Selasa, 02 April 2019

Oleh : Wardah Abeedah (Pegiat Literasi Dakwah)
Negara paling santai di dunia. Ya, julukan ini baru saja diraih Indonesia. Hal ini diungkap lewat studi terbaru Lastminute penyedia jasa perjalanan Eropa yang menempatkan Indonesia sebagai urutan pertama Most Chilled Out Countries in The World (negara paling santai di dunia)Sebelumnya, Indonesia menempati peringkat ke empat sebagai negara paling instagramable di dunia versi situs wisata bigseventravel.com, serta peringkat enam negara terindah di dunia versi situs penyedia layanan wisata roughguides.com. Maraknya pujian dan predikat baik di bidang wisata akhir-akhir ini tentunya tak lepas dari upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Sekilas, predikat-predikat yang diraih tampak membanggakan bagi Indonesia. Namun sebagai muslim, selayaknya kita menilai segala sesuatau dengan kacamata Islam. Negeri yang baik dan berhak menapatkan limpahan barakah dari Allah dalam Islam adalah negeri yang beriman dan bertakwa (lihat al-a’raf 96). Sedangkan negeri yang buruk dan mendatangkan adzab Allah adalah negeri yang mendustakan ayat-ayat Allah. Kebaikan sebuah negeri bukanlah dilihat dari seberapa santainya dan seberapa instagramable-nya negeri tersebut. Ia dilihat dari keimanan dan ketakwaan pemimpin dan rakyatnya.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia seharusnya menjadi negeri yang paling beriman dan bertakwa di dunia dengan menerapkan Islam secara sempurna, sebagaimana pada masa Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin dahulu. Negara Islam yang pasca wafatnya Rasulullah shallallahualaihi wasallam dikenal dengan Khilafah Islamiyah yang menjadi peradaban gemilang hingga berkuasa selama 13 abad dan menghantar dua pertiga dunia pada kejayaan dan kemuliaan yang tak pernah ada sebelumnya.

Dengan sekitar 222 juta penduduk muslim, Indonesia menyumbang populasi muslim terbesar di dunia. Persentase muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 % dari populasi dunia (republika.co.id). Di tengah-tengah fajar kebangkitan kembali peradaban Islam, tentu saja semua pihak tahu Indoensia memiliki potensi besar untuk menjadi titik awal kebangkitan Islam. Selain potensi sumber daya manusia, sumber daya alam yang dimiliki Indonesia juga begitu kaya.
Dari segi sejarah, Indonesia tak bisa dilepas dari jejak kekhalifahan yang mengirim para dai termasuk walisongo ke Indonesia. Bahkan banyak sejarawan yang menyebut Islam masuk ke Indonesia sejak masa kekhalifahan Abbasiyah. Banyaknya jejak sejarah berupa kesultanan Islam, pesantren yang merupakan sistem pendidikan Islam di masa kesultanan Islam di nusantara, dan jejak lainnya, akan lebih memudahkan kaum muslim di Indonesia untuk kembali memperjuangkan apa yang pernah diraihnya.
Di negeri ini juga terdapat banyak ulama dan jamaah dakwah yang akhir-akhir ini semakin getol menyerukan persatuan umat Islam dan penerapan Islam sempurna dalam bentuk negara. Bahkan dalam survey LSI yang dirilis Agustus 2018, menunjukkan bahwa cita-cita publik untuk mendirikan negara berdasarkan agama menguat pasca 212. Potensi lainnya terdapat pada meningkatya kesadaran umat untuk bersatu dalam perjuangan Islam yang meningkat pasca 212.
Bagi negara barat dan para kapitalis yang selama ini menjajah negeri-negeri muslim dengan penjajahan fisik ataupun politik dan ekonomi, tentunya hal ini membahayakan hegemoni mereka. Berbagai cara mereka lakukan untuk menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Selain dengan program war on terrorismdan deradikalisasi yang menyuburkan Islamphobia, mereka juga membuat kebijakan liberalisasi dan sekularisasi.

Salah satu strategi liberalisasi dan sekularisasi adalah dengan pariwisata. Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Saat ini tataran diplomasi hubungan antar negara amat mengandalkan mekanisme people to people contact selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people contact sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antara negaranya dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai dari budaya negara mereka yang jauh dari Islam.
Pujian-pujian dan penghargaan di bidang pariwisata ini patut diwaspadai oleh kaum muslimin. Jangan sampai kaum muslimin terlena dan keliru dalam menetapkan visi Indonesia ke depan. Sehingga lalai untuk berjuang agar Indonesia menjadi negeri yang beriman dan bertakwa, memaksimalkan potensi yang dikaruniakan Allah untuk menjadi titik tolak terwujudnya peradaban Islam yang gemilang di dunia. Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : kiblat.net


Oleh : Wardah Abeedah
Negara Paman Sam kembali sekarat. Di awal tahun ini, terhitung kali kelima pemerintah mengambil kebijakan Goverment Shutdown. Shutdown? Iya. Mati, alias OFF. Baru satu tahun memimpin, Mr. Trump telah membuat kebijakan untuk menutup dan menghentikan sementara pelayanan publik oleh pemerintah.
Ratusan ribu pekerja federal AS tidak akan bisa bekerja. Para pekerja federal pada lembaga-lembaga yang dianggap 'tidak esensial' akan dirumahkan sementara, tanpa mendapat bayaran, hingga penutupan diakhiri.
Sedangkan para pekerja federal pada lembaga-lembaga esensial terkait keamanan nasional juga militer AS, akan tetap bekerja namun tanpa bayaran. Gedung Putih, Kongres AS, Departemen Luar Negeri dan Pentagon akan tetap beroperasi, namun beberapa staf mungkin harus cuti tanpa bayaran.
Apa pasal?
Penyebabnya pembahasan rencana anggaran federal Amerika Serikat (AS) berujung buntu dengan tidak tercapainya kesepakatan antara Partai Republik (pro pemerintah) dan Partai Demokrat di Senat.
Goverment Shutdown adalah produk demokrasi Negeri Paman Sam yang muncul pertama kali tahun 1990 yang menambah deretan fakta aib dan cacat besar sistem ekonomi kapitalisme.
Tak hanya di negeri pengekspor demokrasi, di Indonesia sendiri yang sudah puluhan tahun mengimpor sistem kapitalis juga sering tak tepat dalam menetapkan anggaran. Menjadikan hak rakyat kecil terabaikan.
Selain sistem pemerintahan dan ekonomi, Indonesia juga mengimpor banyak sistem, kebijakan, dan pemikiran ideologi kapitalis yang diratifikasi dari PBB. Ya, PBB, yang didalamnya AS dan bolokurowonya berperan besar mengendalikan anggota-anggotanya dan memiliki hak veto.
Masih ingat Pekan kondom Nasional tahun 2013 lalu? Acara bagi-bagi kondom pada pelaku seks beresiko yang menyerap APBN 23 milyar? Nah, kebijakan Menteri Kesehatan yang menuai kontra saat itu hanyalah meratifikasi kesepakatan PBB soal HIV-AIDS, juga meniru event tahunan pemerintah AS, "National Condom Week".
