kita cermati ulasan berikut:
 1. Demokrasi bukan sistem Islam. Demokrasi atau dalam Bahasa Arab disebut ‘ad-Dimuqratiyah’ merupakan istilah asing yang tak memiliki akar dalam Bahasa Arab. Ia merupakan bahasa serapan karena memang bukan merupakan bagian dari ajaran Islam. Syaikh Dr. Muhammad Syakir al-Syariif penulis buku  Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengungkapkan, bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya.
Secara terminologi (ishtilaahi), demokrasi secara lugas ialah sistem pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”. Dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).
Secara definisi ataupun hakikat demokrasi, jelas demokrasi berbeda jauh dengan konsep syura atau musyawarah dalam Islam. Demokrasi pertama kali muncul di negeri Yunani yang kemudian di masa abad pertengahan diterapkan di Eropa demi mengurangi dan menghapus keabsolutan kerajaan Kristen Eropa yang diktator dan dzalim.
Di masa modern kini, demokrasi menjadi sistem pemerintahan di bawah ideologi Kapitalisme. Dengan demokrasi, Barat menyebarkan ideologi Kapitalismenya dan menguasai dunia secara ekonomi dan politik termasuk di Indonesia. Di AS ada sebuah semboyan Demokrasi yang terkenal : “The Golden Rule of Democracy is Those who have Golds are Ruler” (aturan emas dari Demokrasi ialah siapa yang memiliki emas (uang), dialah penguasa). Presiden AS ke 43, George W. Bush sendiri dalam pidato kenegaraan, menyatakan: “Jika kita mau melindungi Negara kita dalam jangka panjang, hal yang terbaik yang dilakukan ialah menyebarkan kebebasan dan Demokrasi”. Sebelumnya,  Bush menekankan pentingnya Demokratisasi Timur Tengah.
 Dalam demokrasi, pemimpin dan legislator yang membuat hukum memang dipilih oleh rakyat. Tapi pada faktanya banyak sekali kebijakan mereka yang tak mewakili suara rakyat. Undang-Undang tentang SDA, ESDM misalnya. Begitupun saat rakyat menolak kenaikan BBM, atau ketika rakyat menginginkan kontrak Freeport dihentikan, pemerintah dan  DPR tak mewakili suara rakyat. Mengenai keberpihakan terhadap Islam, pemerintah sering tak seiya sekata dengan rakyat.
Soal Perppu Ormas, UU yang membolehkan kafir menjadi pemimpin, penutupan situs-situs Islam, penolakan kriminalisasi  pelaku LGBT yang merupakan dosa besar dalam Islam juga mendapat banyak pertentangan di tengah rakyat Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia. Kerja, kerja dan kerja yang mereka lakukan selama 72 tahun lebih Indonesia menerapkan demokrasi, belum mampu menjadikan Indonesia menerapkan syariat Islam. Justru melalui demokrasi, pemimpin kafir atau pemimpin muslim yang anti Islam sangat boleh berkuasa jika suara terbanyak memilihnya.
Dari sejarah kemunculannya yang berasal dari Barat yang sejak lama memusuhi Islam, bagaimana kita akan berharap demokrasi akan memenangkan Islam? Mungkinkah Pesta demokrasi yang ada akan  menjadikan pemimpin pilihan menerapkan syariat Islam?
 2. Fakta kemenangan partai Islam dunia
  Beberapa kelompok menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan memenangkan Islam. Di Aljazair, terdapat partai FIS (Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam) yang dikenal dengan Partai Islam dan berpihak pada Islam. Pada Januari 1992, melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Namun militer mengambil alih kekuasaan dan membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh FIS Para pemimpin dan anggota kunci partai yang baru berdiri pada 1989 ini segera digiring ke Gurun Sahara dan diinterogasi secara kejam.
   Tahun 2006 juga menjadi kemenangan pemilu bagi HAMAS, yang dikenal sebagai partai politik Islam yang cukup militant dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. HAMAS meraih 76 dari 132 kursi parlemen (lebih dari 57 persen). Adapun Partai Fatah meraih 43 kursi dan partai-partai lain meraih 13 kursi. Meski kemenangan HAMAS diperoleh dari jalan demokrasi, namun Namun ternyata, kursi kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas.