BPJS, SDG's sebagai lanjutan dari MDG's, dan banyak UU plus kebijakan lainnya yang dibuat presiden-persiden kita hari ini atau pun yang sebelum-sebelumnya sebenarnya bukan muncul murni dari kecerdasan mereka. Tapi karena negeri ini dengan dipaksa mengimpor ideologi kapitalisme beserta perangkatnya.
Di AS sendiri, sistem kapitalisme ini sudah membuat negaranya berkali-kali mengalami krisis. Bahkan banyak pakar ekonomi menyebut setiap 5 tahun sekali negeri yang masih disebut adi daya ini mengalami krisis. Per 2017, Amerika telah mencetak rekor mempunyai utang nasional tertinggi melampaui produk domestik bruto (PDB). Jumlah utang Amerika mencapai 19.947 miliar dollar Amerika per Januari 2018.
Ideologi kapitalisme yang tegak di bumi Hollywood ini juga sudah 'tuwuk' mendzalimi rakyatnya, bahkan rakyat dari negeri-negeri pengimpornya. Jumlah gelandangan di AS hingga akhir tahun 2016, seperti dikutip dari Departemen Perumahan dan Pembangungan Perkotaan, mencapai 550.000 jiwa. Setara dengan populasi 47 kota di Turki. Meski Negara pengekspor ideology ini berupaya bertahan hidup dengan menghisap minyak, emas dan banyak kekayaan di negeri-negeri muslim, toh tak membuat jiwa sekarat Pakde Sam selamat.
Sejatinya Ideologi Kapitalisme beserta seperangkat sistemnya adalah racun-racun yang telah membunuh negara asalnya sendiri dengan perlahan. Lalu dipaksalah kaum muslimin termasuk Indonesia untuk menenggaknya. Akankah kita menjadi bodoh dengan sami'na wa atho'na lalu mati bersama?
Berpuluh tahun sudah racun yang hampir membunuh peramunya mengaliri darah ibu pertiwi. Berpuluh tahun sudah negeri ini dirundung berbagai krisis akibat mengadopsi sistem kapitalisme.
Racun itu dipoles dengan topeng 'Pancasila', 'Bhineka Tunggal Ika' ataupun 'Kebangsaan'. Tapi tahukah kita bahwa tiga mantra itu hanyalah tipuan demi menutupi wajah asli kapitalisme yang sedang menjajah negeri ini? Kapitalisme yang diterapkan dengan paksa kepada khoiru ummah demi kepentingan para Kapitalis dunia?
Sejatinya untuk mengatur negara ini, kita sudah punya Alqur'an dan As-sunnah yang dari keduanya para ulama menggali sistem ekonomi termasuk di dalamnya penetapan anggaran, sistem sosial, sistem pendidikan, bahkan sistem pemerintahan. Syariah yakni aturan yang bersumber dari Alquran dan As-Sunnah adalah solusi dari semua persoalan yang tak henti menerpa negeri kita tercinta. Sistem Islam adalah obat yang akan menyembuhkan bahkan menyehatkan negeri ini. Menjadikan nusantara selamat dunia-akhirat.
Lalu mengapa negeri ini menolaknya dan malah terjangkit virus Islamphobia produk Barat yang dicekokkan di benak kita?
Mengapa negeri ini memilih racun dan membuang obat kemudian merasa bangga dengannya?
Bukankah Allah telah menegaskan dalam surat  Al-Isra' ayat 82,
نُنَزِّلُمِنَٱلۡقُرۡءَانِمَاهُوَشِفَآءٌ۬وَرَحۡمَةٌ۬لِّلۡمُؤۡمِنِينَ‌ۙوَلَايَزِيدُٱلظَّـٰلِمِينَإِلَّاخَسَارً۬ا
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman
Dan Rasul kita telah mewantikan,
Sesungguhnya Allah Subhaanahu wata’ala mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Qur’an ini dan merendahkann yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnah" (HR. Malik)
Jika kita jujur, tulus lagi cerdas dalam mencintai negeri ini, maka memperjuangkan tegaknya syariat dan hukum Allah akan menjadi harga mati. Wallahu a'lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google


Oleh : Wardah Abeedah
  Gelombang kesadaran politik kaum muslimin akhir-akhir ini semakin meningkat. Kerinduan akan pemimpin muslim yang hakiki, sekaligus bisa hidup di bawah naungan Islam menyerebak di seluruh penjuru nusantara. Hal ini bisa kita saksikan melalui diskusi dan dialog yang ramai diperbincangkan baik di dunia maya ataupun nyata. Tema utama membidik seputar politik Islam.
Para ulama tak lagi malu-malu menyampaikan orasi politik dalam ceramah dan tausiyahnya. Mimbar-mimbar tak lagi melulu membahas ibadah mahdah semata seperti shalat dan ibadah sunnah semata. Akun media sosial para ustadz dan ulama tak lagi hanya diramaikan postingan soal manajemen hati dan siraman kalbu. Mereka menuntun umat untuk menyikapi berbagai persoalan kehidupan baik itu ekonomi, social dan politik dengan Islam. Termasuk dalam persoalan pemilihan kepala daerah yang serentak digelar di negeri ini.
Efeknya, umat sadar untuk ingin hidup di bawah syariat Islam dan dipimpin oleh Imam yang akan menerapkan Islam. Mereka membayangkan cita-citanya akan terwujud dengan pesta demokrasi. Pilkada serentak yang ada, bahkan dijadikan barometer untuk kesuksesan pilpres tahun mendatang. Sebuah harapan besar akan berakhirnya rezim yang represif terhadap Islam, dan berganti dengan kemenangan Islam dan tegaknya syariat di bumi pertiwi. Pertanyaannya, akankah ekspektasi mulia umat yang tinggi terhadap demokrasi ini bisa terwujud?
Untuk menjawabnya, mari kita cermati ulasan berikut:
 1. Demokrasi bukan sistem Islam. Demokrasi atau dalam Bahasa Arab disebut ‘ad-Dimuqratiyah’ merupakan istilah asing yang tak memiliki akar dalam Bahasa Arab. Ia merupakan bahasa serapan karena memang bukan merupakan bagian dari ajaran Islam. Syaikh Dr. Muhammad Syakir al-Syariif penulis buku  Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengungkapkan, bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya.
Secara terminologi (ishtilaahi), demokrasi secara lugas ialah sistem pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”. Dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).
Secara definisi ataupun hakikat demokrasi, jelas demokrasi berbeda jauh dengan konsep syura atau musyawarah dalam Islam. Demokrasi pertama kali muncul di negeri Yunani yang kemudian di masa abad pertengahan diterapkan di Eropa demi mengurangi dan menghapus keabsolutan kerajaan Kristen Eropa yang diktator dan dzalim.
Di masa modern kini, demokrasi menjadi sistem pemerintahan di bawah ideologi Kapitalisme. Dengan demokrasi, Barat menyebarkan ideologi Kapitalismenya dan menguasai dunia secara ekonomi dan politik termasuk di Indonesia. Di AS ada sebuah semboyan Demokrasi yang terkenal : “The Golden Rule of Democracy is Those who have Golds are Ruler” (aturan emas dari Demokrasi ialah siapa yang memiliki emas (uang), dialah penguasa). Presiden AS ke 43, George W. Bush sendiri dalam pidato kenegaraan, menyatakan: “Jika kita mau melindungi Negara kita dalam jangka panjang, hal yang terbaik yang dilakukan ialah menyebarkan kebebasan dan Demokrasi”. Sebelumnya,  Bush menekankan pentingnya Demokratisasi Timur Tengah.
 Dalam demokrasi, pemimpin dan legislator yang membuat hukum memang dipilih oleh rakyat. Tapi pada faktanya banyak sekali kebijakan mereka yang tak mewakili suara rakyat. Undang-Undang tentang SDA, ESDM misalnya. Begitupun saat rakyat menolak kenaikan BBM, atau ketika rakyat menginginkan kontrak Freeport dihentikan, pemerintah dan  DPR tak mewakili suara rakyat. Mengenai keberpihakan terhadap Islam, pemerintah sering tak seiya sekata dengan rakyat.
Soal Perppu Ormas, UU yang membolehkan kafir menjadi pemimpin, penutupan situs-situs Islam, penolakan kriminalisasi  pelaku LGBT yang merupakan dosa besar dalam Islam juga mendapat banyak pertentangan di tengah rakyat Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia. Kerja, kerja dan kerja yang mereka lakukan selama 72 tahun lebih Indonesia menerapkan demokrasi, belum mampu menjadikan Indonesia menerapkan syariat Islam. Justru melalui demokrasi, pemimpin kafir atau pemimpin muslim yang anti Islam sangat boleh berkuasa jika suara terbanyak memilihnya.
Dari sejarah kemunculannya yang berasal dari Barat yang sejak lama memusuhi Islam, bagaimana kita akan berharap demokrasi akan memenangkan Islam? Mungkinkah Pesta demokrasi yang ada akan  menjadikan pemimpin pilihan menerapkan syariat Islam?
 2. Fakta kemenangan partai Islam dunia
  Beberapa kelompok menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan memenangkan Islam. Di Aljazair, terdapat partai FIS (Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam) yang dikenal dengan Partai Islam dan berpihak pada Islam. Pada Januari 1992, melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Namun militer mengambil alih kekuasaan dan membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh FIS Para pemimpin dan anggota kunci partai yang baru berdiri pada 1989 ini segera digiring ke Gurun Sahara dan diinterogasi secara kejam.
   Tahun 2006 juga menjadi kemenangan pemilu bagi HAMAS, yang dikenal sebagai partai politik Islam yang cukup militant dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. HAMAS meraih 76 dari 132 kursi parlemen (lebih dari 57 persen). Adapun Partai Fatah meraih 43 kursi dan partai-partai lain meraih 13 kursi. Meski kemenangan HAMAS diperoleh dari jalan demokrasi, namun Namun ternyata, kursi kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas.
  Di Mesir, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Muhammad Mursi yang merupakan pentolan kelompok Ikhwanul Muslimin melalui partai FJP ( Partai Kebebasan dan Keadilan)  terpilih sebagai presiden dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta suara. Setahun berkuasa, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri pertahanan dan produksi kemiliteran atas arahan Barat. Lebih dari itu, para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
   Dari fakta sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa pesta demokrasi tak bisa dijadikan jalan kebangkitan Islam. Pada Arab Spring, kejatuhan para dictator di Timur Tengah justru terjadi karena perjuangan umat Islam diluar parlemen. Begitu pula kejatuhan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun.
   3. Kemenangan Islam teradahulu  Rasulullah pernah ditawari kekuasaan oleh Kauam Quraisy dengan syarat meninggalkan dakwahnya. Namun beliau SAW menolaknya. Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya menuturkan,
   “Berbagai upaya tak henti dilakukan oleh kaum Quraisy agar Rasulullah saw menghentikan dakwahnya. Mereka berembuk untuk mencari cara lain. Hasilnya: mereka mengirim utusan untuk membujuk Rasulullah saw dengan mengajukan sebuah tawaran menarik. Akan tetapi, Muhammad saw tetap bergeming.
       “Aku tidak ada urusan dengan apa yang kalian katakan. Apa yang aku bawa bukan untuk meminta harta dan kekuasaan kalian,” ujar Nabi saw.
     “Allah telah mengutusku sebagai Rasul, Dia menurunkan Kitab kepadaku, dan memerintahkanku untuk menjadi orang yang memberikan kabar gembira dan kabar tentang ancaman,” nabi Muhammad saw melanjutkan perkataannya. 
       “Aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku mcmberikan nasihat kepada kalian. Jika kalian menerima, kalian akan beruntung dunia dan akhirat. Jika tidak, aku akan bersabar hingga Allah yang memutuskan perkaraku dengan kalian,” tegas Rasulullah saw.”  
Rasulullah menolaknya karena kekuasaan yang ditawarkan bukan kekuasaan untuk menerapkan Islam. Berbeda dengan nusrah (pertolongan) berupa kekuasaan yang diberikan oleh kaum Anshar pada Bai’at Aqabah kedua. Nushrah yang mereka berikan kepada Nabi saw. tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi hukum syara’. Mereka menyerahkan nushrah dan kekuasaan karena ketundukan pada hukum Allah. Ini terjadi secara alamiah setelah berbagai thariqah perjuangan kemenangan Islam beliau tempuh.
Mulai membina  kelompok dakwah, kemudian bersama kelompoknya, sang Rasul berinteraksi di tengah masyarakat untuk mengubah pemahaman, standard dan keridhoan masyarakat dari yang bukan Islam menjadi pemahaman Islam, menjadikan Islam sebagai standard dalam setiap aktivitas dan qana’at (keridhoan) ummat hanya jika diatur dengan syariat. Setelah itu terwujud di Madinah terutama di kalangan Anshar, kekuasaan itu menjadikan Rasulullah SAW memimpin Negara Madinah dengan Islam, dengan hukum Allah semata. Kemenangan Islam itu terus berlanjut hingga berbagai futuhat (pembebasan) yang dilakukan para khalifah sepeninggal beliau menjadikan Islam berkuasa dan menggemilangkan dunia di hampir dua pertiga permukaan bumi.
Demokrasi memang bisa dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan. Tapi demokrasi tak akan membiarkan Islam berkuasa dan menang. Lalu masihkah, kita akan berharap pada demokrasi? Padahal kemenangan Islam terdahulu justru diraih melalui jalan dakwah yang dituntun wahyu. Ketika saat ini kita ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka wajib hukumnya mengambil metode Rasulullah dan para sahabatnya yang telah berhasil meraih kekuasaan yang memenangkan Islam, bukan denga demokrasi yang tak sesuai Islam. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google

Oleh : Wardah Abeedah*
  Jagat maya kembali heboh dengan drama baru Ketua DPRD Setya Novanto yang mengalami kecelakaan. Sejak beberapa kali lolos dari jeratan hukum yang menjadikanya tersangka, apapun kejadian yang menimpa politisi berjuluk ‘Papa” ini selalu menarik perhatian publik.