  Di Mesir, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Muhammad Mursi yang merupakan pentolan kelompok Ikhwanul Muslimin melalui partai FJP ( Partai Kebebasan dan Keadilan)  terpilih sebagai presiden dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta suara. Setahun berkuasa, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri pertahanan dan produksi kemiliteran atas arahan Barat. Lebih dari itu, para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
   Dari fakta sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa pesta demokrasi tak bisa dijadikan jalan kebangkitan Islam. Pada Arab Spring, kejatuhan para dictator di Timur Tengah justru terjadi karena perjuangan umat Islam diluar parlemen. Begitu pula kejatuhan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun.
   3. Kemenangan Islam teradahulu  Rasulullah pernah ditawari kekuasaan oleh Kauam Quraisy dengan syarat meninggalkan dakwahnya. Namun beliau SAW menolaknya. Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya menuturkan,
   “Berbagai upaya tak henti dilakukan oleh kaum Quraisy agar Rasulullah saw menghentikan dakwahnya. Mereka berembuk untuk mencari cara lain. Hasilnya: mereka mengirim utusan untuk membujuk Rasulullah saw dengan mengajukan sebuah tawaran menarik. Akan tetapi, Muhammad saw tetap bergeming.
       “Aku tidak ada urusan dengan apa yang kalian katakan. Apa yang aku bawa bukan untuk meminta harta dan kekuasaan kalian,” ujar Nabi saw.
     “Allah telah mengutusku sebagai Rasul, Dia menurunkan Kitab kepadaku, dan memerintahkanku untuk menjadi orang yang memberikan kabar gembira dan kabar tentang ancaman,” nabi Muhammad saw melanjutkan perkataannya. 
       “Aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku mcmberikan nasihat kepada kalian. Jika kalian menerima, kalian akan beruntung dunia dan akhirat. Jika tidak, aku akan bersabar hingga Allah yang memutuskan perkaraku dengan kalian,” tegas Rasulullah saw.”  
Rasulullah menolaknya karena kekuasaan yang ditawarkan bukan kekuasaan untuk menerapkan Islam. Berbeda dengan nusrah (pertolongan) berupa kekuasaan yang diberikan oleh kaum Anshar pada Bai’at Aqabah kedua. Nushrah yang mereka berikan kepada Nabi saw. tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi hukum syara’. Mereka menyerahkan nushrah dan kekuasaan karena ketundukan pada hukum Allah. Ini terjadi secara alamiah setelah berbagai thariqah perjuangan kemenangan Islam beliau tempuh.
Mulai membina  kelompok dakwah, kemudian bersama kelompoknya, sang Rasul berinteraksi di tengah masyarakat untuk mengubah pemahaman, standard dan keridhoan masyarakat dari yang bukan Islam menjadi pemahaman Islam, menjadikan Islam sebagai standard dalam setiap aktivitas dan qana’at (keridhoan) ummat hanya jika diatur dengan syariat. Setelah itu terwujud di Madinah terutama di kalangan Anshar, kekuasaan itu menjadikan Rasulullah SAW memimpin Negara Madinah dengan Islam, dengan hukum Allah semata. Kemenangan Islam itu terus berlanjut hingga berbagai futuhat (pembebasan) yang dilakukan para khalifah sepeninggal beliau menjadikan Islam berkuasa dan menggemilangkan dunia di hampir dua pertiga permukaan bumi.
Demokrasi memang bisa dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan. Tapi demokrasi tak akan membiarkan Islam berkuasa dan menang. Lalu masihkah, kita akan berharap pada demokrasi? Padahal kemenangan Islam terdahulu justru diraih melalui jalan dakwah yang dituntun wahyu. Ketika saat ini kita ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka wajib hukumnya mengambil metode Rasulullah dan para sahabatnya yang telah berhasil meraih kekuasaan yang memenangkan Islam, bukan denga demokrasi yang tak sesuai Islam. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google

Oleh : Wardah Abeedah*
  Jagat maya kembali heboh dengan drama baru Ketua DPRD Setya Novanto yang mengalami kecelakaan. Sejak beberapa kali lolos dari jeratan hukum yang menjadikanya tersangka, apapun kejadian yang menimpa politisi berjuluk ‘Papa” ini selalu menarik perhatian publik.