 'Kesaktian’ Setya Novanto yang kerap dijuluki ‘The Untoucable' ini terbukti dari beberapa kasus yang sempat menjeratnya. Peradilan masih tak sanggup mengadilinya apalagi mendakwanya. Meski si Papa sering bolak-balik ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi, seperti korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau, namun stempel tersangka yang diberikan KPK di kasus e-KTP dicabut di pra peradilan meja hijau.
  Kasus “The Untouchable Papa SetNov ini bukti kuat bahwa hukum di Indonesia kita tercinta masih tebang pilih. Hukum kita masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Seringkali kita tonton berita soal nenek miskin yang diduga mencuri piring atau mencuri pohon yang divonis bulanan bahkan tahunan di penjara. Atau kasus anak yang mencuri sandal jepit di masjid yang dituntut lima tahun penjara beberapa tahun yang lalu. Kasus-kasus kecil yang menjerat para fuqoro’ dan masakin seperti ini selalu saja dapat diselesaikan dengan proses hukum yang mudah dan cepat.
Beda ceritanya jika kasus hukum menimpa tokoh-tokoh yang memiliki uang apalagi kuasa. Masih lekat dalam ingatan bagaimana si Gayus Tambunan menghebohkan publik dengan foto santainya di beberapa negara meski saat itu berstatus tahanan. Ataupun kasus-kasus terdakwa korupsi yang seringnya mendapat vonis ringan. Kasus tabrak maut anak pejabat yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden juga hilang begitu saja tanpa menyentuh tersangka.
Begitu juga dengan kasus dijadikannya tersangka beberapa ulama yang dianggap menebarkan ujaran kebencian atau makar. Di lain pihak OPM yang jelas-jelas makar masih melenggang. Dan para buzzer sosmed yang berkicau cadas menebarkan permusuhan pada pihak-pihak Islam masih aman melakukan aksinya tanpa terjerat UU ITE.
Tak hanya di Indonesia, di negeri yang menganut demokrasi lainnya, banyak ditemukan fakta serupa. Di negara pengekspor demokrasi, Amerika sana, Presiden mereka Donald Trump bahkan terjerat 3500 kasus hukum. USA Today melaporkan kasus hukum yang melilit Trump meliputi kasus pribadi dan perusahaan-perusahaannya yang terjadi sejak 30 tahun lalu. Trump terlibat dalam 1.900 kasus sebagai penggugat, tergugat 1.450 kasus, dan sisanya 150 kasus pailit atau yang merujuknya sebagai pihak ketiga. 1.700 diantaranya kasus bisnis kasino, selain tuntutan hukum properti yang bernilai jutaan dolar. Meski begitu, di 2016 Trump tetaplah lolos menjabat orang nomer satu di Negeri Paman Sam tsb.
Di Israel, Presiden Benjamin Netanyahu yang kini berkuasa juga ramai diberitakan terjerat kasus hukum Agustus lalau. Di dalam satu dokumen yang diajukan ke satu pengadilan, polisi mengkonfirmasi untuk pertama kali bahwa Netanyahu adalah tersangka dalam dua kasus korupsi yang sedang diselidiki. (republika.co.id)
Keadilan Sistem Peradilan Islam
Islam bukan sekedar agama ritual sebagaimana agama-agama lainnya. Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki akidah sebagai landasan, juga memiliki sistem hidup yang terpancar dari akidah tersebut. Al-Quran dan as-sunnah memuat berbagai sistem dan hukum, baik itu sistem ekonomi, sistem pemerintahan, hingga sistem peradilan.
Jika saja Islam hanyalah sebuah agama ritual sebagaimana agama lainnya, mungkin tak butuh 30 juz, 144 surat dan 6000-an ayat al-Quran untuk menjelaskan ajaran Islam. Pun tak perlu ratusan ribu hadits dan banyak kitab-kitab hadits yang tebal-tebal untuk mengetahui petunjuk Tuhan soal kehidupan. Namun kesempurnaan Islam bisa kita ketahui dari kayanya khazanah tsaqafah atau keilmuan dalam Islam, termasuk dalam sistem peradilannya.
Dalam sistem peradilan Islam, semua warga Negara Islam berkedudukan sama di mata hukum. Islam ataupun non muslim, si miskin atau si kaya, mustahiq atau muzakki, pejabat ataupun rakyat melarat.
Tak ada yang namanya kekebalan hukum bagi siapa pun warga Negara khilafah, termasuk bagi pejabat termasuk khalifah sebagai pemimpin Negara khilafah. Bahkan dalam sistem Islam terdapat sebuah mahkamah khusus untuk aduan rakyat terhadap kedzaliman pejabat dan penguasa. Mahkamah Madzalim namanya. Qadli atau hakim di dalamnya memiliki wewenang untuk menghukum para pejabat dan penguasa hingga mencopot khalifah sekalipun jika dia sudah memenuhi syarat pemakzulan yang ditentukan syariat.
Keadilan sistem Islam juga berasal dari hukum-hukum di dalamnya. Hukum yang dipakai adalah hukum yang berasal dari zat yang Maha Adil. Tak ada multi tafsir, dan tak ada celah untuk mengubah hukum Allah. Terlebih hukum yang bersifat qath’iy dalam hal peradilan, seperti hudud misalnya. Hudud atau had-had berupa hukuman yang telah ditentukan al-Quran dan as-sunnah secara qath’i semisal potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah (ghoiru muhson), dll tak akan bisa diubah melalui legislatif, melalui undang-undang yang baru. Karena perbedaan terbesar antara sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam berupa khilafah/imamah terletak pada kedaulatan.
Dalam Islam, kedaulatan atau yang berhak membuat hukum adalah Allah, Sang Pembuat Syariat. Maka sulit mencari celah bagi siapa pun untuk lolos dari satu pasal dengan cara berlindung di balik pasal lainnya, seperti yang terjadi saat ini.  Meski dalam kasus hukum yang tak termasuk hudud qadli akan berijtihad, tetap saja tak ada celah untuk bebas dari sangsi karena jenis-jenis sangsi (uqubat) yang dibolehkan syara’ untuk dijatuhkan sudah ditentukan syariat dengan nash-nash yang jelas.  
Dalam proses peradilannya, ijtihad-ijtihad yang dilakukan juga memiliki pakem yang sama dalam pengambilan dalilnya. Ini membuat perbedaan yang ada antar satu qadli denga qadli lainnya tak akan jauh berbeda dan tetaplah adil karena bersumber dari quran dan sunnah. Berbeda dengan saat ini, pengambilan hukum tak memiliki pakem sebaik standard ijtihad, namun lebih diserahkan kepada suara terbanyak di legislatif. Padahal tak semua legislator paham persoalan peradilan dan tak semuanya adalah sososk yang adil dan hanif.