 'Kesaktian’ Setya Novanto yang kerap dijuluki ‘The Untoucable' ini terbukti dari beberapa kasus yang sempat menjeratnya. Peradilan masih tak sanggup mengadilinya apalagi mendakwanya. Meski si Papa sering bolak-balik ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi, seperti korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau, namun stempel tersangka yang diberikan KPK di kasus e-KTP dicabut di pra peradilan meja hijau.
  Kasus “The Untouchable Papa SetNov ini bukti kuat bahwa hukum di Indonesia kita tercinta masih tebang pilih. Hukum kita masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Seringkali kita tonton berita soal nenek miskin yang diduga mencuri piring atau mencuri pohon yang divonis bulanan bahkan tahunan di penjara. Atau kasus anak yang mencuri sandal jepit di masjid yang dituntut lima tahun penjara beberapa tahun yang lalu. Kasus-kasus kecil yang menjerat para fuqoro’ dan masakin seperti ini selalu saja dapat diselesaikan dengan proses hukum yang mudah dan cepat.
Beda ceritanya jika kasus hukum menimpa tokoh-tokoh yang memiliki uang apalagi kuasa. Masih lekat dalam ingatan bagaimana si Gayus Tambunan menghebohkan publik dengan foto santainya di beberapa negara meski saat itu berstatus tahanan. Ataupun kasus-kasus terdakwa korupsi yang seringnya mendapat vonis ringan. Kasus tabrak maut anak pejabat yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden juga hilang begitu saja tanpa menyentuh tersangka.
Begitu juga dengan kasus dijadikannya tersangka beberapa ulama yang dianggap menebarkan ujaran kebencian atau makar. Di lain pihak OPM yang jelas-jelas makar masih melenggang. Dan para buzzer sosmed yang berkicau cadas menebarkan permusuhan pada pihak-pihak Islam masih aman melakukan aksinya tanpa terjerat UU ITE.
Tak hanya di Indonesia, di negeri yang menganut demokrasi lainnya, banyak ditemukan fakta serupa. Di negara pengekspor demokrasi, Amerika sana, Presiden mereka Donald Trump bahkan terjerat 3500 kasus hukum. USA Today melaporkan kasus hukum yang melilit Trump meliputi kasus pribadi dan perusahaan-perusahaannya yang terjadi sejak 30 tahun lalu. Trump terlibat dalam 1.900 kasus sebagai penggugat, tergugat 1.450 kasus, dan sisanya 150 kasus pailit atau yang merujuknya sebagai pihak ketiga. 1.700 diantaranya kasus bisnis kasino, selain tuntutan hukum properti yang bernilai jutaan dolar. Meski begitu, di 2016 Trump tetaplah lolos menjabat orang nomer satu di Negeri Paman Sam tsb.
Di Israel, Presiden Benjamin Netanyahu yang kini berkuasa juga ramai diberitakan terjerat kasus hukum Agustus lalau. Di dalam satu dokumen yang diajukan ke satu pengadilan, polisi mengkonfirmasi untuk pertama kali bahwa Netanyahu adalah tersangka dalam dua kasus korupsi yang sedang diselidiki. (republika.co.id)
Keadilan Sistem Peradilan Islam
Islam bukan sekedar agama ritual sebagaimana agama-agama lainnya. Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki akidah sebagai landasan, juga memiliki sistem hidup yang terpancar dari akidah tersebut. Al-Quran dan as-sunnah memuat berbagai sistem dan hukum, baik itu sistem ekonomi, sistem pemerintahan, hingga sistem peradilan.
Jika saja Islam hanyalah sebuah agama ritual sebagaimana agama lainnya, mungkin tak butuh 30 juz, 144 surat dan 6000-an ayat al-Quran untuk menjelaskan ajaran Islam. Pun tak perlu ratusan ribu hadits dan banyak kitab-kitab hadits yang tebal-tebal untuk mengetahui petunjuk Tuhan soal kehidupan. Namun kesempurnaan Islam bisa kita ketahui dari kayanya khazanah tsaqafah atau keilmuan dalam Islam, termasuk dalam sistem peradilannya.
Dalam sistem peradilan Islam, semua warga Negara Islam berkedudukan sama di mata hukum. Islam ataupun non muslim, si miskin atau si kaya, mustahiq atau muzakki, pejabat ataupun rakyat melarat.
Tak ada yang namanya kekebalan hukum bagi siapa pun warga Negara khilafah, termasuk bagi pejabat termasuk khalifah sebagai pemimpin Negara khilafah. Bahkan dalam sistem Islam terdapat sebuah mahkamah khusus untuk aduan rakyat terhadap kedzaliman pejabat dan penguasa. Mahkamah Madzalim namanya. Qadli atau hakim di dalamnya memiliki wewenang untuk menghukum para pejabat dan penguasa hingga mencopot khalifah sekalipun jika dia sudah memenuhi syarat pemakzulan yang ditentukan syariat.
Keadilan sistem Islam juga berasal dari hukum-hukum di dalamnya. Hukum yang dipakai adalah hukum yang berasal dari zat yang Maha Adil. Tak ada multi tafsir, dan tak ada celah untuk mengubah hukum Allah. Terlebih hukum yang bersifat qath’iy dalam hal peradilan, seperti hudud misalnya. Hudud atau had-had berupa hukuman yang telah ditentukan al-Quran dan as-sunnah secara qath’i semisal potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah (ghoiru muhson), dll tak akan bisa diubah melalui legislatif, melalui undang-undang yang baru. Karena perbedaan terbesar antara sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam berupa khilafah/imamah terletak pada kedaulatan.
Dalam Islam, kedaulatan atau yang berhak membuat hukum adalah Allah, Sang Pembuat Syariat. Maka sulit mencari celah bagi siapa pun untuk lolos dari satu pasal dengan cara berlindung di balik pasal lainnya, seperti yang terjadi saat ini.  Meski dalam kasus hukum yang tak termasuk hudud qadli akan berijtihad, tetap saja tak ada celah untuk bebas dari sangsi karena jenis-jenis sangsi (uqubat) yang dibolehkan syara’ untuk dijatuhkan sudah ditentukan syariat dengan nash-nash yang jelas.  
Dalam proses peradilannya, ijtihad-ijtihad yang dilakukan juga memiliki pakem yang sama dalam pengambilan dalilnya. Ini membuat perbedaan yang ada antar satu qadli denga qadli lainnya tak akan jauh berbeda dan tetaplah adil karena bersumber dari quran dan sunnah. Berbeda dengan saat ini, pengambilan hukum tak memiliki pakem sebaik standard ijtihad, namun lebih diserahkan kepada suara terbanyak di legislatif. Padahal tak semua legislator paham persoalan peradilan dan tak semuanya adalah sososk yang adil dan hanif.
Keadilan dalam sejarah peradaban Islam
Peradaban Islam  yang pernah menguasai 2/3 dunia selama 13 abad menorehkan tinta emas dalam keadilan sistem peradilannya. Pada masa awal berdirinya di Madinah, ketika rasulullah SAW memimpin, terdapat seorang wanita bangsawan yang mencuri. Beberapa tokoh pada masa itu meminta Rasulullah SAW untuk tak mengadilinya. Namun bagaimana respon Rasulullah? Beliau bahkan bersabda dengan perkataan yang masyhur hingga zaman ini, “Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, belaiu ra. pernah berselisih dengan seorang rakyatnya yang beragama Yahudi. Baju besi milik sang Khalifah terjatuh dan hilang. Lalu dia menemukannya berada di tangan seorang Yahudi. Namun saat keduanya berada di pengadilan, dan saling mengklaim atas kepemilikan baju besi tersebut, Syuraih Sang qadhi saat itu justru memenangkan si Yahudi tadi.