Keadilan dalam sejarah peradaban Islam
Peradaban Islam  yang pernah menguasai 2/3 dunia selama 13 abad menorehkan tinta emas dalam keadilan sistem peradilannya. Pada masa awal berdirinya di Madinah, ketika rasulullah SAW memimpin, terdapat seorang wanita bangsawan yang mencuri. Beberapa tokoh pada masa itu meminta Rasulullah SAW untuk tak mengadilinya. Namun bagaimana respon Rasulullah? Beliau bahkan bersabda dengan perkataan yang masyhur hingga zaman ini, “Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, belaiu ra. pernah berselisih dengan seorang rakyatnya yang beragama Yahudi. Baju besi milik sang Khalifah terjatuh dan hilang. Lalu dia menemukannya berada di tangan seorang Yahudi. Namun saat keduanya berada di pengadilan, dan saling mengklaim atas kepemilikan baju besi tersebut, Syuraih Sang qadhi saat itu justru memenangkan si Yahudi tadi.
Ini karena Khalifah Ali tak memiliki saksi kecuali anaknya, sedangkan kesaksian anak tidak diterima dalam peradilan Islam. Hingga akhirnya keadilan sistem uqubat Islam ini menjadikan si Yahudi merengkuh hidayah Islam. Si Yahudi mengakui kesalahannya, mengembalikan baju besi tersebut dan masuk Islam. Kemudian khalifah Ali menghibahkan baju besi tadi kepadanya dan menambahkan baginya hadiah.
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengadili putra Gubernur Mesir masa itu, Muhammad bin Amr bin Ash. Putra Sang Gubernur dilaporkan telah mencambuk Pemuda Mesir karena telah mengalahkannya dalam sebuah perlombaan. Pengaduan ini diterima oleh khalifah, beliau memanggil gubernur beserta anaknya. Sesampainya mereka di Madinah, Umar meminta pemuda tadi untuk mencambuk Muhammad bin Amr bin Ash.
Beginilah potret keadilan dalam Islam. Hukum-hukum peradilannya bersumber dari nash yang diturunkan Zat yg Maha Adil. Sistem peradilan itu didukung dengan sistem pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketakwaan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketakwaan individu menjadi benteng yang kuat untuk menghindarkan masyarakat dari perbuatan kriminal, selain hukuman tegas dan memberi efek jera menjadi kontrol negara. Sehingga keadilan, ketentraman dan keamanan terwujud dalam negara, dirasakan oleh semua pihak siapa pun orangnya.
Jadi kesimpulannya, andai The Untoucable Papa hidup di masa khilafah bagaimana? In sya Allah tak akan ada The Untouchable Papa, mama, khalifah atau siapa pun. Karena peradilan Islam yang ditopang oleh sistem pemerintahan Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam dan sistem pendidikan Islam sekaligus akan mampu menutup celah untuk tercetaknya koruptor yang Untouchable. Allahu a’lam bis showab. (riafariana/voa-islam.com)
*Penulis, Muballighoh
Ilustrasi: Google


Oleh :  Wardah Abeedah*
Hampir satu bulan tahun 2018 meninggalkan kita. Ada banyak catatan yang perlu dijadikan bahan perbaikan di tahun 2019. Termasuk sikap rezim yang berkuasa saat ini terhadap persoalan umat Islam di Indonesia. Pada 2018 kemarin, terdapat banyak catatan merah rezim Jokowi dalam kebijakannya terkait umat Islam.
Masuknya poin deradikalisasi dalam UU Terorisme, terbitnya UU ITE yang memakan banyak korban kriminalisasi di pihak yang pro Islam, ditersangkakannya tokoh-tokoh muslim atas kasus hatespeech dan lainnya, pembubaran kajian beberapa ustadz oleh aparat, deradikalisasi kampus yang dirasa merugikan dosen dan beberapa pihak, juga ketidak adilan yang dirasakan kaum muslimin terkait kasus bendera tauhid. 
Selain itu, ada banyak persoalan yang dirasa mengganggu umat sepanjang tahun kemarin. Mulai penyerangan ulama, ustadz dan guru ngaji yang konon dilakukan orang gila, persekusi ulama dan tokoh Islam oleh beberapa pihak, juga pembakaran bendera tauhid yang sangat menyakiti hati umat Islam.
Di sisi lain, ketika ada banyak pelaporan terkait hatespeech yang dilakukan kubu pro rezim, aparat begitu lamban menanganinya. Kelompok bersenjata di Papua yang menewaskan 31 orang tak pernah mendapat predikat radikal atau teroris.
Berderet dinamika inilah yang menjadikan Reuni 212 tahun 2018 semakin besar. Dihadiri massa yang lebih besar dengan jumlah bendera tauhid yang lebih banyak. Kehadiran kaum muslimin di Monas menjadi bentuk perlawanan cerdas nan elegan.
Momentum Al-Maidah 51 di 2016 dan akumulasi rasa ketidakadilan yang dirasakan kaum muslimin pada 2016 hingga 2018 menjadikan 212 sebagai simbol perjuangan kaum muslimin. Meminjam istilah Rocky Gerung, 212 tak lagi sekedar momentum. Tapi berubah menjadi monumen. Yakni menjadi sebuah simbol bagi pembelaan terhadap Islam dan perlawanan bagi ketidakadilan. Simbol bagi bangkitnya Islam politik di Indonesia. Simbol kecintaan terhadap agama dan kerinduan terhadap ukhuwah serta persatuan.
Tak berhenti di Monas, ghirah Islam menjalar ke seluruh pelosok nusantara. Pasca 212, umat semakin sadar bahwa Islam bukan lagi sekedar ibadah dan akhlaq, opini Islam politik yakni Islam sebagai pengatur semua aspek kehidupan menguat. Ulama yang selama ini hanya menyuarakan ibadah dan akhlaq, menjadi lantang menyuarakan kedzaliman penguasa dan penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang ada di Indonesia.
Bersamaan dengan era digital, media sosial tak ayal menjadi salah satu sarana yang menyebarkan Islam politik ke tengah-tengah umat. Gelombang hijrah juga membesar, para tokoh bahkan artis yang biasa menjadi symbol maksiat justru turut memperbesar gelombang ini. Kajian keislaman ramai di seluruh pelosok negeri.
Belasan tahun yang lalu, mungkin tak pernah terbayang jika berjuta al liwa dan ar rayah akan dikibarkan oleh jutaan umat Islam yang bersatu atas pemikiran dan perasaan Islam. Beberapa tahun yang lalu mungkin sulit memvisualkan dalam benak, bagaimana wujud jutaan umat Islam berkumpul atas kesadarannya sendiri, demi membela Islam, memuhasabahi penguasa menyuarakan islam sebagai pandangan politik, dan menginginkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik dengan Islam, sebagaimana orasi yang disuarakan para tokoh dalam Reuni 212 tahun kemarin.