Ini karena Khalifah Ali tak memiliki saksi kecuali anaknya, sedangkan kesaksian anak tidak diterima dalam peradilan Islam. Hingga akhirnya keadilan sistem uqubat Islam ini menjadikan si Yahudi merengkuh hidayah Islam. Si Yahudi mengakui kesalahannya, mengembalikan baju besi tersebut dan masuk Islam. Kemudian khalifah Ali menghibahkan baju besi tadi kepadanya dan menambahkan baginya hadiah.
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengadili putra Gubernur Mesir masa itu, Muhammad bin Amr bin Ash. Putra Sang Gubernur dilaporkan telah mencambuk Pemuda Mesir karena telah mengalahkannya dalam sebuah perlombaan. Pengaduan ini diterima oleh khalifah, beliau memanggil gubernur beserta anaknya. Sesampainya mereka di Madinah, Umar meminta pemuda tadi untuk mencambuk Muhammad bin Amr bin Ash.
Beginilah potret keadilan dalam Islam. Hukum-hukum peradilannya bersumber dari nash yang diturunkan Zat yg Maha Adil. Sistem peradilan itu didukung dengan sistem pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketakwaan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketakwaan individu menjadi benteng yang kuat untuk menghindarkan masyarakat dari perbuatan kriminal, selain hukuman tegas dan memberi efek jera menjadi kontrol negara. Sehingga keadilan, ketentraman dan keamanan terwujud dalam negara, dirasakan oleh semua pihak siapa pun orangnya.
Jadi kesimpulannya, andai The Untoucable Papa hidup di masa khilafah bagaimana? In sya Allah tak akan ada The Untouchable Papa, mama, khalifah atau siapa pun. Karena peradilan Islam yang ditopang oleh sistem pemerintahan Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam dan sistem pendidikan Islam sekaligus akan mampu menutup celah untuk tercetaknya koruptor yang Untouchable. Allahu a’lam bis showab. (riafariana/voa-islam.com)
*Penulis, Muballighoh
Ilustrasi: Google


Oleh :  Wardah Abeedah*
Hampir satu bulan tahun 2018 meninggalkan kita. Ada banyak catatan yang perlu dijadikan bahan perbaikan di tahun 2019. Termasuk sikap rezim yang berkuasa saat ini terhadap persoalan umat Islam di Indonesia. Pada 2018 kemarin, terdapat banyak catatan merah rezim Jokowi dalam kebijakannya terkait umat Islam.
Masuknya poin deradikalisasi dalam UU Terorisme, terbitnya UU ITE yang memakan banyak korban kriminalisasi di pihak yang pro Islam, ditersangkakannya tokoh-tokoh muslim atas kasus hatespeech dan lainnya, pembubaran kajian beberapa ustadz oleh aparat, deradikalisasi kampus yang dirasa merugikan dosen dan beberapa pihak, juga ketidak adilan yang dirasakan kaum muslimin terkait kasus bendera tauhid. 
Selain itu, ada banyak persoalan yang dirasa mengganggu umat sepanjang tahun kemarin. Mulai penyerangan ulama, ustadz dan guru ngaji yang konon dilakukan orang gila, persekusi ulama dan tokoh Islam oleh beberapa pihak, juga pembakaran bendera tauhid yang sangat menyakiti hati umat Islam.
Di sisi lain, ketika ada banyak pelaporan terkait hatespeech yang dilakukan kubu pro rezim, aparat begitu lamban menanganinya. Kelompok bersenjata di Papua yang menewaskan 31 orang tak pernah mendapat predikat radikal atau teroris.
Berderet dinamika inilah yang menjadikan Reuni 212 tahun 2018 semakin besar. Dihadiri massa yang lebih besar dengan jumlah bendera tauhid yang lebih banyak. Kehadiran kaum muslimin di Monas menjadi bentuk perlawanan cerdas nan elegan.
Momentum Al-Maidah 51 di 2016 dan akumulasi rasa ketidakadilan yang dirasakan kaum muslimin pada 2016 hingga 2018 menjadikan 212 sebagai simbol perjuangan kaum muslimin. Meminjam istilah Rocky Gerung, 212 tak lagi sekedar momentum. Tapi berubah menjadi monumen. Yakni menjadi sebuah simbol bagi pembelaan terhadap Islam dan perlawanan bagi ketidakadilan. Simbol bagi bangkitnya Islam politik di Indonesia. Simbol kecintaan terhadap agama dan kerinduan terhadap ukhuwah serta persatuan.