******
Kesadaran Islam politik, yakni Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan termasuk bernegara inilah yang ditakutkan rezim dan tuannya.  Sebagaiman ucapan M.Natsir, “Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya”.
Maka wajar jika propaganda melawan Radikalisme yang menyudutkan Islam digencarkan. Melalui survey-survey dan framing pemberitaan melalui media, ajaran Islam dan ormas yang ingin menerapkannya kerap dijadikan sasaran fitnah propaganda Radikalisme ini. Tujuannya setidaknya ada 4 ;
Pertama, menebarkan islamphobia agar umat Islam menjauhi ajaran agamanya sendiri. Kedua, sebagai alat legitimasi untuk memukul pihak yang ingin menerapkan Islam atau mengancam kekuasaan. Ketiga, membangun nilai baru Islam yang ramah terhadap Barat. Keempat, mempertahankan hegemoni Barat atas negeri muslim
Dosen UIN Sunan Ampel, Dr. Imran Mawardi MA juga menyatakan bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.  
Menurut Ketua MUI Depok, KH Ahmad Nawawi mengungkapkan, propaganda radikalisme adalah propaganda efektif bagi bangsa penjajah untuk menjajah negeri-negeri muslim (Tabloid Media Umat april 2018). Statement ini sejalan dengan pendapat para ekonom seperti Ichsanoodin Noorsy, Rizal Ramli, dll yang sering menyatakan bahwa ekonomi kita dikuasai asing.
 Pada faktanya, sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing, begitu pula berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah acapkali menguntungkan asing dan tak berpihak pada rakyat. Jika Islam ditegakkan melalui institusi politik (negara), penguasaan sumber daya alam oleh Barat akan dihentikan karena bertentangan dengan ajaran ekonomi Islam. Hal ini tentu akan merugikan pihak kapitalis yang selama ini meraup keuntungan di Indonesia.
Selama rezim yang berkuasa terus ridha menjadi antek asing, selama rezim menerapkan ideology kapitalisme sekuler di negeri ini, selama itu pula umat Islam akan tersudutkan. Semoga 2019 ini Islam tak hanya bebas dari obyek kriminalisasi, persekusi dan fitnahan. Tapi Islam akan menang dengan terwujudnya Indonesia yang tak tunduk pada asing, tapi tunduk pada Allah semata dengan menerapkan semua syariah Islam secara sempurna. Agar negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafurAllahu a’lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
*Founder Madrasah Shalihat, Islamic Freelance Writer

Minggu, 31 Maret 2019

"Pergaulilah manusia sesuai apa yang ditampakkan mereka kepadamu. Biarlah Allah yang menilai hatinya"
(Umar bin Khattab)
Qaul Amiirul mukminin ini menjadi warning bagi kita kaum muslimin, agar tak mengedepankan prasangka atau dzann.
Dalam kasus kenakalan anak atau murid misalnya, tak perlu mengejar-ngejar pengakuan anak yang kita curigai berbuat maksiat. Apalagi sampai memakai alat lie detector.
Prinsipnya, ambil apa yang didzahirkannya dan serahkan sisanya pada Allah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk individu. Para hakim dalam peradilan Islam hanya akan menghukum dengan dua hal ; saksi & pengakuan.
Mungkin agak sulit dibayangkan bagi kita yang hidup di zaman penuh dusta dan pencitraan saat ini ya. Apakah mungkin seorang kriminil akan mengakui kejahatannya?
Namun tinta emas sejarah kekhilafahan kaum muslimin membuktikan sebaliknya. Pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rasyidin dan penerusnya, sistem hukum berjalan seperti itu. Para terdakwa akan dihukum atas pengakuannya atau kesaksian.
Dalam sebagian besar kasus yang pernah terjadi di era kegemilangan Islam tersebut, hukuman atas pengakuan kejahatan justru lebih sering terjadi.
Sebagaimana kisah wanita dari Suku Ghamidi yang meminta Rasulullah SAW mensucikannya (merajamnya) karena telah berzina.
Bagaimana bisa para pendosa begitu mudahnya menyerahkan diri untuk dihukum oleh negara?
Rahasianya ada pada kehebatan Daulah Khilafah dalam mentarbiyah rakyatnya sehingga terwujud ketaqwaan individu. Rahasia berikutnya, terdapat pada keindahan sistem peradilan Islam, dimana uqubat atau hukuman di dalamnya memiliki dua fungsi ; jawabir dan zawajir. Pemberi efek jera sekaligus penghapus dosa.
Dalam kasus Riddah (murtad), para qadli atau hakim hanya akan menilai seseorang telah keluar dari Islam, jika tampak jelas dia melakukan kekufuran. Baik dengan perbuatan atau lisan, tanpa mengedepankan prinsip husnudzdzon, kaidah 'jangan jadi tuhan', apalagi dalih 'beda maqom' 😜
Jika ada muslim yang jelas mengatakan hal yang menjatuhkan pada kemurtadan seperti menyatakan ada rasul setelah Muhammad SAW, Alqur'an sudah expired, mengolok-olok agama dan Alqur'an dll maka dia akan dimintai taubatnya, dan hanya akan dihukum sesuai pengakuannya. Apabila setelah diinterogasi dia mengakui dan meyakini apa yang dikatakannya dengan penuh kesadaran dan bukan atas dasar kebodohan, maka hukuman riddah akan divoniskan padanya.
Dengan prinsip yang disampaikan Umar ra. di atas, Islam juga mengharamkan memata-matai atau tajassus kepada sesama muslim, ataupun aktivitas spionase yang dilakukan penguasa bagi rakyatnya, baik muslim ataupun non muslim. Entah itu melalui penyadapan, pengumpulan data-data cyber untuk kepentingan spionase, dan yang semisalnya.
Tajassus hanya dilakukan negara kepada musuh-musuh Allah atau warga negara yang sikapnya dicurigai memiliki kerjasama dengan kafir musuh. Wallahu a'lam bis shoawab

BY: Wardah Abeedah


Oleh: Wardah Abeedah*
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kembali ramai diperbincangkan. Sebenarnya RUU ini sudah digagas sejak  2013 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan himpunan dari 125 pengada layanan bagi korban kekerasan di 32 Propinsi.
Sejak itu pula, RUU ini menuai pro kontra. Sebagian pihak seperti Parati Solidaritas Indonesia (PSI) dan para aktivis perempuan mendesak disahkannya RUU ini dengan alasan Indonesia darurat kekerasan seksual. Sedangkan pihak yang dinilai cenderung konservatif dan relijius bersuara lantang untuk menolaknya. Diantara alasan yang mereka kemukakan adalah adanya indikasi impor nilai-nilai barat yang semakin menguatkan ide dan budaya liberal di Indonesia.
Islam adalah agama sempurna yang mengatur berbagai aspek kehidupan.  Islam juga memiliki pemikiran-pemikiran yang khas berupa aqidah dan syariah. Sebagai muslim, Allah telah mewajibkan setiap kaum muslimin untuk terikat dengan Islam, baik dalam berfikir ataupun bertindak. Oleh karena itu, ketika muncul sebuah kebijakan yang diharapkan memberi solusi bagi persoalan umat, maka kita harus menakarnya dengan timbangan Islam. Termasuk RUU P-KS ini.
Menakar RUU P-KS
Tak berbeda jauh solusi-solusi kekerasan seksual yang sudah diterapkan sebelumnya. Nyawa RUU PKS ini masihlah sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Jika ditilik dari poin-poin pasalnya dan siapa penggagasnya, RUU ini jelas menegasikan peran agama yang sejatinya adalah nilai tertinggi. Setidaknya ada tiga kesalahan paradigma dalam RUU ini.
Pertama, definisi kekerasan seksual yang bermasalah. Pada pasal 11 sampai pasal 19, yang disebut kekerasan seksual jika meliputi sembilan cakupan. Yang menjadi catatan kritis adalah jika hal tersebut dilakukan dengan terpaksa dan mengandung unsur kekerasan. Batasan tindak pidana dalam perilaku atau hubungan seksual adalah jika salah satu pihak merasa tak nyaman, atau dipaksa.
Jadi hubungan seksual di luar nikah menjadi sah-sah saja asal kedua belah pihak tak merasa menjadi korban kekerasan. Dengan pasal ini, prostitusi yang semakin marak akan semakin subur karena selama dilakukan bukan atas dasar paksaan, baik penjual jasa prostitusi ataupun pemakai jasanya semakin bebas melenggang. Belum lagi para pelaku LGBT yang semakin marak akan mendapatkan angin segar jika RUU ini jadi disahkan. Karena orintasi seksual tidak diatur sama sekali dalam RUU ini. Pun jika ada seorang wanita dengan maksud memamerkan tubuhnya di muka umum maupun di media sosial dengan suka rela, tidak bisa masuk kategori kekerasan seksual.
Kedua, Pemberian hak individu yang berlebihan. Pasal 7 poin 1 berbunyi, "Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat."
Pemberian hak individu yang berlebihan ini menjadikan setiap orang berhak berbuat apapun terhadap tubuhnya. Baik dia ingin membuka aurat sesukanya, ingin hamil atau aborsi sesuai maunya, dia berhak memilih ingin berhubungan badan dengan siapapun sesuai kehendaknya karena prinsip tubuhnya adalah miliknya. Tak boleh ada pemaksaan orangtua terhadap anak untuk menutup aurat, melarang berzina (berhubungan seks diluar nikah), dan dia berhak menolak suami yang meminta haknya untuk dilayani.
Berbeda jauh dengan Islam. Dalam paradigma Islam, setiap manusia wajib mengakui, membenari dan mengimani bahwa manusia hanyalah ciptaan Allah. Ia hidup di bumi Allah untuk menghamba padaNya, menjalani semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Sebagai hamba yang memiliki akal dan pengetahuan terbatas, ia wajib meyakini bahwa syariah Allah satu-satunya hukum dan petunjuk hidup terbaik unutk seluruh manusia dan selulruh makhluq.
Tubuhnya adalah ciptaan sekaligus pemberian Allah yang wajib dipergunakan sesuai dengan petunjuk aturan yang telah Allah berikan. Sehingga ketika dia memilih pakaian yang akan dikenakan, ia akan memilih desain pakaian sesuai perintah Allah, bukan sesuka hatinya. Ketika ia hendak menyalurkan naluri seksualnya, ia akan melakukannya sesuai aturan Allah, bahkan dalam rangka beribadah kepada Allah.
Ketika ia berfikir, menilai sesuatu, membuat keputusan, standardnya adalah Islam, kacamata yang dipakai harus Islam. Ia akan memandang, hubungan seksual diluar yang dihalalkan (melalui hubungan pernikahan dan budak wanita) adalah keharaman. Ketika Islam memposisikan suami sebagai qawwam dan memiliki hak untuk dilayani di ranjang, maka seorang muslimah akan melakukannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Ia tak akan melakukan hubungan seksual dengan selain yang dihalalkan Allah untuknya. Bahkan berhubungan seks diluar nikah dipandangnya sebagai perbuatan zina yang merupakan fahisyah (perbuatan keji), jalan terburuk, dosa besar, dan penyebab rusaknya masyarakat.
Dalam Islam, jarimah atau kejahatan dan kriminalitas adalah perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir (Imam Mawardi). Maka memamerkan aurat dan melanggar perintah Allah dalam surat Al-Ahzab 59 dan An-Nur ayat 31 adalah sebuah kriminalitas. Melakukan zina bahkan meski hanya mendekatinya adalah jarimah.
Jika RUU ini berlaku dan para isteri berpenapat ia berhak penuh atas tubuhnya, hal ini akan  berpotensi menimbulkan problem keluarga. Jika si suami tak bisa mendapat pemenuhan seksual di rumah, sangat bisa jadi ia akan mencari pemenuhan diluar rumah baik itu dengan berzina dengan cara memebeli jasa prostitusi, atau dengan memiliki wanita idaman lain di luar rumah.
Syariah Islam, Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
Solusi yang telah dilakukan pemerintah selama ini bersumber dari ratifikasi internasional seperti CEDAW Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) dan konvensi keperempuanan ala kapitalis liberal lainnya. Nyaris semua solusi itu tak menyentuh akar maslaah kekerasan seksual. Faktor penyebab kasus-kasus kekerasan seksual adalah perilaku dan pemikiran yang mendewakan syahwat (liberal). Namun, faham liberalism dan perilaku liberal ini sama sekali tak dimusnahkan, bahkan justru disuburkan dengan berbagai undang-undang dan kebijakan sebagaimaan RUU P-KS.
Harusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Dalam menghilangkan bentuk jarimah dan menerapkan aturan syaruah, Islam menegakkan tiga pilar ; ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penegakan hokum oleh negara.
Syariah Islam memiliki seperangkat sistem yang akan mencegah zina dalam bentuk apapun, termasuk kejahatan seksual. Dari hulu sampai hilir, dari preventif hingga kuratif. Islam telah mengharamkan setiap pemeluknya untuk mendekati zina (Al-Isra’ 32) dengan perintah menundukkan pandangan (An-Nur 30), memerintahkan menutup aurat, bagi wanita bahkan tak boleh ditampakkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan (Al-Ahzab 59 dan An-Nur 31), keharaman khalwat dan ikhtilat sebagaimana ditegaskan oleh As-Sunnah. Islam juga menjadikan pernikahan sebagai sebuah ibadah yang memiliki banyak keutamaan, mempermudah pernikahan, bahkan mensunnahkan untuk menyegerakan menikah serta menghalalkan poligami. Bagi yang belum mampu menikah, Islam menganjurkan berpuasa.