Tak berhenti di Monas, ghirah Islam menjalar ke seluruh pelosok nusantara. Pasca 212, umat semakin sadar bahwa Islam bukan lagi sekedar ibadah dan akhlaq, opini Islam politik yakni Islam sebagai pengatur semua aspek kehidupan menguat. Ulama yang selama ini hanya menyuarakan ibadah dan akhlaq, menjadi lantang menyuarakan kedzaliman penguasa dan penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang ada di Indonesia.
Bersamaan dengan era digital, media sosial tak ayal menjadi salah satu sarana yang menyebarkan Islam politik ke tengah-tengah umat. Gelombang hijrah juga membesar, para tokoh bahkan artis yang biasa menjadi symbol maksiat justru turut memperbesar gelombang ini. Kajian keislaman ramai di seluruh pelosok negeri.
Belasan tahun yang lalu, mungkin tak pernah terbayang jika berjuta al liwa dan ar rayah akan dikibarkan oleh jutaan umat Islam yang bersatu atas pemikiran dan perasaan Islam. Beberapa tahun yang lalu mungkin sulit memvisualkan dalam benak, bagaimana wujud jutaan umat Islam berkumpul atas kesadarannya sendiri, demi membela Islam, memuhasabahi penguasa menyuarakan islam sebagai pandangan politik, dan menginginkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik dengan Islam, sebagaimana orasi yang disuarakan para tokoh dalam Reuni 212 tahun kemarin.
******
Kesadaran Islam politik, yakni Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan termasuk bernegara inilah yang ditakutkan rezim dan tuannya.  Sebagaiman ucapan M.Natsir, “Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya”.
Maka wajar jika propaganda melawan Radikalisme yang menyudutkan Islam digencarkan. Melalui survey-survey dan framing pemberitaan melalui media, ajaran Islam dan ormas yang ingin menerapkannya kerap dijadikan sasaran fitnah propaganda Radikalisme ini. Tujuannya setidaknya ada 4 ;
Pertama, menebarkan islamphobia agar umat Islam menjauhi ajaran agamanya sendiri. Kedua, sebagai alat legitimasi untuk memukul pihak yang ingin menerapkan Islam atau mengancam kekuasaan. Ketiga, membangun nilai baru Islam yang ramah terhadap Barat. Keempat, mempertahankan hegemoni Barat atas negeri muslim
Dosen UIN Sunan Ampel, Dr. Imran Mawardi MA juga menyatakan bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.  
Menurut Ketua MUI Depok, KH Ahmad Nawawi mengungkapkan, propaganda radikalisme adalah propaganda efektif bagi bangsa penjajah untuk menjajah negeri-negeri muslim (Tabloid Media Umat april 2018). Statement ini sejalan dengan pendapat para ekonom seperti Ichsanoodin Noorsy, Rizal Ramli, dll yang sering menyatakan bahwa ekonomi kita dikuasai asing.
 Pada faktanya, sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing, begitu pula berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah acapkali menguntungkan asing dan tak berpihak pada rakyat. Jika Islam ditegakkan melalui institusi politik (negara), penguasaan sumber daya alam oleh Barat akan dihentikan karena bertentangan dengan ajaran ekonomi Islam. Hal ini tentu akan merugikan pihak kapitalis yang selama ini meraup keuntungan di Indonesia.
Selama rezim yang berkuasa terus ridha menjadi antek asing, selama rezim menerapkan ideology kapitalisme sekuler di negeri ini, selama itu pula umat Islam akan tersudutkan. Semoga 2019 ini Islam tak hanya bebas dari obyek kriminalisasi, persekusi dan fitnahan. Tapi Islam akan menang dengan terwujudnya Indonesia yang tak tunduk pada asing, tapi tunduk pada Allah semata dengan menerapkan semua syariah Islam secara sempurna. Agar negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafurAllahu a’lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
*Founder Madrasah Shalihat, Islamic Freelance Writer