Secara kuratif, Islam telah mengkategorikan zina sebagai dosa besar yang ditetapkan hukumannya oleh Al-quran dan As-sunnah berupa cambuk seratus kali bagi pezina ghairu muhsan atau belum menikah (An-Nur 2) dan menurut beberapa pendapat hukuman ini ditambah dengan disasingkan selama satu tahun. Bagi pezina muhsan (sudah menikah) akan dihukum dengan cara dirajam sebgaimana yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Ghamidiyah dan Ma’iz. Seluruh hukum ini tegak diatas ketakwaan individu yang dibangun melalui sistem pendidikan dan penerapan syariah lainnya oleh negara, juga tegak diatas keadilan yang tak tebang pilih dalam menerapkan sangsi.
Selama syariah Islam yang bersumber dari sang pancipta ini tak dijadikan solusi, selama itu pula kejahatan seksual akan terus tumbuh subur di negeri ini. Dengan diterapkannya Islam yang sempurna, baik dari aspek aqidah dan syariah yang dibawa Rasul kita tercintalah, Indonesia dan dunia akan menjadi tampat yang diliputi rahmat dan barakah sebagaimana firman Allah,
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam? (TQS. Al Anbiyaa: 107).
Wallahu alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)

*penulis adalah pemerhati perempuan dan anak, Founder Madrasah (Ibu) Ash-Shalihat
Ilustrasi: Google
Sumber : voa-islam.com


Dari belajar bahasa Arab, kita bisa tahu bahwa setiap diksi itu memiliki makna mendalam.
Misal, ketika Alquran menyebut hati dengan shadrun atau jamaknya shuduurun, maka ia bermakna hati terluar. Ketika Alquran memilih kata qalbun, maka ia berada di lapisan kedua dari luar. Lebih dalam sedikit dari shadrun. Lebih dalam.lago disrbut fu'aadun. Dan hati yang terdalam, disebut oleh Alquran dengan kata lubbun, jamaknya Albaabun.
Jika cinta pada Allah sudah merasuk di bagian terdalam hati, maka ulil Albab memiliki ciri sebagaimana yang disebut dalam Alquran ;
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka."
Analoginya mungkin seperti lagu dangdut lawas yaa.
"Mau makan, teringat dirimu. Mau tidur teringat dirimu.."
Ngapa-ngapain ingat Allah. Setiap fakta dan keadaan yang ada di hadapannya dikaitkan oleh akalnya kepada kebesaran Allah. Hingga muncul iman, merasa hamba, dan kemudian lisannya bertasbih memuji keagungan Allah.
Begitu juga ketika kata "melihat" dalam bahasa Arab disebut nadzara, ro'aa, bashara, setiap diksinya memiliki penekanan berbeda. Kalo ikut kajian Tafsir in sya Allah bakalan sering ya, menemukan penjelasan seperti ini. Yang ngaji tafsir di Madrasah Ash-Shalihaat, bahkan mungkin hafal beda Rabb, Ilaah dan Malik 😊
Nah, begitu juga ketika saat ini ada banyak diksi yang sering dihembuskan. Misal Ahok yang berganti menjadi BTP, kata hoax, radikalisme, islam ramah, toleran vs intoleran, politik pesimisme vs politik optimisme.
Bagi anda yang sering menjabarkan kegagalan rezim, problem yang sedang dihadapi Indonesia, anda akan dicap pesimis. Bagi mereka yang merasa Indonesia ini baik-baik saja, sudahlah kita jangan lihat kesalahan, tapi kita do something, jangan omdo. Do something meski itu langkah-langkah kecil yang sebenarnya itu tugas negara.
Padahal, kalo memakai konsep taubatan nasuhaa dalam Islam, perubahan itu selalu diawali dengan step menyadari kesalahan. Begitu juga jika kita ingin bangkit.
Gimana akan bangkit jika tak sadar sedang jatuh. Bagaimana akan bangun dari jatuh, jika tak tau dia jatuh sedalam apa, penyebabnya apa. Jika faham akar persoalan, maka akan mampu mengambil solusi paripurna.
Jadi, menjelaskan kebobrokan rezim dan problematika umat itu tak melulu muncul dari ruh pesimis. Sebagian justru muncul dari optimisme bahwa perubahan itu perlu dan harus diperjuangkan. Tapi kudu diawali dengan menebarkan penyadaran.
Bedanya apa? 
Pesimis hanya akan mengkritik tanpa memberikan solusi.
Mereka yang optimis akan menjelaskan hakikat problem yang dihadapi, menjelaskan pula akar persoalannya dan memberikan solusi yang cespleng. Solusi yang tidak tambal sulam, menyentuh akar persoalan, dan paripurna. tentunya solusi yang seperti ini berasal dari Zat Yang menciptakan manusia dan seluru alam semesta. Yang maha Tahu nun maha Benar.
Well, mari kita cerna setiap diksi dengan #akalsehat. Jangan sampai tertipu diksi berbahaya yang melanggengkan keterpurukan di negeri ini



Oleh : Wardah Abeedah*
“Kalian akan melihat perselisihan yang hebat sepeninggalku, maka berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyin sepeninggalku.” (Shahih Sunan Ibnu Majah)
MuslimahNews.com — Berpegang teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin adalah perintah nabi kita tercinta. Para Khalifah yang memegang tampuk kepemimpinan Islam pasca wafatnya Rasulullah ini memanglah manusia-manusia istimewa yang dijamin surge. Sahabat-sahabat rasul yang utama, pemimpin-pemimpin yang paling layak diteladani. Seluruh ulama dan kaum Muslimin yang Allah tunjuki pada jalan yang lurus, pasti sepakat pada pendapat bahwa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baik rezim.
Selalu ada banyak kebaikan yang bisa kita petik dari jejak kepemimpinan mereka. Di antara banyaknya keutamaan mereka dalam memimpin adalah, mereka rezim yang suka dikritik. Khalifah Abu Bakar selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur,
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shalat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”
Dalam pidato tersebut, bahkan sebelum menasehati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Ketika ditunjuk menjabat Khalifah menggantikan Abu Bakar beliau menolak jabatan tersebut, hingga seorang sahabat menjamin akan menjadi orang yang akan memuhasabahinya dan meluruskannya dengan pedang.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan.
Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah ketiga yang terkenal dermawan itupun tak segan untuk mengambil pendapat rakyatnya dan mengubah pendapat pribadinya.
Berderet kisah di atas dan kisah serupa yang tak disebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kritik dan nasehat terhadap penguasa merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari syariah yang agung. Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum yang diterapkan memanglah hukum terbaik yakni hukum buatan Allah yang Maha Sempurna. Namun Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Nasehat dan kritik adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar pemimpin tak tergelincir pada keharaman dan jatuh pada murka Allah.
Rasulullah Saw bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummu Salamah, Rasulullah Saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Dalam sistem politik Islam, terdapat majelis ummah atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw. terhadap orang-orang tertentu di antara para Sahabat Beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada Sahabat-sahabat lainnya). Di antara mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan lainnya.
Muhasabah terhadap penguasa merupakan adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. Wallahu a’lam bis shawab.[]